"Beresin baju.dong!"

Sejak Rabu Jessie udah ribut mau beresin baju. Papinya dapet voucher menginap gratis selama satu malam di Yogya Plaza Hotel. Dia girang bukan main, jadi pikirannya terpacu ke sana.

Kemarin saat pulang sekolah, dia udah mulai merancang mau ngapain aja di sana. Begitu kali ya kalo anak-anak diajak ke satu tempat baru. Padahal, di bayanganku aku bisa baca sambil berendam, pijat, renang, dan segala macam leissure. Mulai sekarang musti dikorting nih bayangannya, daripada kecewa pas udah di hotel.

Tadi sebelum berangkat sekolah Jessie tanya lagi, “Koper kita udah diberesin belum?” Dia nanyain secara detil apa yang aku lakukan nanti waktu dia sekolah, karena ingin kepastian kopernya siap pas pulang sekolah nanti. Kali takut nggak jadi ya? Maklum, anak kecil kan pemikirannya masih konkrit. Jadi kalo belum lihat sendiri peristiwanya, susah banget yakinnya.

Liburan kami kali ini banyak diwarnai peristiwa yang seharusnya terjadi di tanggal-tanggal ini. Misuaku terpaksa mengajukan pertemuan dengan sesama penulis puisi. Padahal nanti malam ada launching buku puisi tentang gempa di Kedai Kebun. Jessie juga terpaksa tak ikut lomba tari India, soalnya diadakan besok siang di Amplaz, padahal kami semua masih dalam rangka liburan. Aku juga terpaksa nggak ikut pertemuan ibu-ibu karena liburan ini. Namun karena udah ditekadin sama sang bapak kalo perayaan ultah ini kagak boleh lewat, acara-acara lain lah yang harus lewat, he...he...he...

Ternyata merencanakan liburan keluarga nggak gampang. Ini aja ada momen aku jarig, terus ada voucher gratis, jadi bisa kesampaian. Biasanya malah kalo hari Minggu aku paling seneng nguplek di rumah, beres-beres, tapi itu kan membosankan buat anak dan misua? Jadi, semoga aja liburan weekend ini benar-benar menyenangkan.

Empty Nest

Biasanya istilah ini dikenakan kepada pasangan paruh baya yang kembali hanya tinggal berdua di rumah setelah anak-anak menikah atau berkarya sendiri. Cuma kali ini istilah itu aku adopsi untuk kami yang mengalami empty nest beberapa hari yang lalu.

Mulanya sih dari libur awal puasa. Tiba-tiba seorang temen bae ‘nantang’ Jessie, “Jess, lusa kan libur. Jessie mau nggak nginep di rumah Tante?” Tanpa pikir-pikir si nona kecil melonjak-lonjak sambil berteriak, “Mau... mau...mau ...!”

Waktu aku cerita ke papinya, cuma diingatkan kalo bangun malem-malem nggak ada mami, nggak boleh nangis. Langsung bola mata Nona membesar, rupanya dia baru kepikir kemungkinan itu. Tapi dia tetap mau nginap.

“Mom, nanti kalo sampe di rumah Tante Lenny jangan langsung ninggalin aku ya? Mami ngobrol-ngobrol dulu gitu,” pintanya. Itu tandanya Nona lagi waswas, tapi aku pura-pura nggak tahu aja. Bagiku ini pengalaman berharga dalam hidupnya, merasakan jauh dari orangtuanya. Lagipula aku percaya sama temenku itu, jadi she is in a good hand, good family. Kapan lagi dateng pengalaman nginep? Kan mau ikut konferensi anak kalo udah kelas 5 SD nanti, ha...ha...ha...

Singkat cerita dia jadi nginep. Pas papinya pulang, nggak ada suara ceria Nona, mulailah kami merasakan sepi yang aneh. Bayangin, enam tahun lebih rumah selalu terisi suaranya. Dari ketawa ngekek sampe nangis mendayu-dayu. Tiba-tiba suara itu lenyap. Langsung rumah yang segedhe gini kerasa lengang. Pikiran pas anak nggak ada, kami bisa nonton. Jadi pergilah kami ke Studio 21. Ternyata filmnya jelek-jelek, jadi surveylah kami di Amplaz sambil ngabisin waktu. Beda sekali rasanya ke Amplaz dengan dan tanpa Nona. Rasanya pengen cepet-cepet pulang aja, tapi kalo ada Nona waktukayaknya kurang banyak. Nah tuh! Di dalam perjalanan juga kami masing-masing terdiam. Baru deh terasa betapa sepinya hidup kalau salah satu orang tersayang pergi. Topik yang kami bicarakan juga terasa aneh, karena “api pembicaraan” seolah-olah terhisab tanpa bekas. Malam itu kami lewati berdua hingga pk 24.00, batas waktu yang aku tetepin. Kalo nggak ada telepon, berarti Nona oke-oke di sana.

Nginep sehari ternyata kurang, Jadi ditambah satu hari lagi. Di hari kedua ini papaku yang mencak-mencak. Waktu dia telepon, cucu ceriwisnya nggak kedengeran suaranya. Langsung deh keluar petuahnya, “Jangan dibiasain ya nginep-nginep. Nggak bae.” Kalo petuah begitu keluar, musti taat tuh kalo nggak bisa gawat, fiuh!

Malam minggu nonton extravaganza bedua doang, kayak orang bingung. Dulu pernah ngebayang-bayangin enaknya nonton tanpa ada gangguan suara anak kecil. Soalnya kalo malem minggu begitu, kadang-kadang guyonan di extra itu rada-rada menjurus. Pas melalui saat yang dulu begitu dirindukan, eh ternyata hambar!

Jadi empty nest betul kami dua hari ini. Banyak yang aku pelajari dengan nginapnya Nona di Tata Bumi. Satu, ternyata 70% perbincangan kami adalah di seputar kehidupan anak. Dua, lupa cara dan rasa kalo hanya tinggal berdua. Kayak mulai lagi dari awal. Tiga, harus menyediakan dan mengusahakan momen-momen di mana kami tidak kehilangan kesenangan. Empat, menjadikan peristiwa ini sebagai movement untuk menjadikan hari-hari lebih bermakna lagi.

Terakhir, thanks to Eko and fam yang menjamu Jessie dengan begitu baiknya, sampe mau tambah lagi jadi tiga hari nginepnya. Tapi karena petuah engkong dan papai mami yang eksepian, terpaksa deh dibatalin. God bless u Ko, Len , Joan dan Chaufan.

Po Sang Penggembira

Seorang ayah kebingungan sewaktu mendengar anak semata wayangnya sakit panas. Karena tuntutan kerja yang tak memungkinkannya pulang, ia hanya bisa mendoakan agar isteri dan anaknya dapat mengatasi situasi sulit itu. Tanpa daya ia menunggu pk 16.00, saat ia bisa pulang menjumpai keduanya.

Betapa cemas hatinya karena anaknya itu terkapar di sofa. Tak ada lagi celotehnya, yang biasa mewarnai hari. Rumahnya juga terasa lengang dan sepi. Sesekali terdengar erang kesakitan anaknya. Panasnya sangat tinggi, bibirnya kering dan pandangan matanya nanar. Obat dari dokter seolah-olah tak berguna karena panasnya tak kunjung turun. Tiap setengah jan isterinya menyuapkan teh hangat manis agar anaknya tidak mengalami dehidrasi.

Keadaan mencemaskan ini berlangsung berhari-hari. Keduanya pasrah meminumkan obat dokter sambil terus berdoa supaya ananda terkasih cepat sembuh. Pada hari ketiga, isterinya bercerita kalau sang anak sangat senang setiap kali film seri Teletubbies tayang. Dari mulut mungilnya keluar ucapan “Po...Po....Po...” Lalu ia mencari boneka Po dari plastik yang tingginya melebihi tinggi badannya.

Sang ayah tiba-tiba mendapat ide. Sepulang kerja ia berkeliling-keliling Yogya. Ia ingin mencari boneka Po yang dapat dipeluk anaknya. Ketika melewati daerah Munggur, ada sebuah toko mebel menggantungkan guling berbentuk Po di depan tokonya. Langsung ia berhenti dan membeli boneka itu. Susah payah dimasukkannya boneka yang cukup panjang itu ke dalam plastik agar bisa dibawa pulang dengan motornya.

Betapa senang hati sang ayah ini ketika ia memarkir motor di halaman dan mendengar anaknya mulai berceloteh sedikit-sedikit. Dengan bersembunyi di balik guling boneka itu, sanga ayah menyapa anaknya, “Halo...., saya Po. Saya ingin bertemu anak manis yang katanya lagi sakit. Ada nggak ya?” Sang anak terkejut karena Po muncul dari garasi, namun ia langsung berteriak gembira ketika tahu ayahnya ada di balik boneka Po. Walaupun masih panas, tapi binar mata si anak yang memancarkan keriangan cukup menenangkan hati sang ayah.

Sekarang anak itu sudah besar dan boneka guling Po juga semakin kotor. Bahkan renda yang mengelilingi lehernya pun sudah mulai robek-robek. Namun, senyum Po yang manis senantiasa berhasil membuat sang anak tersenyum. Sang ayah pun sudah tak ingat dengan susah payahnya mencarikan boneka guling Po untuk anaknya tercinta. Satu hal yang selalu diingat sang ayah: sambutan hangat anaknya setiap kaliia pulang dari kantor.

Boneka itu mengingatkan sang ibu betapa cepat waktu berlalu. Bonekanya bisa saja sudah mulai usang, tetapi kenangan jerih payah suaminya untuk menggembirakan hati anaknya yang sedang sakit akan terus terpatri dalam kenangannya.

Pertama Kali Bolos

Hari Rabu lalu benar-benar hari yang sibuk tanpa direncanakan. Sehari sebelumnya aku memang tahu ada beberapa hal yang harus aku lakukan, tapi semua aku atur waktu Jessie di sekolah. Jadi pas dia pulang, urusanku sudah beres dan kita bisa langsung pulang.

Ternyata sampai plan ke dua, rencana masih berjalan mulus. Begitu masuk plan ke tiga ambyar. Harusnya setelah aku mengambil kain, aku memberikannya ke kongsiku yang akan membawanya ke penjahitan kami. Namun, aku luput mencegat dia di sekolah Jessie. Jadi, aku ke penjahitan sambil mengontrol pesanan-pesanan kaos yang sedang dalam proses penyelesaian. Urus punya urus, semua baru selesai pk 12.40.

Dari sana aku langsung ke pameran tanaman di halaman samping McD Sudirman. Sebenernya bukan dalam rangka mau beli tanaman. Cuma di sana temanku ada yang ikut berpameran. Sudah berkali-kali dia cerita kalau dia ikut pameran dan setiap kali aku nggak bisa hadir. Jadi kali ini aku menengoknya di pameran. Begitu datang, langsung Jessie bermain dengan anak-anaknya yang ikut ngendon di satnd orangtuanya selama pameran. Karena temenku masih mengajar, aku ngobrol dengan suaminya seputar tanaman eksotik yang jadi bisnis mereka. Lihat caranya bikin anakan tanaman, caranya menyimpan pohon-pohon kecil berdaun kemerah-merahan (sayang aku lupa namanya) yang katanya lagi booming. Akhirnya aku tinggal Jessie di sana dan aku jalan-jalan ngiterin pameran. Sepuluh menit kemudian aku cabut dari sana.

Waktu makan bersama, aku minta Jessie supaya nggak usah les piano, soalnya waktu itu sudah pk 14.00. Jessie ngotot mau les karena lesnya pk 17.00, jadi masih ada waktu untuk tidur siang. Begitu sampai di rumah, kami langsung tertidur kelelahan.

Nah ini, Jessie terbangun saat aku ngepel di kamarnya. “Mom, ini jam berapa?” Dengan santai aku jawab aja, “Masih jam empat kok Jes. Nggak usah buru-buru, masih keburu kalau mau les piano.” Lalu dia mendekati aku, bicara pelaaaa...n sekali, “Boleh nggak kalo aku nggak jadi les piano?Aku mau jalan-jalan aja ya?” Wah, aku bingung juga karena rencana begini bisa nggak jadi kalo nggak match semuanya. “Ya udah. Telepon Papi dulu, tanya Papi fitness nggak. Kalo nggak, tanya mau nggak Papi jalan-jalan sekarang.” Ternyata match, jadi berjalan-jalanlah kami ke Amplaz.

Ini pertama kali Jessie bolos les. Biasanya kalau diminta nggak les, bisa ngeyel seharian. Mungkin juga kecapekan seharian jalan. Walau udah disokong dengan tidur siang dua jam, capeknya mungkin masih terasa. Moga-moga aja dia nggak terasa betapa enaknya membolos. Kalau bolos di sekolah kan ada sanksinya, tapi kalo bolos les kan malah bisa santai. Aku langsung telepon gurunya kalo hari ini Jessie nggak mau les dulu. Gurunya sampe bertanya-tanya kenapa. “Nggak apa-apa koq, Cuma mau jalan-jalan aja kali ini.”

Jadi deh, 20 September 2006 sebagai hari bolos pertama.

Kabar-kabari

Resiko punya blog adalah blog kita bisa dibaca siapa aja. Dan yang punya blog nggak tau siapa aja yang masuk ke blognya, kecuali dia meninggalkan jejak. Bisa kesan pesan di shout box atau di comment.

Beberapa hari lalu, aku ditelepon Mama. Adeku yang di Singapura nanyain keadaan Mama karena di-sms aku, begitu kata Mama. Hah...tentu aja aku kaget. Lha, nomor telepon HP nya aja aku gak punya, gimana mau sms? Lalu Mama bilang Indra tahu dari aku. Akhirnya aku menelusuri darimana Indra bisa tahu kalo Mama punya indikasi penyempitan pembuluh darah jantung. Akhirnya ketemu jalurnya. Tentu aja dari blogku di postingan Teringat.

Jadi beberapa hari setelah 9 September, aku kirim email ke dia ngucapin selamat ulang tahun. Lalu aku nyantumin url ku. Ternyata Indra berkunjung ke sana dan baca postingku itu. Dia kaget lalu langsung kontak Mama. Aku nggak tahu kalo Indra berkunjung kalo Mama nggak tanya via telepon.

Kata misuaku, Mama disuruh bikin blog aja, supaya anak-anak tiap hari maen ke rumah maya Mama. Emang sih, Mama jadi pusat berita kami, anak-anaknya. Aku selalu tahu apa yang dialami ade-adeku karena Mama selalu telepon membawa kabar-kabari. Aku juga percaya kalo ade-adeku selalu tahu kabarku karena Mama pasti cerita ke mereka satu per satu. Jadi, kalo kami ketemuan pas Natal atau momen lain, nggak perlu deh gali cerita dari beberapa waktu yang lalu. Kan udah diupdate Mama, jadi tinggal nerusin, he...he...he...

Sms Pagi-pagi

Aneh ya, kalo kita denger telepon, dan zaman sekarang juga sms,yang dikirim pagi-pagi, mesti bikin kaget. Yang dimaksud pagi-pagi ya jam yang orang belum bangun pada umumnya. Misalnya jam 3 atau 4 pagi.

Perasaan ini muncul waktu temanku Lala telepon pk 4.30. Ayahnya memang sakit dan berbulan-bulan diopname di RS Sardjito. Aku sempat bezoek ayahnya. Tiba-tiba pagi itu aku langsung bangun, padahal weker belum bunyi. Lagi menyandra apa yang nyebabin aku bangun, telepon bunyi, “Mbak, Bapak sudah pergi jam 4 tadi.” Ini kejadian 9 tahun lalu.

Pagi tadi, nuansa itu datang lagi. Smsku bunyi pk 4.05, dari temanku yang nggak biasanya sms begitu pagi. Aku langsung terduduk. Ternyata salah satu temanku berpulang ke rumah Bapa hari ini. Menurut sms itu, dia sakit lalu dirawat di RS Panti Rapih dan meninggal pagi ini. Jenazah akan langsung dibawa ke Soakaraja, jam 6 ini.

Nggak banyak kenanganku tentang Santi Kusumaningrum. Dia salah satu generasi muda yang bawaannya masih klop sama aku. Kalo anak-anak zaman sekaran kan kebanyakan slengehan. Santi lain. Dia begitu sopan, kata-katanya diatur dan dapat diandalkan. Kuliahnya di teologi juga oke, maksudku nilai-nilainya bagus. Yang paling berkesan buat aku adalah, dia satu-satunya anak muda temanku yang juga disenangi Jessie. Jadi biasanya Jessie seperti punya radar apakah orang ini oke atau nggak. Kalo nggak oke, dia akan merengek-rengek supaya pembicaraan kami diakhiri. Dengan Santi, Jessie malah nimbrung di percakapan mommynya.Itu kejadian 7 tahun lalu, waktu Santi baru saja masuk Yogya dan kuliah di Fak Teologi UKDW.

Kabar terakhir yang aku dengar Santi berdomisili di Semarang karena menjalani masa perkenalan di salah satu jemaat GKI di sana. Makanya aku terkejut, tiba-tiba dia meninggal. Mungkin bagi aku dia tiba-tiba meninggal, tetapi mungkin juga nggak buat orang-orang terkasih yang mengelilinginya.

Memang nggak ada yang bisa memprediksi hidup. Buat keluarga dan orang-orang yang mengasihi Santi, kami turut berduka. Aku yakin dia sudah bersama Bapa sekarang.

Waith... a crock

Ha...ha...ha..., anakku emang gak pantang nyerah. Kemaren malam, dia minta diceritain sebelum tidur. Pikirku, karena sekarang dia udah bisa dan doyan baca buku sendiri, untuk dongeng pengantar tidur aku bacakan yang bahasa Inggris. Waktu ultah Jessie kemaren, seorang temanku memberinya sebuah buku berjudul Walt Disney’s Classic Five Favourite Dreamy Tales. Jadilah kami membaca buku itu.

Pertama kali aku membacakan buku itu, Jessie minta diterjemahkan. Aku sih manggut-manggut aja, tapi gak pernah aku terjemahkan. Menurutku kalo diterjemahkan nanti Jessie nggak termotivasi untuk cari tahu. Ibarat orang makan buah udah dikunyahin sama orang lain, hiiii.... Protes juga pertama-tama, tapi lama-lama dia malah enjoy ngedengerin cerita-cerita di dalam buku itu.

Kemarin sampai di bab Sleeping Beauty. Biasanya kalo dibacain gitu, Jessie ngedengerin sambil matanya merem melek. Tapi, malam ini lain. Tiba-tiba dia setengah terduduk, ikut baca! Emang sih, aku udah sempet mendengar dia baca sendiri bukunya dalam bahasa Inggris sederhana. Tapi kemarin malam luar biasa. Begitu aku selesai membaca satu halaman, dia balik halamannya dan langsung baca. Namanya orang nyoba, ya pastilah banyak kesalahannya, tapi aku seneng dia berani coba baca bahasa Inggris. Sambil lalu aku membetulkan kata-kata yang salah ucap.

Rupanya Jessie berusaha membaca sesuai dengan spelling huruf dalam bahasa Inggris. Jadilah with dibacanya waith. Mungkin pikirnya “i” kan dibacanya “ai”. Berarti ada koneksi antara apa yang selama ini dipelajarinya dengan yang harus dibaca. Anehnya, waktu dia baca tulisan “a crack”, jadinya “ a crock”. Ini misteri. Alhasil malam itu dia baca separuh cerita, aku separuh cerita, ganti-gantian satu halaman demi satu halaman.

Tentu aja aku seneng banget. Anakku ini memang rada ajaib. Waktu dia umur 3 tahun, aku sempet khawatir apa nanti dia cepet bisa baca. Cuma memang aku simpen sendiri aja kekhawatiranku itu. Waktu itu aku berpikir kalo golden agenya akan muncul sendiri, dan aku hanya berjaga-jaga supaya kalo masa itu datang, aku tahu. Aku gak pernah ngajar-ngajarin dia baca, apalagi pake acara nyepel-nyepel, wah... ribet. Hampir setahun berlalu tanpa tanda-tanda dia mau baca. Tapi memang di TK nya diajarin membaca, mulai dari satu huruf, satu suku kata, satu kata, tiga suku kata, dua kata, dst,nya.

Suatu siang dia gak bisa tidur, tapi aku ajak dia baring-baring. Karena lelah aku tertidur. Tiba-tiba terdengar orang membaca pelan-pelan. Dia coba-coba terus. Aku langsung seger deh, tapi pura-pura terus tidur. Waktu dia selesai, aku ngulet sambil pura-pura kaget dan tanya begini, :Lho Jes, nggak bobo?” Oh! Langsung dia cerita kalo dia lagi belajar baca. Sejak itu, lancar deh bacanya, apa aja juga dibaca.

Begitu juga dengan bahasa Inggris. Karena aku juga belajar bahasa Inggrisnya hanya bermodal pelajaran selama sekolah menengah, ditambah tugas-tugas menerjemahkan waktu kuliah dulu, makanya aku juga hanya mendekatkan Jessie pada nuansa Inggris. Misalnya sering-sering ngajak dia dialog dalam bahas Inggris. Lalu nyetelin dia lagu anak-anak dalam bahasa Inggris, menyebut nama binatang dalam bahasa Inggris. Pokoknya serba Inggris deh (kayaknya penguasa kerajaan Inggris perlu nih baca postinganku ini, he...he...he...). Sampe kadang-kadang aku membicarakan hal penting dengan papinya yang nggak boleh dia tahu, juga dalam bahasa Inggris.

Lama-lama, yah.. hampir 5 taonan, dengan sendirinya dia mengerti kalo mami papinya lagi ngomong dalam bahasa Inggris. Abis, kali kosa katanya ya itu-itu juga ya..:))

Proses Jessie baca tulisan dalam bahasa Inggris juga begitu. Nggak pernah didorong-dorong, tau-tau udah bisa baca sendiri.Seperti waktu malam dia didongengin itu. Jadi aku tahu sekarang cara paling efektif ngajarin Jessie bahasa, yaitu dengan habituation alias pembiasaan.

Cuma, belajar bahasa kan berarti juga mengadopsi budaya bahasa kan? Jangan kaget kalo ketemu ama Jessie. Dia biasanya menyatakan sesuatu dengan terus terang, nggak pake tedeng aling-aling, he...he...he...

Teringat

Hari-hari kayak lari aja belakangan ini. Segala macam urusan sampai penyakit rajin menghampiri aku.

Walau begitu, syukurlah aku ingat ultah Mama 6 September lalu. Ajaibnya aku bisa inget sejak bangun tidur. Salah satu hal yang terus kepikiran adalah adanya diagnosa baru kalo Mama mengalami sedikit penyempitan pembuluh darah di jantungnya. Memang belum tanya ke dokter jantung yang lagi dinas ke luar negeri, tapi tanda-tanda penuaan semakin banyak. Setelah bertahun-tahun mengalami arthritis osteoporesis, diagnosa ini sempet bikin aku ciut hati juga. Hanya karena hampir setiap pagi aja Mama telepon, aku nggak terlalu memikirkannya. Walau kadang-kadang aku repot kalo pagi, tapi telepon pagi itu bisa menyemarakkan hari yang akan aku jalani. Tahun ini aku di sms sama ade bungsuku supaya ngucapin selamat ultah ke Mama. He...he...he..., dia kecele.

Satu lagi yang ultah bulan ini adalah ade keduaku. Nggak tau kenapa tiba-tiba aja, sabtu pagi aku inget dia. Memang hampir tiga tahun aku nggak ketemu dia. Abis, merantau aja sampe ke negeri singa, jadi perlu ongkos gede kalo mau nengokin. Lagian, kata mamaku dia sibuk banget. Berangkat jam 6 pagi, pulangnya jam 8 malam. Tambah lagi deh yang bikin aku males kontak dia. Cuma, taon ini aja kok aku inget sama adeku itu. Dia itu adeku yang pertama kali bisa ngomong sama aku blak-blakan. Mulai dari kerjaan sampe pasangan hidup. Bahkan waktu adeku paling besar jadi Khatolik karena istrinya Khatolik, dia yang ngerespon paling positif dan progresif. Cuma, abis dia pindah negara aja, komunikasiku jadi rada mampet (emangnya kanal?!).

Biasanya sih aku lupa hari ulang tahun orang lain. Atau, ingetnya kecepetan. Pernah lho aku ngucapin selamet, padahal ultahnya masih bulan depan. Gawat juga ya. Orangnya lamaaa, baru bales smsku itu. Ngingetinnya halus sekali, aku jadi tambah rikuh karena salah bulan! Salah satu pikiran yang sempet muncul waktu nganalisa kenapa bisa terjadi begitu karena ultahku diperingati di seluruh negeri, apalagi jadul, perayaannya gede-gedean. Tapi sejak reformasi, gaungnya berkurang. Mudah-mudahan nggak ada revisi sejarah yang akan menghapuskan makna ultahku itu, he...he...he...