Sampai Kematian Memisahkan Kita

Seketika ruang gereja menjadi hening. Tak satu pun bunyi terdengar, ketika calon mempelai wanita terhenti di tengah jalan saat mengucapkan janji pernikahan. Ada keharuan yang membuncah di dalam hati saat mendengarnya dengan susah payah menyelesaikan janji itu hingga kalimat “sampai kematian memisahkan kita.”

Di tengah zaman yang sangat permisif, mendengar janji seperti itu diucapkan oleh sepasang mempelai, benar-benar menghibur. Siapa bilang hanya dengan mengucapkan janji, pernikahan akan berjalan mulus? Kalau itu terjadi, pastilah ada di negeri dongeng. Di dunia nyata, pernikahan selalu menjumpai halangan. Kadang-kadang ada yang besar dan terlihat jelas, sehingga pasutri bersatu menghadapinya. Tapi banyak juga kerikil-kerikil tajam yang tak segera nampak dan membawa luka di hati masing-masing. Yang keik gini yang membahayakan. Janji bahwa masing-masing akan setia di kala sehat atau sakit, senang atau susah dan berkelimpahan atau berkekurangan, akan berkali-kali diuji.

Peneguhan dan pemberkatan nikah yang aku hadiri kemarin menunjukkan bahwa waktu memang cepat berlalu. Belum lama rasanya saat aku jumpa pertama kali dengan mempelai wanita, Altruicia Idylle Bogar. Sekarang aku juga menyaksikan pernikahannya. Waktu mahasiswa sering terdengar guyonan, kalau pilih pasangan harus yang seiman. Rupanya guyonannya jadi beneran, soalnya Al bersatu dengan orang lain bangsa, yang penting seiman. Bravo Al!

Acaranya sangat bersahaja, dan meriah dengan tawa. Keharuan cuman boleh mampir sebentar, soalnya ini hari bahagia, jadi senyum doang yang boleh tinggal lama-lama. Apalagi pendeta yang melayani juga kocak. Siapa lagi kalau bukan Pdt. Paulus Lie? Jadi, acara kemarin betul-betul sip. Jadi lupa deh kalo nitipin anak di rumah Lennot, he...he...he..., berasa muda lagi.

Congratulations to Al and Tim, 16 Desember 2006.

Permintaan Terakhir

Beberapa hari lalu, kami sesama ibu yang menunggui anaknya sekolah ngobrol. Tiba-tiba ada kupu-kupu yang cukup besar terbang mengitari kami beberapa kali. Lalu aku bilang begini, “Kalau dalam kepercayaan Buddha,artinya kita dikunjungi sama orang yang sudah meninggal.”

Dari sanalah berawal berbagai cerita tentang kematian. Salah satunya diceritakan temanku begini, tentang temannya yang ditinggal mati suaminya, sebut saja Dian (bukan nama sebenarnya):

Beberapa hari sebelum kematiannya, tak biasanya suaminya meminta berhubungan intim. Selama ini Dian sudah nrimo kalau tak akan pernah menikmati indahnya persatuan suami isteri. Maklum, suami Dian sakit jantung. Penyakitnya ini menyebabkan suaminya berisiko tinggi jika berhubungan intim. Namun malam itu lain. Dian seperti berhadapan dengan suaminya ketika tahun-tahun awal pernikahan mereka. Dian senang luar biasa dan keduanya menghabiskan malam itu dengan penuh kebahagiaan.

Setelah malam itu kehidupan berjalan biasa, sampai suaminya terkena serangan jantung. Segera ia dilarikan ke rumah sakit. Ternyata hidupnya hanya sampai di sana, suaminya meninggal. Ternyata Dian ditinggali kado terindah sebelum kepergian abadinya.

Kontan ibu-ibu yang ada di sana terdiam. Tiba-tiba ruang tunggu yang biasanya penuh gelak tawa itu menjadi senyap. Mungkin masing-masing membayangkan seperti apa rasanya Dian yang ditinggal mati suaminya.

Kadang-kadang dalam hidup pernikahan, kita menjadi biasa dengan pasangan kita. Permintaannya bukan lagi sesuatu yang spesial, bahkan mungkin terasa mengganggu. Coba deh diinget-inget waktu kita jengkel mendengar permintaan pasangan kita. Belajar dari pengalaman hidup Dian, tak ada yang tahu usia manusia, seperti bunga rumput. Hari ini ada, esok lenyap tertiup angin. Betapa pentingnya permintaan pasangan kita, jika kita menempatkannya dalam kerangka “tak ku tahu kan hari esok”!

Konon

Kisah ini bermula dari kesaksian seorang ibu. Dia berinisiatif mengajak anaknya masuk les menari. Selama enam bulan ibu ini hanya mengantarkan anaknya, sementara anaknya cuma jongkok di bawah meja sambil mengintip teman-temannya menari. Selepas enam bulan, anak ini tergila-gila menari. Konon, ia cukup mahir menari.

Ajaib ya visi yang dimiliki seorang ibu? Sekian tahun yang lalu, aku juga mengalami hal itu. Terus terang waktu itu bukan visi yang aku punya, tapi trial error. Cuma karena mau cari aktivitas buat Jessie waktu dia umur 2 tahun. Kalo anak ibu di atas ngumpet di kolong meja, Jessie ngeliatin aja kakak-kakaknya menari dengan ekspresi tak tertarik. Kali ke enam datang baru dia mulai berdiri terus ngegoyang-goyangin kakinya, tapi belum mau disuruh maju ke depan sama teman-temannya. Sayang, karena dia masuk playgroup siang, jadi deh putus les tarinya. Disambung lagi sejak umur 4 tahun sampai sekarang.

Kejadian itu juga berulang sekarang, waktu aku masukkan dia ke les renang. Aku pilihkan guru les yang konon paling bagus di Yogya. Mula-mula dia senang. Tiba waktunya gaya bebas dengan mengambil napas sendiri, kondisinya menurun. Tiap kali les nangis, nggak mau ambil napas sendiri. Sampe-sampe ada temen lesnya yang lihat Jessie nangis, jadi berhenti beneran. Sesudah era bernyanyinya alias menangisnya berhenti, kalau pergi les renang Jessie selalu muntah. Siapa pun yang nyetir, mesti muntah. Aku tahu itu ungkapan stressnya kalau mau renang. Tapi dengan hikmat Tuhan aku bisa terus memotivasinya belajar renang. Berbagai alasan aku kemukakan, dari yang logis (untuk menyembuhkan asmanya) sampai ke yang fun (bisa jadi contoh buat sepupu-sepupunya kalo renang rame-rame). Syukurlah, Jessie sekarang mulai senang renang, apalagi dia udah bisa ambil napas sendiri. Tinggal ngebenerin gaya renangnya aja. Perlu waktu enam bulan sebelum Jessie menyenangi renang.

Jangan-jangan semua ibu di dunia punya usus yang puaannjanng...., supaya bisa sabar menghadapi anaknya. Begitulah yang aku alami.

Jaga-jaga

Mau musim hujan malah aliran PAM tersendat-sendat, heran. Hari Minggu kemarin menjadi pelajaran yang sangat berarti buat aku. Pepatah rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya, dll... jadi berasa banget. Judulnya malas pangkal sengsara, he...he...he...

Seperti biasa, hari Minggu biasanya kami jalan-jalan setlah pulang gereja. Karena suamiku ngelembur terus termasuk hari Sabtu kemarin, Minggunya udah teler. Nggak bisa ke gereja lagi, tepar. Jadi aku dan Jessie pulang dulu jemput Papi, baru nyari sepatu buat Jessie di Galeria Mal. Maksud hati supaya kalo aku dan Jessie sibuk cari sepatu, misua bisa survey toko buku baru. Eee..., ternyata tuh toko buku belum buka. Jadilah pria pujaan ini gentayangan di antara wanita yang sibuk nyoba-nyobain sepatu.

Pulang dari jalan-jalan itulah baru kerasa heboh. PAM mati, air tinggal di bak kamar mandi dan 3 ember besar. Terpaksa deh gak mandi sore, jaga-jaga aja supaya besok pagi bisa mandi. Mana piring belum dicuci, ada kuali bekas bikin orak-arik buncis segala. Belum lagi ubin yang jatah ngepelnya emang hari Minggu itu. Keseeel...., merana..., liat rumah amburadul.

Syukurlah jam 01.00 air nyala. Langsung aku cuci semua piring, kuali, gelas, panci, dll yang ada di sekitar bak cuci piring. Abis itu lega deh.

Senin ini aku ada tamu pagi-pagi di rumah, mau ambil baby carseat sama strollernya Jessie dulu. Setelah mereka pulang, aku langsung cuci kamar mandi, cuci piring bekas sarapan, ngepel, nyiram tanaman. Nah, lagi asyik-asyiknya ngancang-ancang mau bikin jus jambu bangkok hasil kebun sendiri, tuh air mati lagi! Terpaksa deh batal bikin jusnya.

Yang masih terselamatkan itu keramas. Jadi besok pagi semua udah fresh.

Jadi, setiap hari nih harus jaga-jaga supaya nggak keabisan air. Oh PAM.... PAM....PAM...., riwayatmu tak pernah berubah, hatiku kesel banget.

Nyaris

Hari ini tak diduga kami jalan-jalan seharian. Tadinya cua mau ke toko buku diskon, cari buku latihan matematika buat Jessie dan Joan, makan siang lalu pulang. Ternyata abis dari toko buku udah pk 14.30, jadi Jessie langsung nari.

Di sanggar saya ditanya salah seorang ibu apakah mendapat undangan rapat ortu murid sanggar. Saya bilang nggak. Tapi tiba-tiba karpetnya digelar, latihan tari dihentikan, rapat langsung mulai. Aku jadi gak sempet keluar, maka hadirlah aku sebagai peserta rapat tak diundang, he...he...he...

Singkat kata paguyuban orangtua murid mau dibikin lebih solid, dengan membentuk kepengurusan. Soalnya 2007 nanti sanggar akan bikin pagelaran akbar karena akan ulang tahun ke 26. Lalu ada jalan-jalan wisata, sambil didongengin di situs candi-candi kecil.

Nah ini. Waktu pemilihan pengurus, ada yang ngusulin aku jadi bendahara. Weh, begitu denger, langsung aku angkat tangan keberatan, “Apa itu Bu? Saya diusulkan jadi bendahara? Saya gak bakat dalam hal uang.” Temen-temen pada ketawa. Akhirnya aku ditunjuk jadi sekretaris. Nah tuh kan, jadi kebagian tugas.

Nyaris...nyaris...., aku paling nggak suka kalo ditugaskan seagai bendahara. Enakan marah-marah sebagai sekretaris daripada marah-marah sebagai bendahara, ha....ha....ha....