Woku Ikan

Waktu belanja di Indogrosir, ada penjualan ikan gurameh yang udah dipotongin dan dibersihin. Langsung deh aku naksir beli. Tapi sebelon nyomot tuh ikan, aku survei dulu kelengkapan bumbu dan bahan. Semua ada. Jadi aku ambil satu pak.

Sesampai di rumah, ikan langsung aku masukin ke chillernya kulkas, soalnya besok aku mau masak woku ikan. Mumpung anak libur, jadi bisa eksperimen dikit di dapur. Udah lama banget nggak masakin woku buat misua, kan dia dari Sulawesi Tengah. Pengennya sih sekali-sekali menghadirkan masakan bernuansa Sulawesi.

Kenapa woku ikan? Karena itu satu-satunya masakan Manado yang aku berhasil bikin. Yang laen, terima beli deh daripada bikin. Lagipula gampang bumbunya. Saking gampangnya dan udah lumayan hafal, malah daun bawang dan cabe rawit nggak kebeli! Jadi aku balik lagi ke Indogrosir besokannya.

Hmm...., seru juga masaknya. Nurutin anjuran temen, aku blender deh semua bumbunya: 3 siung bawang merah, 1 siung bawang putih, 3 cm kunyit, 3 butir kemiri.Abis itu bumbu halus ditumis sama daun bawang. Setelah harum, masukkan ikan, tambahkan air, garam, penyedap. Kira-kira masakan setengah matang, masukkan 2 batang sereh (geprek dulu batangnya) dan daun kemangi. Senagaj nggak dimasak pedes, karena Jessie suka sekali woku ikan.

Sambil nungguin ikan mateng, aku bikin sambel dabu-dabu. Aku paling seneng bikin sambel ini, soalnya nggak perlu uleg-uleg. Tinggal potong tomat dan bawang nerah sebesar dadu-dadu kecil. Tambahkan cabe rawit 7 buah, yang diiris tipis-tipis. Tambahkan juga daun kemangi. Terakhir aduk semua bahan sambel dengan garam dan tuangkan air matang ke dalam adonan sambel. Jadi deh. Aku dan Khun makan woku pake dabu-dabu, jadi lancar deh nasinya.

Masak begitu ngabisin waktu kira-kira 75menit. Demi makan ikan supaya sehat, gak pa pa deh nggak ngedit hari ini, begitu spiritnya. Kenyataannya? Dari 5 potong ikan, yang kemakan di hari pertama cuman dua potong, dimakan Jessie sam aku. Papinya belum berani makan apa-apa dulu selaen bubur regal sehabis tambal gigi. Jadi tuh woku ikan dan dabu-dabu musti mondok di kulkas. Besokannya kita gado dan ganyang ikan rame-rame, itung-itung ganjel perut sebelon menjamu tamu dari Jakarta.

Lelaki Tua dan Mie

Lelaki tua itu makan mie sendirian, menghadap tembok. Entah apa yang dilamunkannya. Di belakangnya banyak keluarga-keluarga makan mie bersama-sama sehabis pulang gereja, sementara ia hanya sendirian. Tak ada teman bercengkerama, hanya tembok putih setia menatapnya ketika suapan mie sedikit demi sedikt memasuki kerongkongan tuanya. Ketika tiba waktunya membayar, hanya ada uang logam 500-an di kantong. Entah cukup atau tidak membayar makan sejumlah 14.500, sementara wajah si kasir terlihat tak sabar menunggu lelaki tua ini menghitung uang simpanannya.

Ngenes nggak? Itu yang aku alami Minggu, 3 Juni. Tanpa sengaja aku melihatnya sedang berhadapan dengan sang kasir itu. Rasa-rasanya aku mengenal bapak tua ini. Langsung aku samperin dia, dan ternyata benar! Dia itu papanya temenku. Anaknya cuman sebiji wayang, istri udah meninggal. Jadi, kemana-mana sendirian. Yang aku nggak nyangka, dia kesulitan membayar makanannya. Dengan hati mengharu biru aku mengambil alih transaksi itu. Waktu itu aku Cuma ngebayangin seandainya aku yang di posisinya, betapa kecut hatiku. Makanan udah abis, duit belon ketauan cukup apa nggak.

Waktu cerita ke misua dan anak, aku sampe ampir nangis. Abis, struktur keluarganya kan ampir sama, hanya bertiga. Jessie langsung nyeplos, “Tapi aku pasti nemenin mami papi koq! Nggak mungkin aku biarin papi mami sendirian.”

Yah..., namanya juga hidup. Kadang ada teman, kadang sendirian. Berapa banyak orang seperti pak tua itu yang merana sendirian?