Plat Kuning vs Plat Hitam

Kemarin malam kami menghadiri pesta pernikahan anak salah satu temenku. Cukup lama juga menanti kehadiran sang pengantin. Tapi, itu biasalah karena mungkin banyak persiapan ini dan itu.


Yang bikin agak terganggu itu ada salah seorang yang lalu lalang di pesta dengan bahu terbuka, tapi ada tato di punggungnya. Mula-mula sih aku nggak memperhatikan, tapi karena orang ini muter kayak gasing ke sana dan ke sini, akhirnya tertangkaplah tato itu oleh mataku. Aduh, kesian banget ya aku nih, nilai kecantikannya langsung nol. Dandanan heboh rambut dan keindahan bajunya jadi nihil semua.


Apa aku udah tergolong tua ya? Mungkin aja kan bagi tuh lady tatonya itu diperoleh dengan susah payah. Di punggung lagi. Kan ngerjainnya juga rada susah, musti buka baju segala. Belon lagi rasa sakit yang dialami. Pasti dia udah mempertimbangkan itu semua, maka jadilah tato itu.


Nah, tua nya aku nih muncul kalo ada yang nyleneh begitu. Kenapa kulit yang mulus-mulus musti ditato jadi ada motifnya begitu? Okelah, itu kuno. Tato kan bisa nambah sexy yang punya, apalagi kalo di tempat-tempat rahasia yang nggak saban waktu diliatin sama orang: belahan gunung putri, punggung, pinggang, deket pusar, dekat belahan pantat, paha sebelah dalem, or wherever lah. Nah, sedikit keluar dari kekunoan: boleh deh kalo itu demi orang tersayang, suami atau istri. Lhah, kalo sampe buat konsumsi umum? Gimana dong modernnya?


Jadi inget ade bontotku. Istrinya punya postur yang quite okay. Nggak gede tapi juga gak mungil. Lalu di suatu liburan kami jalan-jalan ke MTA dan banyak sekali baju-baju yang cantik buat dipakai iparku. Waktu aku usul supaya dia pake yang begitu juga (yang tali bahunya tipis, yang pendek sampe keliatan pusernya, yang ngepres banget sampe kayaknya tuh baju kekecilan, dll.), dia bilang begini, “Nggak ah. Nanti dikira plat kuning, lagi! Ini kan plat item, cuman buat my hubby aja.” Yang ngomong begini nih umurnya 8 taon lebih muda lhoh…


Sekarang pilih aja, mau plat kuning apa plat item, hehehe…

Sendiri

Wah, hari ini bener-bener deh! Ngiter kemana-mana dari jam 9 pagi sampe jam 3 siang baru pulang ke rumah. Sampe tadi waktu dating ke rumah temenku yang berulang tahun, rasanya dingiiin gitu. Abis, panas bener di jalanan.


Ceritanya aku dapet order ngebikinin kaos ultah seorang anak. Disain kaos semua dari usaha kami. Berhubung desainer kami meniggal, aku turun langsung. Ternyata….., ngedapetin ide bukan maen sulitnya. Pake acara merenung segala en mengerti karakteristik yang mesen. Buat orang kayak aku, merenung bukan perkara kecil. Salah-salah bisa bingung sendiri. Perlu waktu sekitar 3 hari buat catching the idea. Untunglah di dekat tempat tinggalku ada setter jagoan. Kemaren aku numpahin ideku di sana, lalu dibikin deh sama dia. Setelah itu, aku rundingan sama kongsiku, karena mata dia lebih awas dan jeli liat pola warna yang jatohnya bakalan bagus di kaos. Hari ini aku perbaiki semua dan selesai deh.


Itu baru satu urusan. Kepalaku tambah teng-tengan waktu denger ada salah satu mahasiswaku mengundurkan diri dari studinya. Aduh, mak! Koq bisa begini hari ini? Sampe aku agak kena semprot juga karena kebobolan. Nah, itu lho. Kedalaman jiwa dan kerusakan yang ada di sana bikin orang bisa geleng-geleng. Mau gimana lagi, wong penampilannya oke? Ternyata jiwanya carut marut.


Selesai itu aku harus nge-brief rekanku. Dia sih pinter dan mumpuni, tapi waktuku nyerepek banget, jadi deh aku lakukan dengan terburu-buru. Sayang juga tapi daripada sama sekali nggak ada briefing?


Untunglah Jessie sangat mengerti kesibukanku hari ini, jadi dia ikut aja, malah sempet maen sama temenku waktu aku nge-brief. Begitu sampe rumah, ganti baju, terlelaplah kami semua. Ups, tapi masih ada rapat nanti malam, he…he…he…, bener-bener kayak lone ranger!

Jiwa yang Terluka

Kemarin aku sama Mel langsung sedih waktu kami membicarakan disain kaos. Siapa lagi yang kami ingat bersama kalo bukan Mas Janni? Disain ini yang terakhir kami rembug bersama akan dibuat kapan. Tiba-tiba saja Mas Janni berangkat. But, the life must go on, so we decided to keep move on.


Sebelum itu aku dengar Mia tanya sesuatu sama mamanya lalu diakhiri dengan pernyataan, “Tapi kalo Mama nggak boleh ya nggak apa-apa.” Biasanya Mia nggak pernah bilang begitu, mungkin dia tahu sekarang beban mamanya berat setelah kepergian papanya.


Nggak heran kalo tiba-tiba aja aku pengen nangis, apalagi kalo denger ucapan Mia kayak gitu. Hhhh….., jiwa yang terluka memang susah untuk dilihat dan diperbaiki. Cuma kasih yang besar yang mampu membalut luka itu hingga sembuh total. Tapi, siapa yang memiliki kasih yang sedemikian besar? Mungkin hanya Tuhan…


Itu kalo dari pengalaman temanku sendiri. Nah, yang lagi marak sekarang ini kan perselingkuhan, sampe ada buku yang judulnya terang-terangan mencantumkan kata selingkuh. Nah, aku coba-coba membayangkan andaikata orang dikhianati pasangan hidupnya, padahal dia percaya 100% sama pasangan hidupnya itu. Kayak apa ya perasaannya? Apalagi kalo itu dilakukan oleh sahabatnya sendiri? Wah, bisa-bisa itu kayak ditusuk dari belakang terus pisaunya itu diuntir-untir di lubang lukanya. Hih, ngeri!


Jadi, yah jiwa yang terluka itu memang sulit disembuhkan, apalagi kalo orang yang terluka itu nggak mau ngomong sama siapa pun. Mending-mending ada temen curhat, kalo dipendem sendirian? Pelampiasannya itu yang macem-macem, dan itu bikin tambah ngeri akibatnya. Dari berbagai kasus yang aku temui, ada satu harapan yang teteup aku lihat: kuasa pengampunan. Walaupun proses melupakan setelah mengampuni itu juga nggak enteng, tapi bisa ditempuh. Kan udah punya contoh Tuhan Yesus yang mengampuni orang-orang yang telah menyalibkan-Nya? Itu sih lebih sakit dari pisau yang diuntir-untir tadi. Kalo ada teladan, pasti bisa dilakukan. Sekarang tinggal peran orang-orang yang mengasihinya di sekelilingnya, mampu nggak mereka menerjemahkan kasih Ilahi itu dalam hidup mereka sehingga si orang terluka itu sembuh total?

Selesai

Lega sekali hari Sabtu kemarin waktu nganter anakku sekolah. Melihat wajahnya yang berseri-seri dan siap ujian bahasa Inggris seolah seperti jaminan bahwa semester ini akan berlalu dengan baik.


Kenapa aku lega? Karena aku nggak bisa seratus persen mendampinginya. Pikiranku larut dalam kedukaan dan berbagai hal yang serempak terjadi di minggu ini. Syukurlah Tuhan memampukan aku melewati semua itu dengan baik. Selain itu, Jessie itu pengen sekali jadi juara 1. Nggak usah mikir alas an yang muluk-muluk di balik keinginannya itu…..dia pengen karena mau dapet hp. Aku ngejanjiin begitu.


Apa aku nggak tahu kalo isi kelasnya anak pinter-pinter? Tahu sekali, tapi di mana-mana banyak anak pinter je. Apa aku hanya memberi janji kosong? Dalam hati aku bangga juga kalo anakku juara 1, tapi nggak pernah aku ungkapkan. Khawatir nanti anaknya tertekan. Tapi, yang melebihi itu semua adalah senengnya ngeliat dia begitu semangat dalam belajar, membuat peer dan membuat prakarya.


Minggu ini semua udah selesai. Betul-betul lega. Besok udah santai dan bisa ngapa-ngapain tanpa terbeban dengan belajar. Bener-bener Ebenheizer, sampai di sini Tuhan menolong kita.

He's Gone

Di kebaktian Minggu pagi aku mendengar pengkhotbahnya mengatakan kalau hidup ini harus dijalani dengan sebaik-baiknya, karena hari ini masih beraktivitas besok tiada. Aku nggak nyana kalau hari itu juga aku mengalami kehilangan. Tak disangka-sangka, tak diduga, tanpa pemberitahuan dan tanpa tanda-tanda.


Suami kongsiku dalam usaha kami meninggal dunia karena terkena serangan jantung. Begitu mendadak dan prosesnya sangat cepat. Sesudah jenazah di ruang mayat PUKY, aku mengobati kehilangan dengan berduaan saja bersama beliau. Istrinya pulang ambil baju untuk dipakaikan sesudah dimandikan, pelayat yang lain sibuk dengan kursi dan tetek bengeknya. Aku di sanalah dengan almarhum. Herannya aku nggak takut atau gemetar, bahkan aku melihat saat ia dimandikan dan dipakaikan baju.


Hari-hari perkabungan terasa sarat awan duka, karena sebenarnya 3 December aku janjian akan merundingkan disain kaos, tetapi ia berpulang sehari sebelumnya. Istri dan anak-anaknya kerap menangis sesenggukan, seolah-olah ingin mengatakan ini Cuma mimpi. Malam itu aku pulang dari rumah duka pk 02.30, beriring-iringan mobilku diantar saudaranya. Dari perbincangan sekecap-sekecap dengan temanku itu, aku sedih melihat betapa tidak siapnya keluarga yang ditinggalkan. Tapi kenyataan harus terus dijalani, peti harus ditutup dan akhirnya kami tak bisa lagi menatap Mas Janni.


Setelah empat hari disemayamkan, hari ini beliau dimakamkan. Aduh, rasanya gimanaaa… gitu, semua menjadi tidak pasti. Berkali-kali temanku berkata dalam pelukanku, “I don’t know Mar, I don’t know. Seems like a dream.” Belum pernah aku merasa kehilangan seperti ini, rasanya ada yang semplah.

Betullah yang dikatakan C.S. Lewis, kedukaan ini tak dapat diatasi, tapi proses kedukaan harus dijalani. Entah sampai kapan aku akan terus mengingat Mas Janni yang duduk di meja tulisnya menerima pra design kaos yang diorderkan kepadaku. Entah sampai kapan aku akan terus terkenang caranya mengisap rokok ketika kami merundingkan design. Entah sampai kapan juga aku kehilangan ketelitiannya yang luar biasa terhadap mutu jahitan dan potongan kaos. Belum lagi suaranya ketika meminta tukang potong dan tukang jahit kami membetulkan jahitan yang merot-merot. Tapi setidaknya aku memiliki kenangan karena kaos ultah Jessie adalah hasil rancangan Mas Janni. Lighting dan pilihan lantai rumah kami adalah karena arahannya. Hanya saja hadiah kepindahan ke rumah baru yang sudah disiapkan Mas Janni tak akan pernah sampai ke tangan kami karena beliau sangat repot sampai tertunda-tunda disampaikan kepada kami lalu hadiah itu dipecahkan pembantunya.


Selamat jalan, Mas. Kami percaya dirimu sudah bersama dengan Tuhan Yesus. Aku berjanji bersama istrimu akan meneruskan usaha ini dengan standar seperti yang Mas Janni idamkan.