Gereja Masa Kecil

Kalau liburan akhir tahun biasanya kami sekelurga berkumpul di Jakarta. Jadi aku dan keluarga yang di Yogya bergabung dengan adik-adik yang memang berdomisili di Jakarta.

Aku sih seneng-seneng aja liburan kayak gini, cuma ada satu yang sering bikin aku nggak enak hati. Aneh ya, suasana liburan jadi bikin pergi ke gereja itu sesuatu yang janggal. Kalau lagi liburan keluarga begini, pergi ke gereja jadi sesuatu yang rasanya terasa tak pada tempatnya. Cuma, tahun ini aku bersikeras ke gereja saat Natal, walau itu berarti aku harus bangun pagi-pagi, nggak sempet sarapan pagi dan pergi naik taksi di Jakarta.

Akhirnya aku berhasil bangun pk 05.00, lalu siap-siap. Gawatnya Jessie lebih memilih tidak ke gereja karena keluarga mau jalan-jalan di pantai dan segudang aktivitas yang tentunya lebih menarik buat anak kecil tinimbang duduk sejam setengah di gereja. Aku bujukin, aku marahin, tetep nggak mempan. Jadi aku berangkat ke gereja dengan setengah bersedih hati.

Kenapa sih aku bersikeras ke gereja? Kalo mau gampang aku tinggal klik situsnya gerejaku, atau gereja berbahasa Indonesia di Singapura yang memuat suara pendeta sedang berkhotbah. Tapi aku mau hadir di gereja di saat penting ini karena: nggak banyak waktu untuk merenungkan betapa banyak berkat-Nya dalam kehidupan ini, mengingat pertolongan Tuhan Yesus setahun ini (terlebih waktu kami kehilangan Mas Janni), kemurahan-Nya yang senantiasa tercurah setiap kali aku minta order kerjaan, berkat kesehatan dan kepandaian untuk anak semata wayang dan keutuhan keluarga. Masak berkat-Nya melimpah aku nggak bisa nyediain waktu 2 jam aja untuk kebaktian Natal?

Setelah tanya sana sini, akhirnya aku memutuskan ke Gunsa 4. Itu gerejaku waktu masih kecil. Masih jelas di ingatanku kalau aku 'setia' ke sana setiap minggu, walaupun harus naik bajaj sendirian. Kalo diingat-ingat seberapa banyak sih yang bisa diserap anak umur 14 tahun dari khotbah di kebaktian dewasa? Cuman aku inget aja betapa tenangnya aku kalau kebaktian selesai.

Gereja itu masih tetep sama.Pendeta yang berkhotbah adalah pendeta yang dari aku kecil sudah melayani di sana. Pendeta ini sudah tua, keriput-keriput di mukanya juga jelas terlihat, namun suaranya masih setegar dan sejelas dulu sewaktu muda. Kebaktiannya betul-betul menenangkan aku. Tingkah denting piano dan lompatan lincah klarinet mengiringi perpaduan lagu-lagu klasik dan modern dengan cantiknya. Paduan suara sudah dipersiapkan dengan baik, jadi cengkak-cengkok Unto Us a Child is Born atau Hallelujah Chorus mulus terlewati. Kebaktian diakhiri dengan Hallelujah Chorus, dan jemaat menutupnya dengan bersama-sama menyanyikan refrainnya.

Selamat Natal semua. Kiranya kasih dan kemurahan Tuhan membuat kita terus berharap, walau ada kemungkinan kita menjadi tawar hati saat krisis ekonomi menjadi badai besar di tanah air.

Tak Menyangka

Bagiku, semester pertama Jessie di kelas 3 ini membuat deg-degan. Mungkin aku termakan asumsi pribadi bahwa kelas 3 itu krusial. Kalo anak nggak menguasai bahan di kelas ini, dia akan keteteran di kelas 4. Lalu kelas 5 mulai lagi dengan bahan baru, dimantapkan di kelas 6, lalu ujian SD.

Makanya aku mencanangkan belajar sore dan belajar pagi. Namanya juga anak kecil, yang penting buat dia ya bermain. Belajar itu kalo suara maminya udah kayak tukang jual anduk di pasar, yang kedengeran ke mana-mana. Aku pikir conditioningnya yang kurang, jadi dia nggak terbiasa melihat orang belajar. Tapi itu kan alasanku biar keliatan ilmiah dikit, tapi utamanya ya itu tadi, yang penting bermain.

Semester ini aku bener-bener kecolongan, karena nggak ngeh kalo 1 Desember udah UAS. Lalu pas mau UAS Mandarin aku repot dengan berbagai urusan. Lalu aku terlambat tahu kalau UAS nya ini diambilkan dari Dinas, jadi bukan sekolah yang mengeluarkan soal. Hari kedua aku langsung belikan buku-buku tambahan untuk matematika, ips dan ipa. Biasanya aku menyiapkan Jessie 2 minggu sebelum UAS, supaya bisa belajar sedikit-sedikit dan nggak bikin stres. Kali ini belajar sehari sebelumnya, dengan bahan yang seabreg...! Alhasil, jeblog deh UAS nya, padahal bobot nilai UAS itu besar sekali.

Jadinya aku menyiapkan mental Jessie supaya jangan gela kalo nggak masuk 5 besar, soalnya dia pede sekali bakalan masuk 3 besar. Dari pengamatanku banyak anak-anak lain yang lebih solid nilainya daripada dia.

Waktu ambil rapor.....ternyata Jessie di ranking 2! Wah, aku bersyukur banget dan kaget dan lega dan takjub. Dengan persiapan seadanya dan waktu belajar yang sempit, dia berhasil. Betul-betul nggak nyangka! Papinya yang lagi tugas di Jakarta juga kaget waktu terima sms Jessie. Soalnya kami pernah mendiskusikan keprihatinan akan nilai-nilai UAS nya. Thanks God.

Apaan Nih Ya?

Lucu deh, berhari-hari aku coba posting dengan cara copy paste artikel yang aku tulis dengan words. Teteup aja error, dan selalu problemnya ada di HTML.

Iseng-iseng aku coba nulis langsung di sini. Bisa tuh diterbitin. Pusing deh...

testing

Setahun Lalu

Pagi 7 Desember itu rinai-rinai hujan membasahi bumi. Dingin pagi yang mengigit tak cukup kuat membekukan kekhawatiranku. Kami sekeluarga merencanakan nyekar ke makamnya Mas Janni, bersama dengan istri dan anak-anaknya. Selain itu kami juga akan menanam pohon di makamnya.

Ketika waktu pelan beranjak ke pk 08.30, hujan tak menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Karena itu kami memutuskan tetap nyekar. Karena harus ambil pohon dulu di rumah salah satu kawan, dan berhubung Jl. Jambon sedang dilebarkan, kami menunggu di depan Kubota.

Akhirnya kami berangkat pk. 09.40. Si Mumun memimpin di depan, mengambil jalan menuju pabrik gula Madukismo. Setelah itu, mobilnya Mel yang pimpin jalan, karena aku nggak hafal jalan menuju Sempu V. Mungkin karena hujan, jalanan sepi banget. Nggak sampe 30 menit, kami sudah sampai di makam.

Temanku menanam pohon di kiri dan kanan makam. Mel bilang supaya suasana makam teduh. Kami sempat guyonan, “Paling-paling Mas Janni nengok dari surga, geleng-geleng lihat cara kita menanam pohon!” Setelah pohon tegak berdiri, kami semua berdoa. Tadinya Mel pengen Khun yang pimpin doa karena dia yang paling tua. Rupanya Khun terharu biru sampai nggak sanggup bicara, jadi aku yang pimpin doa.

Dalam doaku aku memohon supaya Tuhan Yesus membimbing kami semua yang pernah mengalami dan melihat keteladanan hidup Mas Janni, tetap menyatukan Mel dan anak-anak dan custodynya. Suasana sempat mellow dikit, karena tanpa terasa telah berlalu setahun sejak Mas Janni meninggalkan kami semua secara mendadak. Hidup setahun belakangan ini memang berat bagi kami, apalagi bagi Mel yang harus menghidupi kelima orang anaknya. Di masa-masa inilah kami sungguh merasakan pertolongan dan kasih Tuhan. Tanpa penyertaan-Nya, mana mungkin kami bertahan di badai kehidupan yang menerjang.

Badai itu sudah berlalu, tinggal meneruskan usaha kami sambil terus mengingat-ingat bagaimana teliti dan rapinya Mas Janni dalam bekerja.

Echooo...

Kayak ada aturan tidak tertulis di lingkungan gerejaku. Kalau udah lama nggak ada kematian, begitu ada satu kematian, lalu rantainya jadi panjang.

Dua hari lalu aku diajak seorang kawanku menghadiri kebaktian pelepasan jenazah, sebelum diberangkatkan ke G. Sempu. Upacaranya sesuai tata cara GKI, jadi aku tenang-tenang saja. Hari ini aku juga menghadiri kebaktian pemberangkatan jenazah. Aku hanya mengenal sepintas yang berduka, salah satu aktivis KUK. Yang seru upacaranya itu secara Khatolik. Rupanya, anaknya ini memeluk agama Khatolik, walaupun mamanya Kristen.

Langsung deh teringat semua misa yang rutin aku hadiri sejak TK – SMA. Caranya membalas nyanyian Romo, sesudah bacaan pertama, waktu komuni dan nyanyian-nyanyiannya. Ada juga yang aku kurang paham seperti pemberkatan jenazah, pemberkatan bunga dan tanah. Bagiku, semua itu tata cara untuk melapangkan jalan si jenazah aja.

Khotbahnya juga singkat dan sangat praktis berkaitan dengan bagaimana orang takut menghadapi kematian, tetapi Tuhan Yesus dapat memahami ketakutan ini hingga memberitahu murid-murid-Nya bahwa di rumah Bapa-Nya banyak tempat.

Aku nggak tau apakah setelah ini ada lagi yang mau ikut (hiii...), karena aturan tak tertulis itu biasanya kematian itu baru berhenti setelah tujuh kali. Lalu lamaaa….tak ada kematian, lalu mulai lagi.

Memang, lahir dan mati tak bisa dipilih harinya, tak bisa direncanakan datangnya dan tak bisa diduga kapan akan terjadi. Seperti kelahiran, kematian juga peristiwa ajaib. Karena itu bukan panjang pendeknya umur yang patut direnungkan saat kematian menjemput, tetapi seberapa dalam makna hidup yang telah dijalani.

Dari abu kembali kepada abu…, ada nggak ya bahasa Latinnya, kayaknya itu lebih nyesss…

jeJAMURan

Pertama kali tertarik dengan papan namanya pas pulang dari Magelang. Ketertarikan itu hanya sesaat, sampai ada seorang kawan promosi kalo resto itu enak dan unik.

Jadilah siang-siang di hari Minggu kemarin kami mencoba resto ini. Kalau dari arah Yogya, papannya nggak keliatan, karena di sebelah kanan jalan. Jadi waktu sampe di zona selamat warna merah, belon keliatan-keliatan juga papannya, aku u turn. Nah, kalo dari arah Magelang, keliatan papannya. Dari perempatan setelah zona selamat, belok kiri, nggak jauh koq. Di papannya tertulis 800m, padahal baru juga nyetir, tau-tau udah sampe.

Nggak disangka di sana banyak mobil betebaran. Kami jadi semangat, berarti nih resto lumayan karena didatangi banyak orang. Jadi, kami masuk ke sana dan duduk manis. Di menunya banyak sekali makanan yang serba jamur. Kami pesan sate jamur, tongseng pepes jamur, dan jamur goreng tepung. Pesennya satu porsi dulu, karena kan belon tau seleranya cocok nggak.

Selaen resto, ada juga pembibitan dan budi daya jamur. Jadi, sambil menunggu pesanan datang, mereka melihat-lihat ke sana. Aku sih duduk-duduk aja sambil baca Kompas Minggu. Untung bawa Koran, akrena ternyata pesanannya cukup lama. Mungkin karena rame, jadi kayaknya agak kewalahan tuh. Abis liat-liat pembibitan, mereka ambil keripik jamur tiram buat ganjel-ganjel, laper sih udah siang.

Akhirnya tuh pesenan dateng juga. Pelayannya memberitahu kalo sate jamur bakalan lama, langsung deh aku cancel, ganti sama pepes jamur, daripada tengah jalan pas nasi udah abis baru satenya datang? Begitu dicicip, kami langsung suka. Aku sih cocok sama rasanya, terutama pepesnya itu. Jessie doyan banget makan jamur goreng tepung. Biasanya cumi goreng tepung, siang ini jamur goreng tepung. Lahap makannya, seneng banget ngeliat dia makan dengan lahap. Tongsengnya juga enak.

Habis makan, ada es puter. Udah lama banget nggak makan es puter. Uniknya es puter ini dijual di cup kecil, sikaaat bleh.

Makan segitu banyaknya, billnya 52.500, sip nggak? Udah ngurangin makan daging, nyehatin badan, enak lagi di kantong. Bener-bener Minggu siang yang sip!

Mendadak Olahraga

Beberapa waktu lalu ada seorang temanku yang terhinggap gejala-gejala yang ‘melumpuhkan’ dia. Tiba-tiba aja badannya panas dingin, menggigil nggak karu-karuan. Lain kali pusing sampe nggak bisa bangun. Karena kondisi badan memprihatinkan, padahal kerjaan rumah juga menumpuk, langsung dia check up menyeluruh.

Hasil check up itu positif, artinya nggak ada kerusakan di organ-organ dalam yang vital bagi kelangsungan hidup. Ginjal ok, jantung ok, hepar ok, semua ok. Cuman dokternya yang mengatakan bahwa gejala-gejala yang dialami kawanku itu seperti gejala-gejala orang yang mau menopause. Dia kaget luar biasa karena usianya baru 37 tahun, biasanya menopause kan sekitar usia 50 tahun. Jadi, tubuh yang panas dingin itu pengaruh perubahan hormonal. Dokternya menyarankan dua hal yaitu olahraga dan jangan sering-sering jajan.

Nah, saran dokter itu suka juga aku langgar, terutama yang olahraga. Kayaknya udah nggak ada waktu buat olahraga. Waktu Jessie bayi sampai kira-kira dia umur 1,5 tahun aku masih bisa ngikutin program senam pagi-pagi di ANTV. Dari sejak tiu sampai sekarang, kadang-kadang aja aku renang. Selebihnya olahraga mulut, alias makan n ngomel, ha….ha…ha…! Syukurlah, minggu lalu dibuka kelas tari untuk ibu-ibu. Aku langsung daftar, langsung seneng dan gembira. Jadi, abis kelasnya Jessie, kelasnya ibu-ibu.

Kayaknya gampang, enteng dan cuman gerak-gerak ikutin irama gamelan. Jebule angele pol! Menurut salah satu penari, menari justru olahraga yang lebih berat dari aerobic. Walopun gerakanku juga nggak serius-serius amat, tapi kagok banget disuruh berjalan mendhak. Lhah, biasanya jalan aja udah kayak orang lari, koq ini jalan harus kemayu, lenggak-lenggok. Alhasil isinya kelas itu banyak ketawanya, susah sih gerakannya. Tapi kalo aku pikir-pikir, mungkin yang bikin gerakanku jadi susah itu karena aku belum los. Tari itu kan dari jawa timuran, jadi gerakannya rancak dan banyak megal-megolnya. Nah, aku belon bisa tuh megal-megolnya, he….he…he…

Bener lho, keringetan sampe kaosku basah. Belon lagi, akrena aku udah lama nggak gerak badan, besoknya kakiku sakit buat jalan. Nyetir sambil nyengar-nyengir nahan sakit di paha. Tapi, udah terbuka satu jalan untuk olahraga.

Saran dokter kawanku yang kedua itu yang harus aku siasati lagi, karena masak tiap hari gitu bisa repot. Paling dalam seminggu aku masak sekali dulu. Baru lama-lama masak lebih sering. Yang aku usahakan selalu ada tiap hari itu buah dan air kacang ijo. Pelan-pelan aku mau atur lagi waktunya.

C.C.K.

Kalo aku yang suruh baca singkatan di atas, langsung aku teringat pelajaran bahasa Jawanya Jessie, isenana cecek-cecek ing ngisor iki…, yang artinya isilah titik-titik di bawah ini.

Tapi bukan itu, ternyata. Itu singkatan sebuah klub yang didirikan oleh kakak angkatannya Jessie, kependekan dari klub Cewek-Cewek Keren. Nggak maen-maen rupanya, ada syaratnya: musti bisa cipta lagu, ada cowok yang naksir kamu diam-diam, dan bisa main alat musik.

Buset dah, ini anak kelas 4 SD. Udah kebayang deh dunia remaja kayak apa. Dan, peminat C.C.K. banyak lhoh. Mereka berebutan menunjukkan lagu hasil ciptaannya, terus kalo istirahat senyam-senyum sama anak laki-laki yang menurutnya naksir dia. Kali kalo zamannya aku dulu, cewek begini nih udah dipandang sebelah mata kali. Zaman sekarang, cewek gini malah disanjung sebagai cewek kreatif dan gaul.

Aku cuma bisa geleng-geleng liat trend anak zaman sekarang. Pengaruh tv gedhe banget. Lhah, anak sekecil itu bikin gang yang syaratnya seperti mau ikut idola cilik aja, ha…ha…ha….! Tapi yang bikin aku prihatin itu karena anak sekarang cenderung mengabaikan yang namanya proses, semua serba instant dan semua menuju kea rah keterkenalan yang jadi dambaan semua orang. Apa jadinya kalau mereka masuk lab, atau mengamati pertumbuhan padi, atau belajar bikin kue??? Bisa-bisa padinya dicabut sedikit akarnya, supaya keesokan harinya padi udah tumbuh besar. Mending-mending hasilnya begitu, kan malah mati, he…he…he…

Emosi Terkuras

Hari ini bener-bener emosiku terkuras, ngurusin sablon. Aku udah deal sama satu tempat sablon, lalu disain keluar, tapi formatnya jpg. Ternyata disainnya kurang disukai sama yang order, lalu disain awal mau diubah. Tapi karena format filenya jpg, jadi udah mati. Hari ini aku pontang-panting nyari tukang sablon yang bisa kerja cepet, soalnya ternyata pestanya juga dimajuin.

Tukang sablonnya ketemu, yang mau kerjaannya disela untuk menolong aku, supaya ordernya selesai tepat waktu. Masalahnya ada di gambar disainnya yang udah nggak bisa diubah-ubah lagi. Aku sampe bingung mau gimana lagi. Akhirnya dengan hikmat Tuhan, aku serahkan buku-buku yang aku punya untuk mencari gambar anak-anak kecil. Begitu melihat buku tadi, langsung yang mau ngegambar ulang berseri-seri mukanya. “Kalau ada buku ini pasti jadinya deh, Bu!”

Aku lega, tapi emosiku udah kadung terkuras. Kerjaan sablon tuh emang lebih ribet daripada bordir. Kalo bordir kan hanya membutuhkan gambar yang artistic, jelas dan cukup waktu. Kalo sablon tergantung banyak faktor: matahari untuk mengeringkan cat, adukan pasta, waktu untuk misah-misah warna, dan taste pembuatnya. Kalo meleset sedikit, bisa ancur jadinya.

Setelah sablon masuk, aku deg-degan sambil berdoa terus, supaya semua lancar. Soalnya, bahan udah dipotong dan pesenannya dalam jumlah banyak. Jadi, bisa amsyiong kalo sampe gagal semua.

Jadi, hampir hil yang mustahal deh saran supaya meninggalkan stress di tempat kerja dan pulang dengan melapangkan hati. Lhah, karena emosi terkuras, lenyaplah tenaga untuk masak, padahal rencananya hari ini mau masak sop jagung ayam kampung….

Ini bukan dongengnya Harry Potter, tapi betulan. Tentu aja yang dimaksud naga di sini adalah naga di dalam per-shio-an. Konon, naga adalah salah satu shio besar, karena itu sifatnya juga besar. Besar ambisinya, besar ngamuknya, besar ngambeknya, besar gembiranya, besar marahnya, besar terharunya, dan segala yang besar-besar.

Pengalaman ngegedein anak naga kujalani dengan terantuk-antuk. Papinya udah lihat sifatnya dari kecil, yaitu nggak bisa dikerasin. Hanya dalam keseharian, caraku membesarkannya seperti panglima angkatan bersenjata. Kata yang denger dan pendengarannya sangat tajam, nada suaraku itu tinggi, selalu dengan nada memerintah dan mendesak sampai ke batas kesabaran orang. Apalagi…, aku punya bawaan kolerik yang sangat kuat.

Hasilnya? Jadilah anak semata wayangku yang sangat gembira, gampang ngambek, dan super duper ngeyel. Mungkin karena dia tahu kemampuan otaknya sedikit extraordinary, jadi kalo dibilangin ngeyel alias selalu membantah. Nah, yang di dekatnya adalah ibunya yang calon panglima, ha…ha…ha…, alhasil kebanyakan metodenya menang-kalah. Nggak semua anak shio naga gliyak-gliyak or high energy. Ada juga anak shio naga yang tenang, kalem, pikirannya dalam. Tapi, kan ada pepatah bahwa buah jatuhnya nggak jauh-jauh dari pohonnya? Anak naga aku ini juga lebih dominan koleriknya dibanding melannya.

Kemarin malam aku disadarkan sama misua kalo cara ini akan membawa bencana saat si anak besar dan mulai mandiri. Bisa-bisa dia kabur dari rumah, atau nggak mau dengerin ortunya. Ini berarti aku harus kembali mempelajari bagaimana menjadi orangtua efektif plus analisa transaksional. Jadi ujung-ujungnya bukan duit tapi belajar!

Sendirian

Wah, malam ini aku benar-benar sendirian. Tiba-tiba aja tadi siang keluar pengumuman bahwa Jessie libur besok, karena Hari Guru.

Lalu, ada kawanku yang datang. Anaknya sepantaran Jessie, jadi ikutlah Jessie dengan kawanku itu.

Udah lama aku nggak pernah sendirian. Rasanya jadi aneh dan lengang. Untung hujan reda, jadi aku bisa ngenet, kalo nggak bisa bosen deh. Sekalipun kalo Jessie ada aku dan dia bisa bertengkar, tapi nggak ada perasaan lengang.

Mudah-mudahan maleman dikit ide kreatif bisa muncul, soalnya ada yang mesen kaos tapi disain gambar, huruf, variasi kaos semua dipasrahkan sama aku...

Looking for a Friend

Kan lagi zamannya nih nemuin temen lama, aku jadi ikutan nyari. Salah satu yang pengen banget aku temuin itu teman satu angkatan di Psiko UGM, tapi udah hijrah ke Amerika.

Aku manfaatin deh tuh si Oom Google, ketika namanya dan voila! Dia ada di sana lagi nari Tari Merak, dengan kostum asli, persis kalo dia nari di sini. Memang dia penari klasik Jawa, aku lupa Yogya apa Solo. Jadul aku pernah diajak meliput tariannya waktu dia mementaskan Ramayana indoor.

Nah, mulai nih pencariannya. Aku sempet kepikir nulis imel ke pengelola rubric. Pikir punya pikir manalah dia tau alamat yang difoto, yang penting bereitanya aja yang masuk, kan begitu biasanya. Lalu, aku search lagi namanya. Muncul di Linkedin. Ada beberapa tawaran di sana, dan aku klik View the Full Profile. Lalu muncul pernyataan kalo aku musti jadi membernya Linkedin baru bisa lihat profilnya Wisnu. Saking kepengennya kontak Wisnu, jadilah aku membernya Linkedin. Padahal, juju raja nih, dengan dua maenan di inet: blog en fesbuk kadang-kadang aku keteteran juga. Tapi nggak apa-apa deh, demi Wisnu.

Aduh, ternyata aku gaptek abis deh. Udah jadi member, aku bingung, koq nggak kembali lagi ke halaman yang tadi muncul untuk lihat profilnya Wisnu. Aku cari-cari lagi. Lalu, satu-satunya cara kontak dia adalah dengan mengirimkan SendInMail. Wah…, ternyata kalo mau ngirim itu aku musti upgrade email address ku, bayar sekian puluh dolar. Gak jadi…gak jadi… (kalau ada yang tahu cari teman via Linkedin, mohon info ya?)

Bye bye Wisnu, someday I will look for u again.

Salad Gratizz

Berhbung misua mau dines luar kota yang cukup lama… 1 minggu bo, kami makan malem di luar. Biasanya kan makan di rumah. Maklum, harga-harga melambung, paling nggak sekali makan bisa abis goban, kan boros banget. Tapi, kalo ada momen khusus begini, kami ke luar.

Runding punya runding, semua sepakat makan pizza, di tempat yang duduknya nyaman dan ada pahe alias paket hematnya. Jadilah kami ke sana. Buset dehh… malem minggu bukan, malem wiken juga bukan, tapi nih resto rameee banget. Persaanku mulai nggak enak waktu pesenan nggak dateng-dateng.

Akhirnya dateng juga…., terus langsung ludes karena semua pada kelaparan. Menjelang suapan terakhir aku nanyain ke mana tuh lasgna, koq gak nongol-nongol. Orang yang kayak store manager datang menjelaskan duduk permasalahannya. Ternyata gagal masak, masak yang kedua sedang dilakukan, kira-kira 5 menit. Pasti deh mukaku udah nyeremin banget, sampe tuh orang ngomongnya ke misua melulu madepnya, ha…ha…ha…! Tunggu punya tunggu, lebih dari 5 menit, nggak nongol juga. Datanglah lagi si petugas sambil menjelaskan panjang lebar. Di akhir penjelasan, kami disuruh menunggu sambil menikmati salad or soup, for free.

Misua deh yang ngambil saladnya. Separuh jalan makan salad, datanglah si lasagna. Wah tapi muncul masalah baru, perutnya udah kagak muat lagi. Kenyang makan pizzanya dan kenyang nunggunya. Jadilah malam itu dapet salad.

Sampe di mobil misua bilang gini, “Laen kali pilih lagi masakan yang susah bikinnya ya Mam!” Ha…ha…ha…, itu kan karena aku demam Italia gara-gara baca buku trip to Italia. Kalo nggak gitu, mesennya yang std alias standar-standar aja.

Kayaknya makin lama Jessie makin kurus deh. Mula-mula sih aku selalu beralasan sama yang nanya kalo dia kebanyakan olah fisik, nari dan renang. Tapi, misua nggak terima begitu aja. Dia nyaranin supaya ada makanan selingan antar waktu makan. Kalo bapak udah bicara begini, kadang-kadang aku yang kebingungan. Maklum, mbok keset, maunya yang praktis-praktis aja.

Nah, mulailah aku ngegoreng kentang, emping, kerupuk, dll gorengan. Karena terus-terusan dihantem gorengan, kerongkongannya Jessie meradang. Aku stop, terus mulai dengan memperbanyak buah dan kadang-kadang merebus kacang hijau untuk bikin air kacang hijau. Selaen itu diem-diem porsi nasinya aku tambah, susu juga kalo bisa 3x sehari.

Program penggemukan ini semakin kenceng setelah adeku bilang begini ke Jessie, “Oom Didi seneng Jessie udah tinggi, tapi musti agak lebar sedikit ya badannya.” Wah, dia jadi tambah semanget makan ini itu.

Mboknya yang musti kreatif, coba ini dan itu, even outside my hobby, misalnya masak or bikin kue. Pagi ini aku coba bikin nagasari. Kalo ini sih bukan buat Jessie aja, tapi buat bapaknya juga. Ternyata kesenengan dia sama dengan aku: nagasari. He…he…he…, aku modifikasi sedikit resepnya. Nggak pake pisang kapok, tapi pake pisang raja. Maksudku supaya sisanya bisa diemplok begitu aja. Kalo pisang kapok nanti aku musti goreng pisang lagi, wah… itu nanti dulu deh. Minyaknya bisa kemana-mana, ngepelnya susye…ha...ha...ha...

Lumayan keliatan hasil program ini. Kalo Jessie pake legging, pantatnya mulai keliatan berisi. Aku bener-bener kangen liat pipinya yang ndut, buat dicubit-cubit. Jail banget ya jadi ibu?

Ngrasani Papi

Jessie lagi seneng dorong-dorong aku. Kalo udah begitu mestilah dia berujar begini, “Nah kan, mami nggak kuat tho? Padahal cuman aku senggol pake pantatku lhoh?!”

Aku sih nyengir-nyengir aja, soalnya aku memang ngelepas badan kalo didorong dia, daripada tau-tau pinggangku kecetit?

Waktu mandi bareng pagi tadi, Jessie dorong lagi. Jujur aja, sebenernya aku pengen marah, karena kalo dorong-dorong di kamar mandi bisa-bisa kepeleset. Cuma ngeliat mukanya yang enjoy banget, aku berubah arah, aku terusin aja permainannya,


“Jangan dorong-dorong, Jess, nanti jatuh nih.”


“Atau gini Mam, pas aku dorong Mami kontal sampe nembus tembok kamar mandi…”


“Gitu ya, terus masuk ke kamar Mami Papi? Terus nibanin Papi???”


Sambil cekakakan Jessie nimpalin lagi, “Gepeng deh Papi. Mami kan ndut, mana tahan kalo Papi ketiban Mami?”


“Jadi, kalo gepeng begitu, kayak kerupuk udang dong?”


Abis deh, papinya dijadiin guyonan. Waktu aku sampein ke misua, dia cuman bisa geleng-geleng, “Wah, jailnya sama sewotnya sama-sama kenceng!” Asal tau aja, kadang-kadang mulutnya Jessie sering-sering lebih mancung daripada idungnya, alias mcc alias mecucu alias cemberut sambil manyun, bisa ngebayangin nggak?

Derai Tawa Pagi

Pagi tadi Jessie belajar soal PKN alias Pendidikan Kewargaan Negara. Memang pelajaran begini nih abstrak buat anak seusia dia. Orang dewasa aja susah kali kalo disuruh mendefinisikan norma, aturan, dan tetek bengeknya.


Setelah bahan selesai dibaca, aku nebakin sumber dari peraturan-peraturan yang ada di masyarakat. Susah juga nyari kata yang menggambarkan bahwa maksudnya itu sumber. Pikir punya pikir aku bertanyalah begini, “Jes, norma dan peraturan itu sumbernya dari kitab mana?”


Mulai….dahinya berkerut-kerut. Nggak berapa lama keluar jawabannya, “Kitab Sutasoma, Mam!”


Aku terkaget-kaget, koq bisa itu jawabannya, padahal itu materi bahasa Jawa. Oalah… nggak tahan deh aku, ngakak sampai keluar airmata.


Kesian deh anakku ini, masak sampe kecampur aduk begitu. Kitab Undang-undang jadi kitab Sutasoma. Jessienya juga kaget lalu pagi itu pecah dengan derail tawa kami.


Kali kalo nerima terlalu banyak informasi bisa begitu ya? Mana nih jawabannya, keselip di mana nih teorinya, dst.nya. Perasaan zaman sekarang pelajaran jadi terlalu dini diberikan. Kayaknya waktu aku sekolah dulu soal undang-undang baru muncul kelas 4 ato 5, koq sekarang udah diperkenalkan dari kelas 3, walopun cuman disebut “bersumber dari Undang-undang.” Nih kalo ibunya nggak baca Koran terus updet data zaman SD baheula dulu, bisa repot nih bakalannya.


Ternyata aku musti terus belajar ya? Kirain begitu anak masuk SD aku bisa santai-santai, setelah di KB dan TK berjuang memantapkan fondasi keilmuan Jessie. Eeh…, di SD belajar lagi menerjemahkan pengetahuannya yang kadang-kadang abstrak menjadi bahan yang mudah ditangkap pengertian kanak-kanaknya. Inilah sekolah kehidupan, belajar terus, tapi SPP nya berujud Koran dan sergala macem buku pelengkap!

Harum Tempe

Udah lama banget nggak pernah ngegoreng tempe sendiri. Biasa, males cuci-cuci abis gorengnya. Hanya saja beberapa hari lalu hujan deras, terus mikirin yang anget-anget buat makan malem. Eh, koq di kulkas ada tempe.


Langsung aja deh aku ulek bawang putih, ketumbar (kira-kira 1 sdt) dan garam. Abis itu cemplungin deh irisan tempe yang tipis-tipis itu sama bumbu halus dan air matang. Setelah direndam kira-kira 30 menit, langsung digoreng.


Hmmm….sedap dan harum. Misua yang baru pulang kantor aja langsung kembang kempis idungnya nyium harum tempe. Kali saking lamanya di rumahnya kagak ada harum tempe ya?


Besok-besok aku mau nanya sama iparku. Dia punya andalan tempe digoreng terus dikasih bumbu cabe uleg kasar, dicampur dua-duanya, terus dihidangin sama cobek-cobeknya di meja makan. Wah, kalo pagi-pagi makan begitu, mana tahaannn…

Drop Lagi

Wah, salah kira nih. Kemarin pagi aku kelaparan, lalu nyemil kue-kue yang dibawa mertua. Jumlahnya cukup banyak, jadi aku kenyang. Abis itu masih ditambah minum kopi mix. Jadi, waktu beli sarapan buat misua, aku gak ikutan beli. Pikirku cukuplah sampe siang nanti.

Mulai deh errornya jam 8, datengnya dari leher yang terasa kencang lalu senut-senut di pelipis. Kira-kira jam 9 aku minum obimin buat naekin tekanan darah. Jemput Jessie juga sambil keliyengan. Abis makan siang aku minumin lagi obiminnya. Mungkin saking sakitnya kepalaku ini, malah nggak bisa tidur. Wah, runyam.

Akhirnya aku mandangin aja alam ngamuk dari jendela kamar kerja. Pohon pisang di halaman tetangga depan goyat-gayut kayak mau kecabut aja. Ngeliat semua itu sama sakit kepalanya jalan bareng, sengsaraa… deh!

Keliyengannya baru reda sekitar pk 21.00. Cepet-cepet deh aku minum madu bipolen. Masak obimin lagi, kesian deh mijn ginjel kalo gitu! Untung nggak abis tekanan darahnya.

Pagi ini aku makan nasi seperti biasa. Pk 5 tadi aku ganjel pake bolu dan teh madu. Abis anter Jessie beli sarapan baru deh lega. Masak saban hari keliyengannya, gazwat dong.

Pekerjaan Menunggu

Nunggu tuh kerjaan bukan ya? Soalnya nggak keliatan kerja, diem aja. Tapi dibilang bukan kerjaan koq ya menghabiskan waktu. Yang lucu, menunggu bisa terjadi di mana-mana, berulang kali, dengan sengaja dilakukan, bahkan dimodif.

Sebagian besar kerjaan ibu rumah tangga itu menunggu. Mulai dari menunggu tomat yang dididihkan, menunggu air panas untuk mandi, menunggu nasi yang ditanak, menunggu tukang ini itu dateng, menunggu suami pulang, menunggu anak les, dll seribu satu macam pekerjaan menunggu.

Dan aku terbiasa menunggu, kadang-kadang aku sabar tapi banyakan nggak sabarannya. Daripada ngomel-ngomel, udah sejak lama aku berbekal buku kemana-mana, supaya kalo aku terpaksa dan harus menunggu, aku punya sesuatu untuk dilakukan. Biasanya buku yang selalu aku sediakan itu Reader’s Digest (edisi Indo lah, kalo baca yang Inggris bisa keriting terus malah jadi mencak-mencak). Tapi, kalo lagi banyak membutuhkan referensi, bukunya jadi ‘berat’. Kalo udah begini, baca buku saat menunggu bukan lagi killing time tapi mendingan ngelamun kali…

Jadi, menunggu buat aku itu sebuah kesempatan langka yang ma uterus aku eksplor. So far sih aku menuruti kata hati aja. Kalo lagi pas bosen baca, ya aku ngelamun sambil mencermati apa yang aku tungguin, misalnya ngeliatin gerakan tarinya Jessie. Atau ngeliatin dia renang. Kalo pas harus baca ref aku paksain deh baca, karena pas nunggu ini ada waktunya.

Ada yang bilang begini, nunggu itu salah satu cara melatih kesabaran, supaya kita tambah arif. Buatku itu kayak menunggu Godot!

Beranjak Besar

Kami cukup terkejut waktu mendengar keluhan si anak semata wayang kalau payudaranya sakit. Soalnya dia abis jatuh, jadi pikiran nih udah yang nggak-nggak. Jangan-jangan waktu jatuh kena ke dada, dan seribu satu macem jangan-jangan. Tetapi setelah aku amat-amati ternyata nipplenya mulai membentuk, mungkin proses itu yang bikin sakit. Barangkali seperti gigi yang mintip-mintip mau tumbuh.


Terus kepikirlah membelikan dia miniset, kayaknya kaos dalem aja udah nggak memadai. Nah ini, ternyata miniset itu ada bermacam-macam step, dari step 1 sampai step 3. Step 1 bentuknya kayak kaos dalem, tapi panjangnya sampai pertengahan dada, lalu plain sama sekali, nggak ada busanya. Step 2 panjangnya miniset berkurang sampai kurang lebih 2 cm di bawah payudara, lalu di bagian belakangnya ada tali menyilang. Step 3 udah seperti bra biasa, tapi busanya tipis sekali. Aku bingungnya tuh miniset nggak boleh dicoba. Akhirnya aku ukur-ukurin aja di badannya Jessie. Dibelilah si step 2, tapi yang nggak pake tali menyilang, yang biasa aja model talinya.


Namanya anak-anak, udah ketemu stepnya, dia bingung milih….gambarnya dan warnanya. Akhirnya dia milih yang ada bunganya gantung-gantung. Aku dan misua mesem-mesem aja, liat anak-anak yang mulai gede.


Terus kemaren malem, waktu antar temen nyari jas di Centro, dia ajak lagi cari miniset. Nah, kalo yang ini simple, nggak ada step-stepan. Bentuknya seperti bra, hanya ukurannya S dan pake karet elastis, jadi nggak pake kait. Begitu coba langsung pas. Jadi, dia beli lagi tuh miniset.


Lucunya, karena gambarnya juga lucu, udah rapi-rapi pake seragam, tiba-tiba Jessie bilang begini, “Nih Mam, liat, lucu kan gambarnya?” Terus dia sibak sedikit kemeja seragamnya. Dasar anak-anak, polos-polos gimana gitu….

Akhirnya... Ketangkep Zzhuga!

Kemaren malam aku harus mewawancara calon karyawan gereja. Janjiannya sih pk 19.30, tapi setelah membereskan keadaan di rumah (anak n misua udah makan), aku berangkat pk 19.10.

Mungkin karena memikirkan banyak hal, aku melanggar lampu merah di bunderan Abubakar Ali. Langsung deh kena prit!

Setelah mendengar penjelasan panjang lebar, aku ditanya bisa nggak kalo sidang tanggal 12 November. Aku bilang aja bisa, terus iseng-iseng aja aku tanya kalo didenda berapa.

“Saya bantu diproses di sini aja, biayanya Rp 20.000.”

Karena aku bawa duit cash ya aku bayar, kalo adanya duit plastik aku sidang, he…he…he…. Mustinya polisi-polisi juga bawa gesekan kartu debit ya, hah????

Sebenernya, dua hari lalu aku juga pernah ampir kena prit pak polisi. Soalnya tuh lampu masih ijo, jadilah aku jalan (masak berenti?). Pas baru ban depan lewat batas lampu merah, eh lampunya jadi merah. Ya aku terusin jalan, walopun pak polisinya rebut maen sempritan di belakangku. Wah, mati deh, aku pasti dikejer polisi nih. Tapi mungkin karena udaranya sumuk luar biasa, aku aman-aman aja. Eee…, tak disangka tak dinyana akhirnya aku ketangkep juga kemaren malam.

Misua bilang, “Gak apa-apa deh, itung-itung nyumbang.”

Kejer-kejeran koq sama polisi, ya amsyiong lah, ha…ha…ha…

Sekejap Melintas

Minggu lalu aku nganterin kongsiku sekeluarga pulang sekolah, soalnya something wrong sama mobilnya.

Tiba-tiba dia membaui bajuku. Aku jadi ngerasa agak-agak gimana gitu, soalnya kongsiku ini matanya tajam, penciumannya juga. Koq jadi kayak werewolf ya, hii…., tapi itulah kelebihannya.

“Kenapa Mel, something wrong?”

“Nggak, koq aku nyium bau rokoknya Mas Janni. Makanya aku cium bajumu. Tapi ternyata bukan.”

“You missed him very much, aren’t you?”

“Yes, true. I missed him.”


Kayak gitu kali ya kalo merindukan kekasih hati yang sudah tiada? Waktu cerita ke misua, dia langsung merinding! Kalo aku sih mencoba menyerap aja momen kayak gitu. Pengalaman-pengalaman unik dengan orang-orang yang ditinggal mati kekasih jiwanya banyak aku alami.

Selaen pengalaman di atas, di kost aku dulu juga begitu. Anaknya induk semangku baru aja meninggal dan dikubur 4 hari. Minggu siang itu aku dan salah satu anaknya makan bersama. Setelah makan sendok garpu masih diletakkan di dekat gelas, lalu kami ngobrol ngalor- ngidul ceritain papanya semasa hidup. Tiba-tiba dia sadar ada yang aneh pas mau nyuci sendok garpu. Yang ilang sendoknya. Dicari ke kolong-kolong, tetep nggak ketemu. Lalu sambil merinding dia ngomong gini, “Mbak Ian, papa datang, papa datang. Dia ambil sendokku.” Misteri itu nggak pernah terpecahkan sampai sekarang. Setelah itu nggak pernah lagi Mas Ari dateng-dateng.

Tapi…, aku nggak bakalan mau kalo disuruh memperdalam ilmu itu. Nggak enak rasanya. Yang keliatan-keliatan mata biasa aja deh!

Bonyok

Bukan bokap nyokap, tapi bonyok beneran. Nih ada kaitannya sama idungnya Jessie. Dalam perjalanan jemput dia Sabtu lalu, aku ditelepon kepseknya. Dengan suara takut-takut dia memberitahu, “Kak Ian, inii… tadi Jessie terdorong temannya pas pelajaran olahraga. Lalu, dia jatuh.”


“Lalu, kena apanya?”


“Hidungnya. Tapi tadi sudah diperiksa guru olahraganya dan nggak apa-apa, hanya memar dan luka berdarah di lubang hidung.”


Ada yang patah atau goyang? Jessienya mengeluh pusing nggak?”


“Oh nggak, nggak ada yang patah atau goyang. Jessie juga nggak pusing. Saya memberitahu supaya Kak Ian nanti nggak kaget waktu jemput dan lihat ada luka di mukanya Jessie. Kmi minta maaf atas kejadian ini.”


“Ya, ok. Saya segera ke sana.”


Lega banget waktu liat Jessie tergolong nggak apa-apa karena yang luka cukupan itu persis di bawah lubang hidung. Bagian hidung sebelah kiri bengkak sedikit, batang hidungnya lecet-lecet memanjang, dan dagunya memar biru, Selain itu punggung tangannya lecet dikit. Lutut kiri kanan memar biru dan lecet-lecet.

Menurut cerita Jessie, dia lagi jalan di pinggir lapangan, lagi ngincer bola. Tiba-tiba dari belakang dia ditabrak temennya. Langsung nyungsep ke paving block. Waktu nyungsep itu, tangannya refleks nutupin mata, makanya punggung tangannya luka.

Bapaknya yang kaget, pulang-pulang muka anaknya bonyok. Mau dibawa ke dokter, tapi anaknya sendiri udah nggak ngeluh. Ditanyain pelan-pelan ngerasa pusing, mual atau mata berkunang-kunang nggak waktu jatuh. Teteup aja ngegeleng.

Dengan kondisi muka bonyok, kemana-mana jadi malu. Jadi wiken kemaren di rumah aja, sambil ngomporin Jessie supaya nggak usah malu kalo ketemu orang. Namanya aja kecelakaan, dan orang jatuh itu biasa. Luka juga nggak bisa sembuh instant, walau udah ditaburin hau fung san yang sakti mandraguna… Jadi, kalo orang kiri kanan nanya ya dijawab aja kalo itu karena jatuh. Soalnya, anakku ini kan mentingin banget gimana dia tampil di depan orang, beda 180 derajat sama emaknya, ha…ha…ha…., jadi perlu dikomporin supaya Jessie gak berkurang pedenya.

Emergency Call

Mula-mula ada 2 panggilan masuk ke hp yang nggak bisa aku terima, tapi ternyata temanku ini salah mencet nomor. Panggilan berikutnya dari orang yang setauku sih jarang banget mau telepon. Begitu aku angkat, langsung deh keadaannya jadi gawat bener. Ada kliennya yang trying to commit suicide tapi dianya pas di luar kota. Jadinya dia minta tolong aku yang ke rumah sakit mendampingi kliennya.

Nah, kalo udah gini repot. Bukannya aku nggak mau tolong, tapi misua belon pulang kerja dan aku absolutely nggak mau ajak Jessie nungguin orang dengan kasus begini. Kan nggak tau kayak apa, kalo nggak kebeneran bisa trauma dia. Akhirnya karena situasinya gawat, aku telepon misua supaya pulang kantor lebih cepet.

Begitu dia dating, aku langsung siapkan makan malam kedua orang yang aku cintai ini. Sudah oke baru deh aku berangkat ke rumkit.

Terus terang, di jalan aku agak ragu. Bisa nggak ya, soalnya kalo sampe harus terapi, perlu ketrampilan khusus. Sampe di sana, kliennya temanku udah disonde buat ngeluarin racunnya. Aku tungguin sampe selesai, tapi nggak boleh pulang sama dokternya. Jadi harus mondok. Begitu pasti dia bakal masuk kamar, aku cabut deh.

Wah, kalo ada emergency call begini yang bikin aku deg-degan. Aku sering lupa nyiapin keluarga, kalo sewaktu-waktu aku bisa dapet emergency call kayak gini. Dulu pernah ada mahasiswaku meninggal dunia, tapi aku nggak bisa bikin apa-apa karena berlangsung di luar kota. Emang bener deh kalo profesi yang paling tinggi stressornya itu nomor satu pendeta, nomor dua psikolog!

Nangis Dua Kali

Kemaren malam, akhirnya jadi juda nonton Laskar Pelangi. Perjuangan untuk nonton ini seminggu lebih karena menyesuaikan dengan jadwal sahabat keluarga yang cukup padat.

Film ini bagus di dalam kesederhanaannya. Sebenernya aku tertarik kepada bukunya setelah kawanku berulang kali ngomong kalo cara penulisan Andrea Hirata itu lain dari yang lain. Halaman-halaman awal aku sempat bosan dan nggak bisa terima dengan istilah-istilah dari keyakinan yang lain. Tapi, begitu mata hatiku terbuka akan misi pendidikan di dalamnya, lanjuuut sampai halaman terakhir.

Film emang nggak akan pernah sebagus bukunya, hanya film ini sekuelnya terputus-putus. Nggak ada alur yang kontinu. Ketolong aja dengan konten yang berbobot.

Pikiran nih film nggak akan deh nguras air mata seperti film Denias, eh… waktu suasana film mulai muram, waktu tokoh sekolah itu meninggal di atas meja kerjanya dan waktu guru satu-satunya di sana tak berdaya mengajar lagi, perlahan namun pasti airmata menitik juga. Lebih-lebih waktu Lintang terpaksa berhenti sekolah karena ayahnya meninggal, sementara di rumah ia hanya sendiri dengan ketiga adiknya yang masih kecil, waa…nangis bombay deh.

Waktu keluar bioskop aku dengar ada penonton yang bilang begini sama temennya, “Wah, aku jadi semangat lagi, aku mau kuliah lagi ah!” Nah begini baru namanya sadar, tinggal ngelakoni aja tekadnya itu.

Pertanyaan kritis yang sempat aku dan misua bahas adalah ke mana sekolah Muhammadiyah yang lain?

Jogja Java Carnival

Udah lama kepengen nonton acara-acara di Jogja Java Carnival, baru kemaren malam keturutan.

Mula-mula sih aku cuman liat pemberitahuan di Kompas, kalau malam kemarin ada pertunjukan seni di museum Ullen Sentalu, Kaliurang. Setelah misua setuju, baru deh aku ngerancang pergi ke sana.

Nggak nyangka, acara ini banyak sekali pengunjungnya. Kali sama dengan aku yang salah satu alasan ke sananya adalah karena acara ini gratis, ha…ha…ha… . Soalnya jalanan ke Kaliurang sepiii…., gelaaap… dan sunyi! Semalem jadi raja jalanan, soalnya nggak ada kendaraan laen. Mulai tau kalo acara ini banyak peminatnya adalah karena di gerbang masuk Kaliurang ada penjaganya. Biasanya sore juga udah tutup.

Pertunjukan seni itu jenisnya tarian. Tapi yang bikin Jessie demen itu musik perkusinya. Emang sih kita nggak ngerti banyak, soalnya perkusi sesuatu yang baru dalam ranah jiwa keluarga kami. Hanya saja, semangat group itu bermain, keindahan perpaduan bunyi drum, tifa, bonang gamelan, xylophone kayu, gong dan tetabuhan lainnya bikin badan mau goyang rasanya! Lebih-lebih waktu tiba-tiba dari perpaduan itu terdengar lagu Cingcangkeling, nggak lama kemudian Sinanggar Tulo! Wah, asyik banget deh.

Tarian dari Jepang juga lucu dan amat komunikatif. Tari ini memadukan balet dan kebiasaan hidup di Jepang. Group dari Malaysia membawakan musik gurindam. Jujur aja, ini yang paling nggak bisa dingertiin, dicoba aja dinikmati. Berhubung udah pk 22.30, kita cabut deh dari Kaliurang.

Secara umum semua performance bagus. Yang kurang bagus itu MC nya. Nggak kreatif sama sekali. Sepanjang acara cuman ngomong tari ini dari mana, grup musik ini dari mana, penyelenggaranya siapa. Kan harusnya MC itu membawa penonton mengerti keunikan masing-masing performer. Di banyak acara international, bagian MC ini yang sering disepelekan kehadirannya. Dianggepnya udah dikasih tau susunan acaranya, bisa jalan sendiri. Kalo pas dipegang oleh orang yang kreatif, bisa bagus. Tapi kalo orangnya nggak bisa ngembangin, jadinya tawar.

Pulangnya aku nyetir sambil ngantuk-ngantuk. Minta misua nyariin circle K. Dari Kaliurang, baru ketemu di km 7. Itu sih udah deket rumah deh. Pelan-pelan akhirnya kita nyampe deh.

Ampir Kena Straap

Entah kenapa anakku ini senang sekali ikut lomba. Sekecil apa pun pengumuman ato brosur, teteup keliatan. Beberapa hari lalu aku anter mertua ke Centro, eh…dia liat kalo ada lomba mendandani boneka. Padahal tuh pengumuman adanya di brosur yang hanya diletakkan di customer service, yang lumayan mojok letaknya.

Dua hari berikutnya dia sibuk merancang mau dihias seperti apa bonekanya, dan ngajakin sohibnya supaya ikut juga.

Kemarin dulu aku kami ke gramed. Dia baca lagi pengumuman lomba gambar peta. Udah dinasehatin sama papinya supaya mikir baik-baik, dengan media apa dia paling senang berekspresi: gambar apa dandan. Nggak di dengerin deh papinya, malah ngerayu aku sepanjang jalan pulang supaya mau anterin dia lomba dua-duanya. Nah lho!

Aku nggak mau seharian nungguin dia lomba, buset, musti bawa berapa buku? Kalo bawa notbuk nanti dikira sombong, lagian tempatnya kan belon ketauan kayak apa. Terus tempatnya berjauhan. Satu di UGM Jl Grafika, tempat aku dulu her registrasi pas mahasiswa. Nggak tau sekarang kayak apa tempatnya. Satu lagi di Amplaz. Akhirnya dengan berat hati aku suruh Jessie milih salah satu. Kali ini aku bener-bener harus ngajarin dia milih, jangan semua-semua mau diikutin. Hari libur kan bukan buat lomba???

Hampir kena setrap, nungguin anak lomba! Akhirnya dia milih yang menggambar deh, dandannya ditinggalin. “Soalnya aku kan mau jadi arsitek, kayak Oom Didi, Mam!”

Ancur-ancuran

Gara-gara iseng nih, makanya blogku ancur deh. Pulang dari Jakarta kemaren, aku baca buku bikin blog jadi cantik. Terus, seperti biasa, aku tertantang. Lalu, bacalah aku buku itu satu harian.


Di buku itu langkah-langkahnya jelas, jadi aku coba lakukan. Tapi alamak! Ternyata nggak komplit langkahnya. Begitu percobaan 1 gagal, aku mau kembaliin ke blog semula. Isinya sih teteup ada, tapi…..widgetnya ilang semua, termasuk shoutboxku! Hiks…hiks…., padahal komen-komen di situ tuh precious banget buat aku.


Untunglah aku nemu blog yang ngajarin secara komplit cara bikin shoutbox dan seribu macem pernik blogspot. Hari-hari ini aku masih mencoba untuk repairing my blog. Jadi, buat yang mampir, sabar ya. Rumahnya lagi amburadul, ha…ha…ha…


Ketik C spasi p….cape deee….

PS: makanya kalo bikin buku musti ati-ati neh, kalo begini apa penulisnya mau tanggung jawab????

Libur Panjang (1)

Setelah begadang siang malem, akhirnya hasil kerjaku keluar. Lumayan, bisa buat liburan ke Jakarta. Memang tujuan utama ke Jakarta untuk nengokin keponakan yang baru lahir. Kan musim lebaran tuh, pembantu juga pada mudik. Jadi, begitu dateng di stasiun langsung meluncur ke Cibubur.

Tiga hari aku di rumah ade bontotku. Wah, jadi inget lagi masa-masa Jessie baru lahir. Cuman yang ini agak lebih repot karena dia minum ASI. Kan maminya nggak tau, tuh anak udah kenyang apa belon. Kalo nyusu bisa sejam, karena sepuluh menit nyusu, terus tidur. Begitu terus. Nggak heran kalo maminya kecapekan.

Kalo udah kira-kira kenyang dia tidur. Lagi enak-enaknya tidur, terbangun gara-gara pipis. Gendong lagi. Bayi emang gitu, taunya digendong, nyusu, bobo, pis, pup terus kadang-kadang put. Pernah dia put, bauuuu…. Sekali. Abis itu pup deh, ha…ha…ha…, ada juga orang gede yang kebauan ama put nya bayi belon sebulan. Pusing bo, baunya.

Hari terakhir aku di Cibubur baru deh sampe pegel gendong si Irene. Begitu kira-kira pules, aku taro aja di ayunan, sambil digoyang-goyang en baca buku. Bapaknya bingung liat anaknya tidur di ayunan. Maksudku buat contoh, kalo besok-besok Irene rewel, taro aja di ayunan terus digoyang-goyang, ha…ha…ha…

Abis dari Cibubur aku dijemput sama adeku paling gede, meluncur ke Tangerang. Walaupun jaraknya juauuuh, saking jauhnya, anak-anak nggak rewel karena mereka nonton film rame-rame.

Malemnya ke Grand Indonesia, nonton Mama Mia. Biar kata yang amen udah pada keriput-keriput, gaek-gaek, tapi film itu bagus banget. Dasarnya juga aku nge-fans sama ABBA. Nah, tiap siang ditemenin lagu gituan, kan belajarnya sambil dengerin Sonora waktu di Jakarta dulu. Puas banget nonton ini, kalo di Yogya maen, aku mau nonton lagi ah, secara misa kan nggak ikut libur…, jadi ada alasan signifikan buat nonton lagi.

Sebelon nonton ada kisah lucu. Kita kan naek escalator dua lantai menuju food court. Nah, aku agak ketinggalan di belakang, soalnya nungguin adeku balik ambil kamera. Di tangga itu ada tiga ibu-ibu berjilbab kebingungan. Nggak taunya, longdressnya yang melambai-lambai kesangkutdi tangga. Otomatis tangganya berhenti, tapi dianya juga nggak bisa bergerak. Begitu ngeliat aku dating, mereka minta tolong. Terpaksa deh aku tarik, mana bisa diutak-atik algi kalo udah gitu? Akhirnya dengan sekuat tenaga aku narik tuh rok. Begitu lepas, baru keliatan kalo mereka bukan orang Indonesia. Garis wajahnya sih kayak orang Libanonan.

Abis nonton papanya iparku bilang, “Padahal harga roknya bisa jutaan tuh.” Wah, itu sih di luar dugaan. Kalo roknya emang jutaan harganya, biar belajar dari kejadian ini supaya berhati-hati kalo naek escalator, ups!

Akhirnya Selesai

Pertengahan bulan lalu aku ketiban sampur, diminta bikin kalender tahunan untuk gerejaku. Kagetnya alang kepalang, soalnya kalender itu kan bukan maenanku sesehari. Aku nggak punya gambaran samsek soal disain kalender. Begitu diberitahu, biasaa…….aku berusaha menolak, menghindar, mengemukakan banyak alasan dan akhirnya keluar deh aji mumpungku: aku nggak pengalaman. Persis kayak Musa waktu ketiban sampur jadi pemimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir.

Yang ngomong ke aku nih rada nekat, rayuannya maut deh, tapi yang bikin aku luluh adalah suaranya yang memelas. Lalu terbayang mukanya yang kelelahan mengurus ini dan itu. Akhirnya aku takluk dan menyatakan kesanggupan dengan bimbang hati. Lhah, waktunya mevetzz sodara-sodara. Untunglah ada kawan yang mengulurkan tangan membantu. Dia yang bikin draf kasarnya, alias gambarannya kayak apa. Dia juga yang bantuin nyari di antara anak-anak pemuda yang bisa disain grafis. Abis itu aku nyari-nyari percetakan, survey harga.

Pra persiapan kalender selesai, omong-omong sama anak pemudanya udah oke, tinggal nyari foto komisi-komisi. Kalo bukan karena bantuan sekretaris kantor, wuaahh…mana jadi!. Mulailah aku dan si disainernya berkutat dengan layout dan tetek bengek lainnya. Kira-kira seminggu, draf dan contoh jadi, aku majukan ke sidang bidang. Disetujui, langsung digarap nonstop. Dalam waktu 12 hari foto terkumpul semua

Tiga hari kemudian, edisi lengkap jadi. Aku bawa draf lengkapnya ke bidang dan tunjukkan ke beberapa pendeta untuk minta masukan. Begitu koreksi jadwal selesai, disainernya ke rumah dan kami garap abis-abisan dan kerjakan koreksi dari halaman ke halaman. Alhasil, tiga jam deh dia di rumahku. Tepat pk 18.00 kalender siap naik cetak.

Lega deh bisa selesai, abis ini pertama kali aku kerja nanganin kalender. Kalo bukan karena pertolongan banyak orang, nggak bisa deh jadi. Sekarang tinggal ngelobi percetakan supaya bisa order ulang kalo stok kalender nanti kurang.

Satu lagi deh ketrampilanku tambah. Heran ya, banyak orang bilang sesudah 40, kemunduran mulai terlihat sedikit demi sedikit. Aku malah kebalikan. Sesudah 40 taon malah banyak kemajuan. Ditambahkan Tuhan kebisaanku satu demi satu. Ya cuma itu, mau nggak percaya sama bimbingan-Nya. Aku cenderung berontak sama manyun-manyun bibir berucap, “Emoooh…” Tapi dengan berbagai orang dan kesempatan DIA menenteramkan pemberontakanku dan memperlihatkan hasilnya kalo aku taat.

Satu lagi yang akhirnya selesai adalah pengurusan PBB. Ini juga takes a lot of time. Kalo ini sih bukan aku yang ngerjain, tapi developernya. Soalnya pake acara perbaikan kesalahan luas bangunan segala. Itu yang bikin urusannya jadi lama. Seneng aja last minute, selesai semua.

Air Keruh

Beberapa hari lalu, air di rumahku menyoklat. Bukan menguning lho, tapi benar-benar coklat! Kayak air the kental. Wah, susah hati deh kalo udah gitu. Soalnya, tahun-tahun lalu, kalo air udah rusak warnanya, nggak lama lagi mati. Abis nguras bak sampe nggak berani diisi lagi.

Ternyata betul, keesokan harinya airnya mati dari pk 11.00, baru bisa nyala lagi pk 24.00. Untung aja udah ditampung di beberapa ember besar. Tapi, sebenernya geli juga mandi dengan air berwarna coklat-coklat gimanaaa…, gitu.

Setelah hidup pada pk 24.00, airnya sedikit jernih, tapi pk 07.15, mati lagi. Gawat deh kalo begini. Aku cuman mikir gimana bisa pup dengan air bilasan dan flush yang cukup aja. Kalo mandi sih ada gampang. Kalo sampe kevevet…. Ya pakai tissue basah. Kalo urusan pup kan nggak bisa pake begituan????

Di tengah kebingungan dan kekhawatiran akan ketersediaan air, aku masih bisa mengucap syukur waktu tak sengaja pandanganku terhenti di Aqua gallon. Seengganya ada air bersih yang untuk minum. Cumaaa…., gimana ya dengan mereka yang hanya mengandalkan air pam untuk segala aktivitas hidup? Apa nggak bahaya minum air yang warnanya kecoklatan begitu? Secarasederhana sih air dengan warna begitu artinya kotor dan banyak kandungan logamnya. Hanya, sampai sejauh mana bisa membahayakan hidup, mungkin perlu penelitian longitudinal kali ya?

Sekarang sih airnya mulai menjernih bening. Tetep aja aku tetesin dettol di air mandi, biar kata wanginya agak-agak menyerupai rumah sakit tapi nggak nyebabin gatal-gatal. Setelah harga gas melonjak, listrik padam bergiliran, sekarang air yang mulai problem. Masak kita hanya bisa nyanyi… Itulah Indonesia?????

Linglung

Kemaren aku dan kongsiku sempat ngobrol. Kesempatan begini ini jarang, karena kami harus lari ke sana dan ke mari. Kayak idupnya di mobil aja. Cerita punya cerita aku bilang kalo di jeepnya masih ada baunya Mas Janni, padahal udah ampir setaon dia meninggal. Makanya mobil itu disayang banget sama kongsiku, eman-eman kalo dijual.

Lalu cerita tentang orang yang istrinya baru aja meninggal. Semua blank. Gaji pembantu nggak tau, di mana letak ornamen baju dinasnya juga nggak tau. Mau tidur di kamar, keinget almarhum istrinya terus nggak jadi tidur di sana dan tidur dengan anak laki-lakinya. Serba bingung, karena biasanya yang tau segalanya kan ibu rumah tangga. Kalo kepala keluarga kan biasanya tau beres.

Aku jadi inget, begitu Mas Janni meninggal, aku dan misua beres-beresan. Artinya kami saling memberitahu letak barang-barang, nomor buku tabungan, nomor kunci sdb, arsip-arsip surat penting dan semua yang perlu dia tahu juga. Jadi, buku kas ku berubah jadi buku pintar. Semua informasi penting ada di sana.

Jangankan ditinggal mati, papaku aja kalo mama nggak di rumah jadi linglung. Sekarang sih mendingan, karena udah pensiun. Aku inget sekali waktu kecil, mama yang nyiapin baju seragamnya dan tempelan-tempelan pangkatnya. Mama yang tau hari ini pake baju apa, soalnya baju dines papa banyak macemnya. Sepatunya juga laen-laen, apalagi soal merawat senjatanya, mama tuh yang apal jadwalnya.

Mungkin salah satu konsekuensi idup bersama ya ada interdependensi. Begitu salah satu absen, yang laen jadi kelimpungan. Makanya, begitu ada momen, langsung aku pake sebae-baenya. Biar nggak linglung.

A Baby Girl Has Borned

Aku seneng banget kemaren, setelah sempet deg-degan sehari sebelonnya. Iparku mulai keluar flek darah hari Rabu, 10 September, pk 05.00. Langsung ke RS Harapan Kita. Kira-kira pk 09.00, dia sms aku minta didoakan, udah bukaan 2, supaya lancar.

Pk 17.00 aku sms adikku, kirain udah bukaan 7 ato 8. Ternyata bukaannya nggak maju-maju. Perasaanku mulai nggak enak. Hanya karena dibarengin nyari karcis operet aja, aku agak terselimur.

Sampe malem nggak ada kabar. Akhirnya mama telepon kalo pagi ini mau dirundingin apa diinduksi atau dicaesar. Lagi bingung-bingungnya, tiba-tiba ada sms masuk, nanyain aku mau didoakan apa. Tumben-tumbenan nih PMK, sms aku. Lalu aku minta didukung doa supaya iparku bisa melahirkan dengan selamat. Ayem rasanya ada yang mendukung di dalam doa, secara proses melahirkan juga sangat riskan, bahkan boleh dibilang bertaruh nyawa.

Akhirnya pas nungguin Jessie les nari, aku sms adikku. Udah bukaan 5, diinduksi lewat memasukkan tablet kecil-kecil 3 biji ke vaginanya. Pk 18.00 papa telepon ngabarin kalo iparku udah ngelahirin. Badung juga nih bayi kecil. He…he…he…, bikin deg-degan orang aja. Namanya Irene Gracia Sutanto. Kali karena badannya besar (3,45 kg) dan panjang (52 cm), jadi agak susah cari jalan lahirnya.

Horeee, aku punya keponakan baru, petempuan lagi! Jadi kalo Jessie ke Jakarta ada sepupunya yang perempuan. Selama ini kan dia ikut-ikutan maenan anak laki-laki, biar agak macho sedikit. Sekarang dia punya sepupu perempuan, yang deket maksudku. Sebenernya ada satu sepupunya yang perempuan, tapi tinggal di Singapur, jadi belon pernah ketemu.

Selamet buat Andre n Linda!

Exploring Bantul

Tadinya cuman mau ganti lampu rem belakang kiri yang mati. Terus kepikir nyari dop Suzuki di pasar klithikan alias pasar loak. Jadi deh, si Mumun ditinggal di bengkel, terus aku sama Pak Geng ke Kuncen. Wah, itu sih pasar loak yang gedhe, mau cari apa juga ada, dari ring secher sampe sepatu bot besi. Dari ban plastic sepeda anak-anak sampe bor listrik second. Meriahnya, banyak juga yang jual kaset-kaset tempo dulu. Jadi yang liat-liat ditemenin lagu dangdut jadul. Namanya juga pasar rakyat, harga rakyat, suasana rakyat dan merakyat, he…he…he…

Aku pikir langsung pulang abis dari situ. Ternyata aku diajak jalan ke sekiatr pabrik gula Madukismo. Kata Pak Geng sih masuk tv dan Koran. Limbah pabrik gula itu ternyata menyembuhkan berbagai penyakit. Antara lain encok dan stroke. Setiap malam orang berendam di sana, jadi macet. Aku penasaran juga. Kapan lagi liat fenomena begini kalo nggak sama yang menguasai kabupaten Bantul. Jadilah kami ke sana. Bayanganku limbah itu dikumpulkan di sebuah kolam atau bendungan, he…he…he…, bayangan amdalnya ketinggian nih. Ternyata dialirkan ke parit-parit kecil yang di kanan kirinya ada sawah. Udara menguarkan wangi tebu yang telah dimasak. Bener lho, air di parit yang mengalir deras itu panas banget, sampe keliatan asepnya. Siang yang panasnya kayak gitu aja, banyak orang berendam, nyeburin kaki rame-rame atau merendam tangannya. Aku nggak berani suruh ngerendem kaki, ngeliat aja udah cukup. Takut melepuh, malah gawat nantinya.

Dari madukismo, kami maju sedikit lagi masuk ke desa Kasongan. Orang banyak mengenal desa ini sebagai sentra gerabah, tapi di sini ada warung lele yang terkenal. Jadi kami mampir ke sana. Jalanannya kecil dan berbatu-batu, warungnya juga warung desa banget. Bangunannya masih dari papan disambung-sambung dan lantai tanah. Tapi, masuk ke situ itu rasanya dingiiin banget. Soalnya kita dari jalanan yang hangar binger dan panas.

Menunya sederhana dan khas desa pedalaman. Masaknya masih pake kayu bakar. Yang namanya pecel lele, ya pake pecel beneran. Jadi bukan nasi, sambel, lalapan terus lele goreng, tapi pecel sayur, bihun goreng ala pedesaan yang ketara sekali rasa mericanya, nasi, dan lele goring atau mangut lele. Mangut lele itu lele goreng yang disiram kuah kuning. Sepintas kuahnya mirip kare, tapi rasanya dominant kunyit. Serasa KKN lagi, makanannya juga begini, ditambah kol masak santan. Yang enak itu the angetnya! Kentel, manisnya sedang dan ada campuran sepet-sepetnya. Aku sampe abis dua gelas.

Pulangnya aku bawain pecel sayurnya sama tempe penguk buat misua. Dia kan penggemar pecel, sekali-sekali nyoba pecel ndesa.

Pulang dari sana ngelewatin rumahnya Djoko Pekik, pelukis Yogya yang sukanya melukis celeng itu. Wah, rumahnya rimbun tanaman. Kalo yang aku pernah baca di media sih, ada pohon besar di dalam rumahnya, yang nggak ditebang tapi dilobangin. Kali kayak rumahnya Winnie the Pooh ya? Hebring…hebring….! Perubahan besar dalam hidupnya terjadi karena dia mengeksplorasi bakatnya!

Keluar dari desa Kasongan, kami melewati makam trah Ki Ageng Serangan. Makam itu luas sekali dan dibangun indah. Lalu ada jalan menuju pemakaman Gunung Sempu 1, 2 dan 3.

Abis dari sana, di jalan menuju Tamansari, ada sebuah rumah kecil tingkat. Rumah itu milik eksportir craft kulit. Alkisah dia dulu tukang becak yang banyak mengantar-antar turis mencari handicraft. Dari pengamatannya, lalu dia coba-coba buat juga. Lalu masuk binaan sub departemen bagian kulit. Akhirnya jadi eksportir deh. Sekali lagi, eksplorasi diri.

Udah mau sampe bengkel lagi, ditunjukin toko cemilan. Itu juga bermula dari kulakan cemilan pake motor dengan dua rombong. Lama-lama sewa kios kecil, akhirnya punya toko besar sekali di Jl. Bantul, yang khusus jual cemilan kiloan. Wah…wah…wah…, aku jadi semanget nih denger kisah-kisah keuletan begini. Bantul ternyata menyimpan banyak mutiara penduduk yang berjuang dari berbagai segi, agar memiliki hidup yang lebih bernas.

Karena Ngobrol

Pas lagi di jalan ke tukang sablon, ada yang telpon aku. Untunglah ada fasilitas loudspeaker di hp, jadi sambil nyetir ngobrol sana-sini. Nah, ini nih untungnya ngobrol. Tiba-tiba dia nanya, “Kaos yang aku pake sama yang temen kita pake itu koq jadi kaosnya tukang parkir dan OB di sekolahan? Itu kamu yang bikin kan? Temen kita bilang koq warna kaos kita dikasihin sama mereka.” Aku kaget, karena nggak pernah sekolahan bikin kaos sama aku.

Langsung aku jelasin dan baru deh terbuka dan jelas diketahui siapa yang bikin tuh kaos. Pada prinsipnya aku ini bukan orang bisnis, yang biasanya gampang sekali berkilah supaya dagangannya laku. Kalo aku sampe terjun di bisnis ini berarti memang itu jalan darurat supaya asap dapur tetep ngebul.

Ada beberapa prinsip yang aku pegang erat-erat: memperhatikan pelanggan, menjalin komunikasi terbuka, bertanggung jawab, jujur dan memperhatikan kepentingan pasar.

Memperhatikan pelanggan itu berarti nggak akan aku bertindak yang menyebabkan pelanggan malu. Misalnya disainnya disamakan dengan disain dan warna kaos pak sampah ato pak bon. Memang sih, pasar bebas. Kalo baju yang kita pake bagus, orang laen kan pasti mau niru. Aku sih cuma menjaga tenggang rasa aja, jadi jangan nawarin disain dan warna ke lintas kalangan, apalagi warna yang spesifik, bukan warna-warna umum dan primer.

Menjalin komunikasi terbuka artinya kalo ada yang pesen sama aku, hotline di hp jalan terus, perubahan ini dan it uterus diantisipasi. Aku juga berharap ada keterbukaan kalo hasil kerjaku kurang oke.

Bertanggung jawab itu artinya, kalo sampe warna kaos atau spec kaos lain dari yang sudah disepakati, aku akan menggantinya. Termasuk kalo ada border atau sablon yang rusak.

Jujur itu yah is jujur. Nggak bakalan ukuran kaos dicolong barang sesenti dua supaya aku bisa dapet lebihan bahan yang banyak. Terus, aku punya prinsip kalo aku nggak bisa, lebih bae ngaku aja, daripada karena mau untung malah ngerusak hubungan dengan teman. Pernah nih aku sepi order, terus nawarin ke salah satu kawan. Disain kaosnya bagus, tapi dari sekian tukang sablon yang aku hubungi, nggak ada yang mau ngerjain. Langsung aku tulis permintaan maaf kalo pesanannya nggak bisa aku terima. Naif sih, tapi daripada salah?

Memperhatikan kepentingan pasar itu artinya aku nggak mau ngejatuhin harga semata-mata supaya orang pesan sama aku. Ada di sini yang suka begitu, aku juga pernah kehilangan pelanggan karena dia, tapi aku tenang-tenang aja. Tau-tau mantan pelangganku balik ke aku karena kaos yang dipesan dengan harga lebih murah itu ternyata kualitas kaonya buruk sekali. Dia mau pesan sama aku lagi dengan harga yang sama murahnya ke kompetitorku, terpaksalah aku tolak. Mungkin karena ditekan harus murah, semua spec dikurangi, hasilnya udah bisa ketebak. Kalo aku, nggak mau kayak gitu, soalnya ini lifetime dan butuh kepercayaan orang laen.

Begitulah, bisnis emang musti kuat iman, kalo nggak sama aja sama yang laen, yang nggak tau dan kenal nilai-nilai kekekalan. Kalo bisnis malah nyelakain orang laen, yah itu sih biasa. Bisnis itu kalo bisa jadi berkat buat orang laen, itu baru sip!

Terharu

Nggak nyangka, hari ini aku melihat anak kami pertama kalinya melayani di kebaktian dewasa. Latihannya sih udah sejak tiga minggu lalu, abis kelas sekolah minggu. Dia nyanyi sama temen-temennya di depan mimbar besar. Emang, waktu dia latihan nyanyi di rumah, kuping sampe pengeng deh. Terus nanya berulang-ulang, “Koq mami nggak tau lagu tabuh gendang? Ini kan dari KJ?”

Gelengan kepalaku semakin bikin dia tambah semangat nyanyinya, maka lengkaplah kepengenganku, ha…ha…ha…

Ceritanya Komisi Anak mencanangkan September secara khusus sebagai bulan pelayanannya. Aku juga kurang tau kenapa, paling ultah komisinya di bulan September. Nah, anak-anak diminta melayani sesuai dengan kelasnya. Kelas 3 dan 4 kebagian melayani di kebaktian Minggu siang. Tiba-tiba aja aku terharu waktu liat Jessie naik altar, menempatkan dirinya di antara teman-temannya dan mulai bernyanyi mengiringi nyanyian jemaat. Nggak tau kenapa, padahal dia udah biasa pentas, tapi belum pernah aku terharu kayak gini. Wah, payah kalo udah gini. Padahal, tiba-tiba aku disuruh membawakan doa syafaat sebagai wakil orangtua. Takunya suaraku bergetar pas berdoa di depan.

Untunglah khotbahnya pendeta menyegarkan, jadi emosiku reda. Kalo aku renung-renungkan lagi, mungkin karena Jessie dilibatkan dalam pelayanan. Cara ini bisa memupuk kecintaannya pada Tuhan Yesus. Memang di rumah diajarin Tuhan Yesus yang nyata hadir di kehidupan sehari-hari, tapi performance begitu bisa bikin dia merasa dihargai. Terus ekspresi wajahnya itu yang bikin hatiku mak nyoss, kayak sungguh-sungguh aja.

Yah, aku melihat Jessie semakin besar. Doaku nggak banyak-banyak koq, supaya semakin besar dia semakin berkenan di hadapan Tuhan dan sesamanya. Semoga Tuhan menguatkan kami, orangtuanya, untuk mengemban tugas mulia ini

Has Gone

Pagi ini bersama teman-teman di sekolahnya Jessie, kami menjenguk salah satu teman yang kehilangan bayinya. Jujur aja, begitu mau berangkat aku sih udah lemes, soalnya kematian gitu lhoh…

Jadi, janin itu oke-oke saja tetapi di usia kandungan ke enam, tiba-tiba detak jantungnya udah nggak ada. Menurut sas-sus yang aku dengar sih udah lama nggak adanya, tapi baru ketahuan di usia kehamilan enam bulan. Sampe aku nulis ini penyebab kematiannya diduga virus tokso. Kebayang nggak, kalo janin yang kita cintai tiba-tiba udah nggak bernyawa lagi.

Untuk mengeluarkannya diperlukan 3 botol infuse induksi. Dan karena udah nggak berdaya dorong, terpaksa tangan dokternya masuk ke jalan lahir untuk membantu mengeluarkan jazad janin. Kata temenku itu, badannya panjang, bakal kukunya udah mulai keliatan.

Waktu ditengok sih udah bisa ketawa-ketawa, tapi who knows the inside? Kalo udah begini, nyata betul betapa kelahiran janin itu sebuah anugerah. Betapa riskannya kehidupan janin di dalam kandungan. Kesalahan atau ketidak tahuan sedikit aja, bisa berakibat fatal. Apalagi sekarang banyak virus mematikan yang herannya doyan bener menyerang wanita hamil…

Dissappeared

Di Yogya ini banyak usaha kecil-kecil yang entah bagaimana bisa menghidupi dirinya. Mulai dari usaha jasa kayak aku sampe outlet rosok. Yang paling banyak memang usaha makanan. Kata orang, buka usaha makanan itu kayak nambang emas. Pasti banyak pembelinya, pasti laris, pasti menghasilkan. Kalo nggak punya warung permanent, ya getok tular, dari mulut ke mulut.

Namun, kenyataannya nggak selalu begitu. Yang lenyap juga banyak. Kurun waktu setengah tahun ke belakang, ada satu warung yamie ayam yang tutup, padahal lokasinya nggak jauh dari jalan besar.

Yang bikin aku lumayan gelo, sedih, kasihan dan berbagai perasaan tak enak lainnya adalah seorang ibu dengan 2 anaknya yang masih kecil, yang buka warung makan di emperan toko. Lokasinya di Jl. Magelang, dekat sekali dengan gang rumahku. Kadang-kadang aku makan atau beli di dia. Aku juga nggak tau namanya, hanya sebagai ibu yang juga mencari nafkah, aku iba melihat anak-anaknya dibawa ke sana untuk ikut berjualan. Kalo di toko yang mapan sih nggak heran, tapi ini di emperan toko. Kadang-kadang anaknya bawa buku pelajaran. Makanan yang dijualnya sangat spesifik, makanan rumah B2. Ada iga bakar, sayur asin, B2 kecap, dll home cook.

Karena aku sekarang jarang makan di luar, jadi nggak memperhatikan lagi gimana jualan si ibu tadi. Dua hari lalu, tiba-tiba koq aku pengen ngelongok tempat jualannya. Dissapeared!!! Udah nggak berbekas. Emperan itu sekarang sepi dan gelap. Yaah…, hilang deh salah satu langgananku. Dia emang bukan siapa-siapaku, namanya pun aku nggak tau, tapi tutupnya sebuah tempat usaha, cukup mengenaskan bagi aku. Zaman susah sih.

Moga-moga aja dia bertahan dan bisa buka lagi usaha lainnya yang lebih menjanjikan.

Akur Optik?

Kayaknya ada gangguan di telepon. Sejak hari Minggu, telepon di rumah krang kring krang kring melulu. Mending-mending kalo ada berita penting. Ini nggak, semuanya dimulai dengan pertanyaan, “Halo, ini Akur Optik?”

Sebel bener deh. Kan mengganggu sekali. Aku sampe lapor ke telkom 147. Terus waktu tidur siang tuh telepon dicabut deh, daripada pusing? Eeh…, waktu dicolokin lagi, udah nggak ada lagi nada sambungnya!

Akhirnya dari Minggu malem sampe siang tadi telepon mati. Aduh, bikin repot bener deh. Padahal aku harus menghubungi beberapa pihak terkait dengan bisnisku. Mana hape cdma ku trouble lagi. Terpaksa deh pake hape saluran utama, meskipun mahal.

Tapi, tiba-tiba bunyi sendiri. Pertanyaannya masih teteup…”Halo, Akur Optik?” Gilee bener..., aku jawab aja bukan dengan nada suara yang tidak mengenakkan talingo.

Untuk ngecek telepon rumah apa yang laen itu yang trouble, aku dial dari hape, ternyata bunyi. Jadi telepon pihak laen yang trouble.

Zaman maju gini ya, masih aja ada kekeliruan teknologi. Menurut mbak di 147 sih ada kabel yang silang. Aku agak percaya karena waktu mamiku telepon, nyambungnya ke asuransi. Tapi, nggak ada galian gorong-gorong di sekitar rumah yang biasanya bisa mengganggu saluran telepon. Kali-kali aja nih buat latihan kalo punya toko, ha…ha…ha…

Lagi Opspek ya Mas?

Itu pertanyaan yang diterima misua waktu nyari anggur merah malem-malem. Kali tuh tukang buah heran ngapain nih orang beli anggur dikit banget, terus malem-malem lagi.

Sebenernya sih kami kena opspek juga! Gara-gara Jessie lupa nyediain bahan-bahan buat sains klub, ekskulnya tiap Sabtu. Ribuuuut nggak punya plastisin, nggak punya anggur, nggak punya gelas aqua yang masih utuh, dan tetek bengek laennya. Akhirnya kami ke Indogrosir. Udah supermarketnya rame banget, karena menyongsong puasa, anggurnya dikit banget dan muahaal! Mungkin karena anggur import, jadi satu tempat styrofoam itu paling murah 48.500. Padahal, kalo lagi nggak cari anggur, pabalatak euy anggurna! Giliran dicari, dia ngumpet di freezer bagian atas dan mahal pulak! Cepet-cepet aja kita keluar, cari toko buah.

Udah pesimis nggak bakalan ada toko buah di Jl. Magelang. Tau-tau ada satu yang nyelempit. Dari tampilan toko yang sederhana, ragu juga apa dia jual anggur. Tapi, namanya orang kepepet, ya misua tanya deh sampe dapet pertanyaan di atas. Pasti dia senyam-senyum kecut ditanya begitu. Kali dibatin gini, “Iya Mas, kena opspek anak saya nih!”

Membiasakan Anak

Konon, toilet training bisa mempengaruhi pola hidup anak selanjutnya. Itu sebabnya, anak yang masih ngompol sampe usia SD biasanya kurang mandiri. Jadi, toilet training itu penting dilakukan oleh orangtua. Kehadiran pampers yang memudahkan orangtua, disinyalir banyak pihak sebagai salah satu penyebab kegagalan toilet training. Anak dibiasakan tidak peka dengan tubuhnya yang menuntut pembuangan, orangtua atau pendamping jadi tidak peka melihat gelagat anak. Tapi, ada juga efek fisik lainnya, yaitu kaki yang membuka ketika berjalan, karena setiap hari kena pampers.

Kalo Jessie, oke sejak 7 bulan. Pertama sih susah ngerti waktunya dia pipis pas malem, jadi beberapa kali kecele waktu menggendongnya pipis malam. Mumpung masih available digendong, gendong terus sampe tau pasti kapan waktunya pee malam. Lama-lama, waktu dia udah bisa jalan, bangun sendiri kalo mau pee, ke pispotnya.

Nah, makin gedhe, makin susah ngajarin dia rutinitas pagi. Biasanya aku cuman ngomong, “Jess, mau pup nggak?” Ya iyalah, jawabannya pasti nggak. Dan, karena dia sudah besar di mataku, aku jadi kurang termotivasi membujuknya pup. Pikirku, kan dia udah tau sendiri. Lalu aku tersengat waktu ngobs sama misua. Katanya gini, “Lhah, anak itu kan perlu dikasih tahu berulang-ulang. Coba bandingin ama pola belajarnya. Jessie itu sama mami kan kayak lumba-lumba. Satu jalan ke sini, yang laen ikut.” Jadi, aku nyoba lagi pelan-pelan memotivasi dia supaya pup. Kadang-kadang kalo lagi rajin, aku dan dia sama-sama baca tentang tubuh manusia. Kadang- kadang dia ngeh kenapa harus pup kalo pagi. Tapi ada juga dia ngotot nggak mau pup.

Jadi aku mulai ngeliatin pola sarapannya, akhir-akhir ini aku minta dia minum susu. Kira-kira 20 menit sebelum pk 06.00, aku minta dia ‘nongkrong’. Biasanya sambil baca. Baru deh, kebiasaan itu tertanam. Ada kalanya dia complain juga, koq nggak mau pup tetep disuruh nongkrong. Tapi an order is an order, buktinya ususnya langsung terkondisi dan dia bisa pup. Nggak kebayang kalo pupnya cuman kadang-kadang, berarti anakku bawa-bawa ampas di dalam badannya.

Jadi membiasakan, pembiasaan sampai jadi kebiasaan kali menjadi pola yang sip buat mendidik Jessie. Kalo suatu waktu dia keluar kota tanpa aku, kan rutinitasnya yang menjadi pengingat. Aku aja yang musti tetep rajin membiasakan anak untuk melakukan hal-hal yang berguna. Dan musti aku akui kalo itu sulit, he…he…he…

SMS Sembrono

Pagi-pagi tadi, baru aja nyalain hape, tiba-tiba aja masuk sms. Bunyinya, “Selamat, Anda memenangkan hadiah mobil Toyota Yaris, dari TelkomselPoin, yang diundi tadi malam di Lativi. Hubungi nomor…… untuk konfirmasi lebih lanjut.”

Nih die, kagak tau kalo yang nerima udah pernah detraining sama Telkomsel. Caranya, setelah berita habis, turunin terus layarnya. Kira-kira 5x, muncul deh nomor si pengirim. Kali ini no pengirimnya berbasis 0818. Langsung deh aku marah-marahin yang ngirim sms, biar tau rasa, zaman susah koq mempermainkan orang, pagi-pagi lagi!!!

Fenomena orang mau menang undian yang bikin orang-orang kayak gini mengail di air keruh. Siapa tau ada yang terpancing, maka melayanglah sejumlah uang dari rekeningnya. Yang ampir mirip dengan ini adalah gendam lewat hape. Salah seorang yang pernah aku kenal, ampir aja kegendam. Dia udah mau koq digiring sampe ke depan mesin atm. Untung satpam atm-nya waspada. Ngeliat nih ibu-ibu bingung di depan mesin atm, langsung dia matiin atmnya, dan memberitahu si ibu kalo dia tertipu yang telepon di hape. Biasanya model-model tipuan gini kemakan sama korban yang emang lagi butuh duit bener, atau yang punya banyak keinginan tapi gak ada dana.

Masak udah mau masuk kepala 5 masih ketipu sama guyonan cah cilik? No way meennn…! Sambil terus berjaga-jaga spaya jangan takabur.

Membantu Pak Sampah

Di beberapa kota marak munculnya ‘outlet’ rosok, artinya outlet itu menerima barang-barang yang udah nggak kepake lagi. Kalau di jalan-jalan Yogya, mereka biasanya membawa rombong atau keranjang besar di motornya. Di perumahanku ini banyak yang suka lewat begitu. Kadang-kadang ada yang bawa mesin cuci yang udah butuuuut bener.

Itu sih kategori pemulung berduit. Pemulung yang gak punya duit dan hanya modal tenaga juga banyak. Kadang- kadang mereka ini suka mengesalkan hati, apalgi kalau sampe masuk ke halaman rumah, mengaduk-aduk sampah, lalu ngeloyor pergi begitu aja.

Sebenernya menjadi pemulung itu sedikit banyak berguna untuk mencegah global warming. Dengan adanya mereka, sampah-sampah plastik bisa diubah lagi menjadi barang yang bisa terpakai. Tapi jangan tanya kualitas barang kalo udah gitu.

Di rumah pun aku coba ngebantu pak sampah dengan memisahkan sampah kering dan sampah basah. Kalo lagi rajin botol-botol plastik bekas air mineral juga aku pisahkan di kantong sendiri, supaya nggak kecampur di satu tong sampah dengan sampah basah yang mengeluarkan aroma tak sedap. Menurut informanku, kemasan karton minuman itu juga masih laku. Jadi kalo abis minum susu Ultra atau teh kotak, aku masukkan di tempat sampah kering. Selaen itu kaleng susu, kaleng biskuit, botol UC, semua masuk tempat sampah kering.

Terus, aku nggak gampang buang kertas, karena untuk bikin kertas itu orang harus nebang pohon. Makanya kertas aku pisahin sendiri. Ada kalanya aku misahin kertas warna ama yang putih, karena ternyata fungsinya berbeda kalo udah masuk ke tempat rosok.

Bagian dunia yang ini yang terpinggirkan, tapi sebenarnya memperpanjang umur bumi. Buat ibu-ibu kayak aku gini, paling nggak bisa memudahkan kerja pak sampah dan ngajarin anak supaya mraktekkin cara mencegah global warming, nggak cuman dijadiin omongan doang.

Looking for Aing

Tadi siang ada yang manggil aku di counter pengambilan barang Indogrosir, “Kak Ian!” Ini sih orang yang udah lama kenal aku, ternyata…. Golda, istrinya Karisma. Ia bersama anaknya yang asyik melahap es krim.

Cerita punya cerita, kami bertukar kabar tentang teman yang namanya Lusi. Aku bilang Lusi udah di Australi. Dia kaget karena setahunya Lusi ada di Singapur. Ha…ha…ha.., namanya sama tapi orangnya beda. Lusi-ku memang namanya Lusi, tapi Lusi-nya Golda nama bekennya Aing.

Jadi buat Ayen, Lily, The Li dan Angky yang tau keberadaan Aing, tolong kasih tau kalo beberapa hari ini Golda ngimpiin dia terus. Ato kalo Aing pas mampir ke sini, Golda kangen tuh sampe tengimpi-ngimpi. Masihkah di KL?

Masih dalam rangka who knows kali ya…

Who Knows

Aji who knows bermain-main di kepalaku. Nggak tau kenapa, karena segala kemungkinan bisa terjadi. Contoh sederhana aja, who knows ada orang yang naksir kursi makannya Lil’ Jessie? Nggak banyak tanya, langsung angkut ke Jakarta.

Who knows emang begitu, ujuk-ujuk terjadi. Dua hari lalu, aku menerima kedatangan pasutri teman lama dari Semarang. Mereka datang jauh-jauh naik motor untuk memilah-milah mainan Jessie yang akan dipakai di TK yang dipimpin sang istri. Padahal, aku lagi berupaya mencari bagor (karung dari plastic yang biasanya untuk paket-paket) supaya mainan yang aujudubilah banyaknya itu bisa dikirim ke Semarang tanpa biaya besar.

Who knows juga perlengkapan bayiku bisa terjual. Jadi deh, sore ini aku potret semua perlengkapn bayi yang mau aku lego dan kirim ke peminatnya via email. Who knows???

Who knows of everything but five minutes afterwards nobody knows, only God knows everything.

Dongkol

Payah juga nih aku, kayaknya kemakan pemeo yang sering digunakan di dunia manajemen, “Janji adalah hutang.” Konsekuensinya, kalau kita berjanji berarti kita harus menepatinya. Bayangin aja kalo ada transaksi milyaran dollar, udah deal tiba-tiba dibatalkan, apa nggak ngamuk pihak yang dirugikan? Ato, udah janji mau nikah eh tanpa ngomong apa-apa, terus dibatalin. Sakit deh hati….

Aku ngalamin yang mirip-mirip begitu dua hari lalu. Untungnya bukan transaksi ratusan ribu rupiah ato totohan nyawa. Masalahnya hanya janjian mau ke luar kota bareng-bareng. Semua sudah oke, sudah deal mau naik apa, tinggal berangkat keesokan harinya. Malam itu firasatku nggak enak, lalu aku telepon salah satunya. Dengan gampangnya dia minta maaf karena besok nggak jadi pergi! Alasannya? Segudang, nggak cukup dua baris kalimat. Isinya yah pembenaran kenapa dia gak jadi pergi. Yang satu lagi malah udah malem banget baru sms bilang sori lah bla..bla..bla…. Kalo yang satunya emang udah roboh dari jauh-jauh hari karena asmanya kambuh.

Tinggal aku bengong sendirian. Dongkolnya sampe ke leher. Masalahnya bukan karena mereka harus ikut, emang aku siapa ngeharus-harusin orang, tapi ini janji yang dibikin bareng-bareng. Kalo mau dibatalin sih oke-oke aja, tapi ngomong dong jauh-jauh hari, bukan besoknya berangkat malem ini baru ngebatalin.

Aku sampe ilfil, nggak tau lagi musti ngomong apa. Kok tega-teganya. Katanya temen, katanya ini, katanya itu, tapi begitu ada perbenturan kepentingan, keliatan deh kualitasnya. Mau dibilang apa, aku emang terkena cidera janji. Sampe nulis ini pun masih dongkol, cuman udah reda sedikit. Kalo aku mau terusin pikiran jahat, paling-paling orang yang ngebatalin janji dengan entengnya bisa aja bilang begini, “Kan yang penting udah minta maaf, terserah dia mau berasa apa kek, mau nganggep apa kek! Emang gue pikirin???” Hmmphhh…..

Ujian Kesabaran

Akhir Juli lalu Matahari Dept. Store ngadain diskon gede2an di bagian sepatu anak. Nah, sepatu sekolahnya Jessie udah waktunya diganti sih, cuma masih bisa dipake. Udah kena jahit pak sol sepatu dua kali, abisnya mangap sih setelah dicuci. Terus lapisan luarnya udah mulai retak-retak. Ngenes kan ngeliatnya?

Selain sepatu butut ini, masih ada sepatu olahraganya yang juga sama-sama butut. Jadi, di diskonan itu, kami mencari sepatu hitam yang syaratnya harus bisa untuk sehari-hari dan untuk olahraga. Jadi, sepatu sekolah itu satu aja, nggak usah gonta-ganti. Kan jadi nggak usah mikir ini hari olahraga apa bukan. Pokoknya ke sekolah ya pakenya seatu itu.


Pusing liat sepatu koq bececeran dimana-mana, emaknya aja cuman punya satu sepatu dan satu sandal tinggi untuk ke pesta. Lagian ribet kalo banyak sepatu (mood ngosongin rumah lumayan masih tinggi nih).

Cari punya cari, akhirnya ketemu yang oke. Sekarang tinggal ngelobby waktu memakainya. Sejak awal udah dibilangin kalo sepatu itu hadiah ultahnya, yang dibeli sekarang karena ada diskon mayan gede. Waktu sepatunya belum keliatan, Jessie sih manggut-manggut aja. Begitu sepatunya udah nangkring di depan mata, keinginannya untuk langsung memakai sepatu baru muncul.

Susah payah aku menunjukkan realita supaya sepatu bututnya diabisin dulu. Jadi pas ultah yang cuman tinggal 2 minggu lagi, kedua sepatu bututnya bisa dengan lega masuk tong sampah. Tiap hari diitungin tinggal berapa lama lagi bisa pake sepatu baru. Tiap hari nanyain kenapa musti ditunda-tunda make sepatu barunya, orang sepatu barunya udah di depan mata, lagian sepatunya emang udah butut banget.

Bagiku, ini sarana ujian kesabaran buat Jessie. Nggak banyak momen kayak gini, menunda sekian lama untuk mendapatkan sesuatu. Namanya anak semata wayang, jadi aku juga kadang-kadang suka ngebeli-beliin dia benda yang disukainya. Tapi, kayaknya udah waktunya Jessie belajar bahwa menunda itu buahnya manis. Latihannya dari benda yang nggak urgent kayak sepatu. Besok-besok, harapanku dia bisa belajar untuk benda yang lebih penting, misalnya beli hp, dll.

Buat Jessie, penundaan ini rupanya bikin dia manyun. Tapi lama- lama, saking banyak aktivitasnya, lupa juga. Tau-tau udah tanggal 9, tinggal 9 hari lagi. Selama dia lupa, aku diem-diem aja. Kalo pas inget, jawabanku klasik ibu-ibu, “Sabar…sabar…sabar…”

Tidur Nyenyak

Sejak siang tadi, Jessie langsung tidur. Biasanya sehabis makan siang dia masih bikin-bikin prakarya atau baca-baca atau main congklak sama aku. Tapi karena tadi kami mengganyang otak sapid an ayam pop di rumah makan padang, begitu sampe rumah langsung ganti baju. Tau-tau udah nggak ada suara dari kamar Jessie. Aku intip, eh dia udah tidur hanya dengan pakaian dalamnya. Nggak pake bolak-balik sambil baca buku seperti biasanya.

Kalo udah gitu aku sering memandangi wajahnya. Kayaknya nggak ada kedamaian yang melebihi nuansa damai yang tersirat di wajahnya. Kenapa ya, kalo anak lagi tidur begitu, rasa sayang bisa membuncah deras? Wajahnya, dan mungkin juga wajah anak-anak lain, serasa nggak ada salahnya. Belum lagi napasnya yang teratur jadi kayak musik penenang, he…he…he….! Terus, posisinya itu lho, persis seperti waktu dia bayi tidur. Tangannya dua-duanya naik ke atas. Papinya bilang secara nggak sadar Jessie meniru maminya, sebab kata misua tanganku juga naik ke atas dua-duanya kalo lagi tidur. Mana kutahu…. (nyanyi dong).

Itu tuh yang bikin aku suka memandanginya. Kalo pas malem-malem dia udah terlelap, aku suka manggil papinya untuk menikmati wajah damainya. Kadang-kadng kami tersenyum sendiri, karena mulutnya suka mencecap-cecap. Mungkin karena pernah lama mengisap botol ya?

Alhasil, sore ini aku lonely, abis dia tidur nyenyak. Udah dari pk 13.30, sampe 17.30, belon ada tanda-tanda dia mau bangun. Padahal, aku bolak-balik melulu dari kamarnya ke depan, dan mbak kami juga ngepel sama beres-beres di sana juga. Nyenyaknya!

Trilogi Donna van Lierre

Nggak tau kenapa, kemarin dulu aku kepengen baca lagi tulisannya Donna van Lierre. Bukunya ada tiga yang aku tahu. Yang pertama Christmas Shoes. Waktu Khun bilang buku ini bagus dan mau diterjemahkan ke bahasa Indonesia, aku agak pesimis. Tapi aku baca juga aslinya, dan aku nangis Bombay. Rasanya sedih gitu ngebayangin hidup seorang bocah lelaki yang berjuang membelikan ibunya sepatu sebagai hadiah terakhir sebelum ibunya meninggal. Terus, waktu yang tahu penerjemahnya (Pdt. Joas Adiprasetya) juga piawai bahasa Inggrisnya, aku tambah optimis kalo novel ini bakal laku di Indo.

Bukunya yang kedua aku baca waktu liburan sekolah tahun lalu di Jakarta. Untuk mempertahankan ritme bangun pagiku, aku sengaja bawa novel itu. Baca sambil nerjemahin kata-kata yang jarang aku jumpai. Christmas Blessing nggak segitu menyentuh seperti Christmas Shoes, jadi nggak sampe nangis bacanya.

Nah, bukunya yang ketiga, Christmas Hope, agak lain. Prolognya agak panjang dan ceritanya tentang seorang social worker. Kerja model begini agak jarang di Indo, walopun di sana rupanya sudah jadi hal yang biasa. Aku mulai tersentuh waktu masuk bab 3. Social worker ini ternyata pernah ditinggal mati anak tunggalnya, dan hidup perkawinannya sepoh tanpa kehadiran Sean. Hidupnya berubah waktu dia terpaksa nerima kehadiran Emily, gadis 5 taon, yang ditinggal mati ibunya.

Baru sampe situ sih bacanya, hanya aku jadi tau kalo efek kematian itu begitu kuat. Bisa menggoyahkan pernikahan, bisa menutup jalur komunikasi pasutri, bisa merusak hubungan harmonis anak dan ibu, bisa membuat orang menarik diri dari dunia. Hanya cinta tulus yang bisa membalut perasaan kehilangan itu. Novel ini ‘masuk’ karena aku udah ngeliat kematian dari dekat. Kalo belon, mungkin efek novel ini sedikit hambar.

Paling nggak trilogi ini memperluas ranah afeksiku. Ada serpihan kehidupan yang bisa aku rasakan, walopun aku belum pernah mengalaminya.

Memori

Berhubung memori hape penuh, aku terpaksa menyeleksi nama-nama di hape. Begitu sampe di huruf J, langsung tertera di sana nama almarhum sahabatku yang meninggal Desember 07. Wah, aku sampe deg-degan mau menghapus namanya. Rasanya seperti mengkhianati dia, padahal kepergiannya udah aku relakan, artinya memang jalannya kalau dia harus pergi secepat itu.

Heran ya, kehilangan orang yang kita sayangi bisa begitu lama penyembuhannya. Aku nih cuma teman, yang kalo ke penjahitan lihat dia sedang mendisain kaos produksi kami. Kadang-kadang aku berdiskusi sama dia, tapi kebanyakan sih aku lihat dia lagi merenung, atau jalan-jalan di rumahnya yang luas, atau mengetuk-ngetukkan pensil sambil merokok untuk mendapatkan ide.

Apalagi istrinya yang ditinggalkan mendadak ya? Pernah aku mencontoh suaminya ngeguntingin kain kecil-kecil untuk contoh warna, lalu kawanku melihat contoh warna itu. Langsung mukanya meredup dan kami terhanyut kenangan berjuang bersama. Pernah juga dia beberapa kali kepeleset manggil aku Ian, padahal selama ini dia sengaja manggil aku Mar untuk membedakannya dengan nick name alm Mas Janni. Dan….secara naluri aku tau kalo dia kangen dengan suaminya. Cuma kangen begini kan susah? Masak musti manggil cenayang kayak yang di film Ghost, lagian itu forbidden and ngeriii….

Jadi, menghapus nama Mas Janni bener-bener membangkitkan kenangan. Dan ketika jariku memencet tombol delete, serasa seperti ada bagian diriku yang juga ikut pergi. Memori emang bisa bikin perasaan jadi amburadul begini nih.