Mendadak Olahraga

Beberapa waktu lalu ada seorang temanku yang terhinggap gejala-gejala yang ‘melumpuhkan’ dia. Tiba-tiba aja badannya panas dingin, menggigil nggak karu-karuan. Lain kali pusing sampe nggak bisa bangun. Karena kondisi badan memprihatinkan, padahal kerjaan rumah juga menumpuk, langsung dia check up menyeluruh.

Hasil check up itu positif, artinya nggak ada kerusakan di organ-organ dalam yang vital bagi kelangsungan hidup. Ginjal ok, jantung ok, hepar ok, semua ok. Cuman dokternya yang mengatakan bahwa gejala-gejala yang dialami kawanku itu seperti gejala-gejala orang yang mau menopause. Dia kaget luar biasa karena usianya baru 37 tahun, biasanya menopause kan sekitar usia 50 tahun. Jadi, tubuh yang panas dingin itu pengaruh perubahan hormonal. Dokternya menyarankan dua hal yaitu olahraga dan jangan sering-sering jajan.

Nah, saran dokter itu suka juga aku langgar, terutama yang olahraga. Kayaknya udah nggak ada waktu buat olahraga. Waktu Jessie bayi sampai kira-kira dia umur 1,5 tahun aku masih bisa ngikutin program senam pagi-pagi di ANTV. Dari sejak tiu sampai sekarang, kadang-kadang aja aku renang. Selebihnya olahraga mulut, alias makan n ngomel, ha….ha…ha…! Syukurlah, minggu lalu dibuka kelas tari untuk ibu-ibu. Aku langsung daftar, langsung seneng dan gembira. Jadi, abis kelasnya Jessie, kelasnya ibu-ibu.

Kayaknya gampang, enteng dan cuman gerak-gerak ikutin irama gamelan. Jebule angele pol! Menurut salah satu penari, menari justru olahraga yang lebih berat dari aerobic. Walopun gerakanku juga nggak serius-serius amat, tapi kagok banget disuruh berjalan mendhak. Lhah, biasanya jalan aja udah kayak orang lari, koq ini jalan harus kemayu, lenggak-lenggok. Alhasil isinya kelas itu banyak ketawanya, susah sih gerakannya. Tapi kalo aku pikir-pikir, mungkin yang bikin gerakanku jadi susah itu karena aku belum los. Tari itu kan dari jawa timuran, jadi gerakannya rancak dan banyak megal-megolnya. Nah, aku belon bisa tuh megal-megolnya, he….he…he…

Bener lho, keringetan sampe kaosku basah. Belon lagi, akrena aku udah lama nggak gerak badan, besoknya kakiku sakit buat jalan. Nyetir sambil nyengar-nyengir nahan sakit di paha. Tapi, udah terbuka satu jalan untuk olahraga.

Saran dokter kawanku yang kedua itu yang harus aku siasati lagi, karena masak tiap hari gitu bisa repot. Paling dalam seminggu aku masak sekali dulu. Baru lama-lama masak lebih sering. Yang aku usahakan selalu ada tiap hari itu buah dan air kacang ijo. Pelan-pelan aku mau atur lagi waktunya.

C.C.K.

Kalo aku yang suruh baca singkatan di atas, langsung aku teringat pelajaran bahasa Jawanya Jessie, isenana cecek-cecek ing ngisor iki…, yang artinya isilah titik-titik di bawah ini.

Tapi bukan itu, ternyata. Itu singkatan sebuah klub yang didirikan oleh kakak angkatannya Jessie, kependekan dari klub Cewek-Cewek Keren. Nggak maen-maen rupanya, ada syaratnya: musti bisa cipta lagu, ada cowok yang naksir kamu diam-diam, dan bisa main alat musik.

Buset dah, ini anak kelas 4 SD. Udah kebayang deh dunia remaja kayak apa. Dan, peminat C.C.K. banyak lhoh. Mereka berebutan menunjukkan lagu hasil ciptaannya, terus kalo istirahat senyam-senyum sama anak laki-laki yang menurutnya naksir dia. Kali kalo zamannya aku dulu, cewek begini nih udah dipandang sebelah mata kali. Zaman sekarang, cewek gini malah disanjung sebagai cewek kreatif dan gaul.

Aku cuma bisa geleng-geleng liat trend anak zaman sekarang. Pengaruh tv gedhe banget. Lhah, anak sekecil itu bikin gang yang syaratnya seperti mau ikut idola cilik aja, ha…ha…ha….! Tapi yang bikin aku prihatin itu karena anak sekarang cenderung mengabaikan yang namanya proses, semua serba instant dan semua menuju kea rah keterkenalan yang jadi dambaan semua orang. Apa jadinya kalau mereka masuk lab, atau mengamati pertumbuhan padi, atau belajar bikin kue??? Bisa-bisa padinya dicabut sedikit akarnya, supaya keesokan harinya padi udah tumbuh besar. Mending-mending hasilnya begitu, kan malah mati, he…he…he…

Emosi Terkuras

Hari ini bener-bener emosiku terkuras, ngurusin sablon. Aku udah deal sama satu tempat sablon, lalu disain keluar, tapi formatnya jpg. Ternyata disainnya kurang disukai sama yang order, lalu disain awal mau diubah. Tapi karena format filenya jpg, jadi udah mati. Hari ini aku pontang-panting nyari tukang sablon yang bisa kerja cepet, soalnya ternyata pestanya juga dimajuin.

Tukang sablonnya ketemu, yang mau kerjaannya disela untuk menolong aku, supaya ordernya selesai tepat waktu. Masalahnya ada di gambar disainnya yang udah nggak bisa diubah-ubah lagi. Aku sampe bingung mau gimana lagi. Akhirnya dengan hikmat Tuhan, aku serahkan buku-buku yang aku punya untuk mencari gambar anak-anak kecil. Begitu melihat buku tadi, langsung yang mau ngegambar ulang berseri-seri mukanya. “Kalau ada buku ini pasti jadinya deh, Bu!”

Aku lega, tapi emosiku udah kadung terkuras. Kerjaan sablon tuh emang lebih ribet daripada bordir. Kalo bordir kan hanya membutuhkan gambar yang artistic, jelas dan cukup waktu. Kalo sablon tergantung banyak faktor: matahari untuk mengeringkan cat, adukan pasta, waktu untuk misah-misah warna, dan taste pembuatnya. Kalo meleset sedikit, bisa ancur jadinya.

Setelah sablon masuk, aku deg-degan sambil berdoa terus, supaya semua lancar. Soalnya, bahan udah dipotong dan pesenannya dalam jumlah banyak. Jadi, bisa amsyiong kalo sampe gagal semua.

Jadi, hampir hil yang mustahal deh saran supaya meninggalkan stress di tempat kerja dan pulang dengan melapangkan hati. Lhah, karena emosi terkuras, lenyaplah tenaga untuk masak, padahal rencananya hari ini mau masak sop jagung ayam kampung….

Ini bukan dongengnya Harry Potter, tapi betulan. Tentu aja yang dimaksud naga di sini adalah naga di dalam per-shio-an. Konon, naga adalah salah satu shio besar, karena itu sifatnya juga besar. Besar ambisinya, besar ngamuknya, besar ngambeknya, besar gembiranya, besar marahnya, besar terharunya, dan segala yang besar-besar.

Pengalaman ngegedein anak naga kujalani dengan terantuk-antuk. Papinya udah lihat sifatnya dari kecil, yaitu nggak bisa dikerasin. Hanya dalam keseharian, caraku membesarkannya seperti panglima angkatan bersenjata. Kata yang denger dan pendengarannya sangat tajam, nada suaraku itu tinggi, selalu dengan nada memerintah dan mendesak sampai ke batas kesabaran orang. Apalagi…, aku punya bawaan kolerik yang sangat kuat.

Hasilnya? Jadilah anak semata wayangku yang sangat gembira, gampang ngambek, dan super duper ngeyel. Mungkin karena dia tahu kemampuan otaknya sedikit extraordinary, jadi kalo dibilangin ngeyel alias selalu membantah. Nah, yang di dekatnya adalah ibunya yang calon panglima, ha…ha…ha…, alhasil kebanyakan metodenya menang-kalah. Nggak semua anak shio naga gliyak-gliyak or high energy. Ada juga anak shio naga yang tenang, kalem, pikirannya dalam. Tapi, kan ada pepatah bahwa buah jatuhnya nggak jauh-jauh dari pohonnya? Anak naga aku ini juga lebih dominan koleriknya dibanding melannya.

Kemarin malam aku disadarkan sama misua kalo cara ini akan membawa bencana saat si anak besar dan mulai mandiri. Bisa-bisa dia kabur dari rumah, atau nggak mau dengerin ortunya. Ini berarti aku harus kembali mempelajari bagaimana menjadi orangtua efektif plus analisa transaksional. Jadi ujung-ujungnya bukan duit tapi belajar!

Sendirian

Wah, malam ini aku benar-benar sendirian. Tiba-tiba aja tadi siang keluar pengumuman bahwa Jessie libur besok, karena Hari Guru.

Lalu, ada kawanku yang datang. Anaknya sepantaran Jessie, jadi ikutlah Jessie dengan kawanku itu.

Udah lama aku nggak pernah sendirian. Rasanya jadi aneh dan lengang. Untung hujan reda, jadi aku bisa ngenet, kalo nggak bisa bosen deh. Sekalipun kalo Jessie ada aku dan dia bisa bertengkar, tapi nggak ada perasaan lengang.

Mudah-mudahan maleman dikit ide kreatif bisa muncul, soalnya ada yang mesen kaos tapi disain gambar, huruf, variasi kaos semua dipasrahkan sama aku...

Looking for a Friend

Kan lagi zamannya nih nemuin temen lama, aku jadi ikutan nyari. Salah satu yang pengen banget aku temuin itu teman satu angkatan di Psiko UGM, tapi udah hijrah ke Amerika.

Aku manfaatin deh tuh si Oom Google, ketika namanya dan voila! Dia ada di sana lagi nari Tari Merak, dengan kostum asli, persis kalo dia nari di sini. Memang dia penari klasik Jawa, aku lupa Yogya apa Solo. Jadul aku pernah diajak meliput tariannya waktu dia mementaskan Ramayana indoor.

Nah, mulai nih pencariannya. Aku sempet kepikir nulis imel ke pengelola rubric. Pikir punya pikir manalah dia tau alamat yang difoto, yang penting bereitanya aja yang masuk, kan begitu biasanya. Lalu, aku search lagi namanya. Muncul di Linkedin. Ada beberapa tawaran di sana, dan aku klik View the Full Profile. Lalu muncul pernyataan kalo aku musti jadi membernya Linkedin baru bisa lihat profilnya Wisnu. Saking kepengennya kontak Wisnu, jadilah aku membernya Linkedin. Padahal, juju raja nih, dengan dua maenan di inet: blog en fesbuk kadang-kadang aku keteteran juga. Tapi nggak apa-apa deh, demi Wisnu.

Aduh, ternyata aku gaptek abis deh. Udah jadi member, aku bingung, koq nggak kembali lagi ke halaman yang tadi muncul untuk lihat profilnya Wisnu. Aku cari-cari lagi. Lalu, satu-satunya cara kontak dia adalah dengan mengirimkan SendInMail. Wah…, ternyata kalo mau ngirim itu aku musti upgrade email address ku, bayar sekian puluh dolar. Gak jadi…gak jadi… (kalau ada yang tahu cari teman via Linkedin, mohon info ya?)

Bye bye Wisnu, someday I will look for u again.

Salad Gratizz

Berhbung misua mau dines luar kota yang cukup lama… 1 minggu bo, kami makan malem di luar. Biasanya kan makan di rumah. Maklum, harga-harga melambung, paling nggak sekali makan bisa abis goban, kan boros banget. Tapi, kalo ada momen khusus begini, kami ke luar.

Runding punya runding, semua sepakat makan pizza, di tempat yang duduknya nyaman dan ada pahe alias paket hematnya. Jadilah kami ke sana. Buset dehh… malem minggu bukan, malem wiken juga bukan, tapi nih resto rameee banget. Persaanku mulai nggak enak waktu pesenan nggak dateng-dateng.

Akhirnya dateng juga…., terus langsung ludes karena semua pada kelaparan. Menjelang suapan terakhir aku nanyain ke mana tuh lasgna, koq gak nongol-nongol. Orang yang kayak store manager datang menjelaskan duduk permasalahannya. Ternyata gagal masak, masak yang kedua sedang dilakukan, kira-kira 5 menit. Pasti deh mukaku udah nyeremin banget, sampe tuh orang ngomongnya ke misua melulu madepnya, ha…ha…ha…! Tunggu punya tunggu, lebih dari 5 menit, nggak nongol juga. Datanglah lagi si petugas sambil menjelaskan panjang lebar. Di akhir penjelasan, kami disuruh menunggu sambil menikmati salad or soup, for free.

Misua deh yang ngambil saladnya. Separuh jalan makan salad, datanglah si lasagna. Wah tapi muncul masalah baru, perutnya udah kagak muat lagi. Kenyang makan pizzanya dan kenyang nunggunya. Jadilah malam itu dapet salad.

Sampe di mobil misua bilang gini, “Laen kali pilih lagi masakan yang susah bikinnya ya Mam!” Ha…ha…ha…, itu kan karena aku demam Italia gara-gara baca buku trip to Italia. Kalo nggak gitu, mesennya yang std alias standar-standar aja.

Kayaknya makin lama Jessie makin kurus deh. Mula-mula sih aku selalu beralasan sama yang nanya kalo dia kebanyakan olah fisik, nari dan renang. Tapi, misua nggak terima begitu aja. Dia nyaranin supaya ada makanan selingan antar waktu makan. Kalo bapak udah bicara begini, kadang-kadang aku yang kebingungan. Maklum, mbok keset, maunya yang praktis-praktis aja.

Nah, mulailah aku ngegoreng kentang, emping, kerupuk, dll gorengan. Karena terus-terusan dihantem gorengan, kerongkongannya Jessie meradang. Aku stop, terus mulai dengan memperbanyak buah dan kadang-kadang merebus kacang hijau untuk bikin air kacang hijau. Selaen itu diem-diem porsi nasinya aku tambah, susu juga kalo bisa 3x sehari.

Program penggemukan ini semakin kenceng setelah adeku bilang begini ke Jessie, “Oom Didi seneng Jessie udah tinggi, tapi musti agak lebar sedikit ya badannya.” Wah, dia jadi tambah semanget makan ini itu.

Mboknya yang musti kreatif, coba ini dan itu, even outside my hobby, misalnya masak or bikin kue. Pagi ini aku coba bikin nagasari. Kalo ini sih bukan buat Jessie aja, tapi buat bapaknya juga. Ternyata kesenengan dia sama dengan aku: nagasari. He…he…he…, aku modifikasi sedikit resepnya. Nggak pake pisang kapok, tapi pake pisang raja. Maksudku supaya sisanya bisa diemplok begitu aja. Kalo pisang kapok nanti aku musti goreng pisang lagi, wah… itu nanti dulu deh. Minyaknya bisa kemana-mana, ngepelnya susye…ha...ha...ha...

Lumayan keliatan hasil program ini. Kalo Jessie pake legging, pantatnya mulai keliatan berisi. Aku bener-bener kangen liat pipinya yang ndut, buat dicubit-cubit. Jail banget ya jadi ibu?

Ngrasani Papi

Jessie lagi seneng dorong-dorong aku. Kalo udah begitu mestilah dia berujar begini, “Nah kan, mami nggak kuat tho? Padahal cuman aku senggol pake pantatku lhoh?!”

Aku sih nyengir-nyengir aja, soalnya aku memang ngelepas badan kalo didorong dia, daripada tau-tau pinggangku kecetit?

Waktu mandi bareng pagi tadi, Jessie dorong lagi. Jujur aja, sebenernya aku pengen marah, karena kalo dorong-dorong di kamar mandi bisa-bisa kepeleset. Cuma ngeliat mukanya yang enjoy banget, aku berubah arah, aku terusin aja permainannya,


“Jangan dorong-dorong, Jess, nanti jatuh nih.”


“Atau gini Mam, pas aku dorong Mami kontal sampe nembus tembok kamar mandi…”


“Gitu ya, terus masuk ke kamar Mami Papi? Terus nibanin Papi???”


Sambil cekakakan Jessie nimpalin lagi, “Gepeng deh Papi. Mami kan ndut, mana tahan kalo Papi ketiban Mami?”


“Jadi, kalo gepeng begitu, kayak kerupuk udang dong?”


Abis deh, papinya dijadiin guyonan. Waktu aku sampein ke misua, dia cuman bisa geleng-geleng, “Wah, jailnya sama sewotnya sama-sama kenceng!” Asal tau aja, kadang-kadang mulutnya Jessie sering-sering lebih mancung daripada idungnya, alias mcc alias mecucu alias cemberut sambil manyun, bisa ngebayangin nggak?

Derai Tawa Pagi

Pagi tadi Jessie belajar soal PKN alias Pendidikan Kewargaan Negara. Memang pelajaran begini nih abstrak buat anak seusia dia. Orang dewasa aja susah kali kalo disuruh mendefinisikan norma, aturan, dan tetek bengeknya.


Setelah bahan selesai dibaca, aku nebakin sumber dari peraturan-peraturan yang ada di masyarakat. Susah juga nyari kata yang menggambarkan bahwa maksudnya itu sumber. Pikir punya pikir aku bertanyalah begini, “Jes, norma dan peraturan itu sumbernya dari kitab mana?”


Mulai….dahinya berkerut-kerut. Nggak berapa lama keluar jawabannya, “Kitab Sutasoma, Mam!”


Aku terkaget-kaget, koq bisa itu jawabannya, padahal itu materi bahasa Jawa. Oalah… nggak tahan deh aku, ngakak sampai keluar airmata.


Kesian deh anakku ini, masak sampe kecampur aduk begitu. Kitab Undang-undang jadi kitab Sutasoma. Jessienya juga kaget lalu pagi itu pecah dengan derail tawa kami.


Kali kalo nerima terlalu banyak informasi bisa begitu ya? Mana nih jawabannya, keselip di mana nih teorinya, dst.nya. Perasaan zaman sekarang pelajaran jadi terlalu dini diberikan. Kayaknya waktu aku sekolah dulu soal undang-undang baru muncul kelas 4 ato 5, koq sekarang udah diperkenalkan dari kelas 3, walopun cuman disebut “bersumber dari Undang-undang.” Nih kalo ibunya nggak baca Koran terus updet data zaman SD baheula dulu, bisa repot nih bakalannya.


Ternyata aku musti terus belajar ya? Kirain begitu anak masuk SD aku bisa santai-santai, setelah di KB dan TK berjuang memantapkan fondasi keilmuan Jessie. Eeh…, di SD belajar lagi menerjemahkan pengetahuannya yang kadang-kadang abstrak menjadi bahan yang mudah ditangkap pengertian kanak-kanaknya. Inilah sekolah kehidupan, belajar terus, tapi SPP nya berujud Koran dan sergala macem buku pelengkap!

Harum Tempe

Udah lama banget nggak pernah ngegoreng tempe sendiri. Biasa, males cuci-cuci abis gorengnya. Hanya saja beberapa hari lalu hujan deras, terus mikirin yang anget-anget buat makan malem. Eh, koq di kulkas ada tempe.


Langsung aja deh aku ulek bawang putih, ketumbar (kira-kira 1 sdt) dan garam. Abis itu cemplungin deh irisan tempe yang tipis-tipis itu sama bumbu halus dan air matang. Setelah direndam kira-kira 30 menit, langsung digoreng.


Hmmm….sedap dan harum. Misua yang baru pulang kantor aja langsung kembang kempis idungnya nyium harum tempe. Kali saking lamanya di rumahnya kagak ada harum tempe ya?


Besok-besok aku mau nanya sama iparku. Dia punya andalan tempe digoreng terus dikasih bumbu cabe uleg kasar, dicampur dua-duanya, terus dihidangin sama cobek-cobeknya di meja makan. Wah, kalo pagi-pagi makan begitu, mana tahaannn…

Drop Lagi

Wah, salah kira nih. Kemarin pagi aku kelaparan, lalu nyemil kue-kue yang dibawa mertua. Jumlahnya cukup banyak, jadi aku kenyang. Abis itu masih ditambah minum kopi mix. Jadi, waktu beli sarapan buat misua, aku gak ikutan beli. Pikirku cukuplah sampe siang nanti.

Mulai deh errornya jam 8, datengnya dari leher yang terasa kencang lalu senut-senut di pelipis. Kira-kira jam 9 aku minum obimin buat naekin tekanan darah. Jemput Jessie juga sambil keliyengan. Abis makan siang aku minumin lagi obiminnya. Mungkin saking sakitnya kepalaku ini, malah nggak bisa tidur. Wah, runyam.

Akhirnya aku mandangin aja alam ngamuk dari jendela kamar kerja. Pohon pisang di halaman tetangga depan goyat-gayut kayak mau kecabut aja. Ngeliat semua itu sama sakit kepalanya jalan bareng, sengsaraa… deh!

Keliyengannya baru reda sekitar pk 21.00. Cepet-cepet deh aku minum madu bipolen. Masak obimin lagi, kesian deh mijn ginjel kalo gitu! Untung nggak abis tekanan darahnya.

Pagi ini aku makan nasi seperti biasa. Pk 5 tadi aku ganjel pake bolu dan teh madu. Abis anter Jessie beli sarapan baru deh lega. Masak saban hari keliyengannya, gazwat dong.

Pekerjaan Menunggu

Nunggu tuh kerjaan bukan ya? Soalnya nggak keliatan kerja, diem aja. Tapi dibilang bukan kerjaan koq ya menghabiskan waktu. Yang lucu, menunggu bisa terjadi di mana-mana, berulang kali, dengan sengaja dilakukan, bahkan dimodif.

Sebagian besar kerjaan ibu rumah tangga itu menunggu. Mulai dari menunggu tomat yang dididihkan, menunggu air panas untuk mandi, menunggu nasi yang ditanak, menunggu tukang ini itu dateng, menunggu suami pulang, menunggu anak les, dll seribu satu macam pekerjaan menunggu.

Dan aku terbiasa menunggu, kadang-kadang aku sabar tapi banyakan nggak sabarannya. Daripada ngomel-ngomel, udah sejak lama aku berbekal buku kemana-mana, supaya kalo aku terpaksa dan harus menunggu, aku punya sesuatu untuk dilakukan. Biasanya buku yang selalu aku sediakan itu Reader’s Digest (edisi Indo lah, kalo baca yang Inggris bisa keriting terus malah jadi mencak-mencak). Tapi, kalo lagi banyak membutuhkan referensi, bukunya jadi ‘berat’. Kalo udah begini, baca buku saat menunggu bukan lagi killing time tapi mendingan ngelamun kali…

Jadi, menunggu buat aku itu sebuah kesempatan langka yang ma uterus aku eksplor. So far sih aku menuruti kata hati aja. Kalo lagi pas bosen baca, ya aku ngelamun sambil mencermati apa yang aku tungguin, misalnya ngeliatin gerakan tarinya Jessie. Atau ngeliatin dia renang. Kalo pas harus baca ref aku paksain deh baca, karena pas nunggu ini ada waktunya.

Ada yang bilang begini, nunggu itu salah satu cara melatih kesabaran, supaya kita tambah arif. Buatku itu kayak menunggu Godot!

Beranjak Besar

Kami cukup terkejut waktu mendengar keluhan si anak semata wayang kalau payudaranya sakit. Soalnya dia abis jatuh, jadi pikiran nih udah yang nggak-nggak. Jangan-jangan waktu jatuh kena ke dada, dan seribu satu macem jangan-jangan. Tetapi setelah aku amat-amati ternyata nipplenya mulai membentuk, mungkin proses itu yang bikin sakit. Barangkali seperti gigi yang mintip-mintip mau tumbuh.


Terus kepikirlah membelikan dia miniset, kayaknya kaos dalem aja udah nggak memadai. Nah ini, ternyata miniset itu ada bermacam-macam step, dari step 1 sampai step 3. Step 1 bentuknya kayak kaos dalem, tapi panjangnya sampai pertengahan dada, lalu plain sama sekali, nggak ada busanya. Step 2 panjangnya miniset berkurang sampai kurang lebih 2 cm di bawah payudara, lalu di bagian belakangnya ada tali menyilang. Step 3 udah seperti bra biasa, tapi busanya tipis sekali. Aku bingungnya tuh miniset nggak boleh dicoba. Akhirnya aku ukur-ukurin aja di badannya Jessie. Dibelilah si step 2, tapi yang nggak pake tali menyilang, yang biasa aja model talinya.


Namanya anak-anak, udah ketemu stepnya, dia bingung milih….gambarnya dan warnanya. Akhirnya dia milih yang ada bunganya gantung-gantung. Aku dan misua mesem-mesem aja, liat anak-anak yang mulai gede.


Terus kemaren malem, waktu antar temen nyari jas di Centro, dia ajak lagi cari miniset. Nah, kalo yang ini simple, nggak ada step-stepan. Bentuknya seperti bra, hanya ukurannya S dan pake karet elastis, jadi nggak pake kait. Begitu coba langsung pas. Jadi, dia beli lagi tuh miniset.


Lucunya, karena gambarnya juga lucu, udah rapi-rapi pake seragam, tiba-tiba Jessie bilang begini, “Nih Mam, liat, lucu kan gambarnya?” Terus dia sibak sedikit kemeja seragamnya. Dasar anak-anak, polos-polos gimana gitu….

Akhirnya... Ketangkep Zzhuga!

Kemaren malam aku harus mewawancara calon karyawan gereja. Janjiannya sih pk 19.30, tapi setelah membereskan keadaan di rumah (anak n misua udah makan), aku berangkat pk 19.10.

Mungkin karena memikirkan banyak hal, aku melanggar lampu merah di bunderan Abubakar Ali. Langsung deh kena prit!

Setelah mendengar penjelasan panjang lebar, aku ditanya bisa nggak kalo sidang tanggal 12 November. Aku bilang aja bisa, terus iseng-iseng aja aku tanya kalo didenda berapa.

“Saya bantu diproses di sini aja, biayanya Rp 20.000.”

Karena aku bawa duit cash ya aku bayar, kalo adanya duit plastik aku sidang, he…he…he…. Mustinya polisi-polisi juga bawa gesekan kartu debit ya, hah????

Sebenernya, dua hari lalu aku juga pernah ampir kena prit pak polisi. Soalnya tuh lampu masih ijo, jadilah aku jalan (masak berenti?). Pas baru ban depan lewat batas lampu merah, eh lampunya jadi merah. Ya aku terusin jalan, walopun pak polisinya rebut maen sempritan di belakangku. Wah, mati deh, aku pasti dikejer polisi nih. Tapi mungkin karena udaranya sumuk luar biasa, aku aman-aman aja. Eee…, tak disangka tak dinyana akhirnya aku ketangkep juga kemaren malam.

Misua bilang, “Gak apa-apa deh, itung-itung nyumbang.”

Kejer-kejeran koq sama polisi, ya amsyiong lah, ha…ha…ha…

Sekejap Melintas

Minggu lalu aku nganterin kongsiku sekeluarga pulang sekolah, soalnya something wrong sama mobilnya.

Tiba-tiba dia membaui bajuku. Aku jadi ngerasa agak-agak gimana gitu, soalnya kongsiku ini matanya tajam, penciumannya juga. Koq jadi kayak werewolf ya, hii…., tapi itulah kelebihannya.

“Kenapa Mel, something wrong?”

“Nggak, koq aku nyium bau rokoknya Mas Janni. Makanya aku cium bajumu. Tapi ternyata bukan.”

“You missed him very much, aren’t you?”

“Yes, true. I missed him.”


Kayak gitu kali ya kalo merindukan kekasih hati yang sudah tiada? Waktu cerita ke misua, dia langsung merinding! Kalo aku sih mencoba menyerap aja momen kayak gitu. Pengalaman-pengalaman unik dengan orang-orang yang ditinggal mati kekasih jiwanya banyak aku alami.

Selaen pengalaman di atas, di kost aku dulu juga begitu. Anaknya induk semangku baru aja meninggal dan dikubur 4 hari. Minggu siang itu aku dan salah satu anaknya makan bersama. Setelah makan sendok garpu masih diletakkan di dekat gelas, lalu kami ngobrol ngalor- ngidul ceritain papanya semasa hidup. Tiba-tiba dia sadar ada yang aneh pas mau nyuci sendok garpu. Yang ilang sendoknya. Dicari ke kolong-kolong, tetep nggak ketemu. Lalu sambil merinding dia ngomong gini, “Mbak Ian, papa datang, papa datang. Dia ambil sendokku.” Misteri itu nggak pernah terpecahkan sampai sekarang. Setelah itu nggak pernah lagi Mas Ari dateng-dateng.

Tapi…, aku nggak bakalan mau kalo disuruh memperdalam ilmu itu. Nggak enak rasanya. Yang keliatan-keliatan mata biasa aja deh!

Bonyok

Bukan bokap nyokap, tapi bonyok beneran. Nih ada kaitannya sama idungnya Jessie. Dalam perjalanan jemput dia Sabtu lalu, aku ditelepon kepseknya. Dengan suara takut-takut dia memberitahu, “Kak Ian, inii… tadi Jessie terdorong temannya pas pelajaran olahraga. Lalu, dia jatuh.”


“Lalu, kena apanya?”


“Hidungnya. Tapi tadi sudah diperiksa guru olahraganya dan nggak apa-apa, hanya memar dan luka berdarah di lubang hidung.”


Ada yang patah atau goyang? Jessienya mengeluh pusing nggak?”


“Oh nggak, nggak ada yang patah atau goyang. Jessie juga nggak pusing. Saya memberitahu supaya Kak Ian nanti nggak kaget waktu jemput dan lihat ada luka di mukanya Jessie. Kmi minta maaf atas kejadian ini.”


“Ya, ok. Saya segera ke sana.”


Lega banget waktu liat Jessie tergolong nggak apa-apa karena yang luka cukupan itu persis di bawah lubang hidung. Bagian hidung sebelah kiri bengkak sedikit, batang hidungnya lecet-lecet memanjang, dan dagunya memar biru, Selain itu punggung tangannya lecet dikit. Lutut kiri kanan memar biru dan lecet-lecet.

Menurut cerita Jessie, dia lagi jalan di pinggir lapangan, lagi ngincer bola. Tiba-tiba dari belakang dia ditabrak temennya. Langsung nyungsep ke paving block. Waktu nyungsep itu, tangannya refleks nutupin mata, makanya punggung tangannya luka.

Bapaknya yang kaget, pulang-pulang muka anaknya bonyok. Mau dibawa ke dokter, tapi anaknya sendiri udah nggak ngeluh. Ditanyain pelan-pelan ngerasa pusing, mual atau mata berkunang-kunang nggak waktu jatuh. Teteup aja ngegeleng.

Dengan kondisi muka bonyok, kemana-mana jadi malu. Jadi wiken kemaren di rumah aja, sambil ngomporin Jessie supaya nggak usah malu kalo ketemu orang. Namanya aja kecelakaan, dan orang jatuh itu biasa. Luka juga nggak bisa sembuh instant, walau udah ditaburin hau fung san yang sakti mandraguna… Jadi, kalo orang kiri kanan nanya ya dijawab aja kalo itu karena jatuh. Soalnya, anakku ini kan mentingin banget gimana dia tampil di depan orang, beda 180 derajat sama emaknya, ha…ha…ha…., jadi perlu dikomporin supaya Jessie gak berkurang pedenya.

Emergency Call

Mula-mula ada 2 panggilan masuk ke hp yang nggak bisa aku terima, tapi ternyata temanku ini salah mencet nomor. Panggilan berikutnya dari orang yang setauku sih jarang banget mau telepon. Begitu aku angkat, langsung deh keadaannya jadi gawat bener. Ada kliennya yang trying to commit suicide tapi dianya pas di luar kota. Jadinya dia minta tolong aku yang ke rumah sakit mendampingi kliennya.

Nah, kalo udah gini repot. Bukannya aku nggak mau tolong, tapi misua belon pulang kerja dan aku absolutely nggak mau ajak Jessie nungguin orang dengan kasus begini. Kan nggak tau kayak apa, kalo nggak kebeneran bisa trauma dia. Akhirnya karena situasinya gawat, aku telepon misua supaya pulang kantor lebih cepet.

Begitu dia dating, aku langsung siapkan makan malam kedua orang yang aku cintai ini. Sudah oke baru deh aku berangkat ke rumkit.

Terus terang, di jalan aku agak ragu. Bisa nggak ya, soalnya kalo sampe harus terapi, perlu ketrampilan khusus. Sampe di sana, kliennya temanku udah disonde buat ngeluarin racunnya. Aku tungguin sampe selesai, tapi nggak boleh pulang sama dokternya. Jadi harus mondok. Begitu pasti dia bakal masuk kamar, aku cabut deh.

Wah, kalo ada emergency call begini yang bikin aku deg-degan. Aku sering lupa nyiapin keluarga, kalo sewaktu-waktu aku bisa dapet emergency call kayak gini. Dulu pernah ada mahasiswaku meninggal dunia, tapi aku nggak bisa bikin apa-apa karena berlangsung di luar kota. Emang bener deh kalo profesi yang paling tinggi stressornya itu nomor satu pendeta, nomor dua psikolog!