Gereja Masa Kecil

Kalau liburan akhir tahun biasanya kami sekelurga berkumpul di Jakarta. Jadi aku dan keluarga yang di Yogya bergabung dengan adik-adik yang memang berdomisili di Jakarta.

Aku sih seneng-seneng aja liburan kayak gini, cuma ada satu yang sering bikin aku nggak enak hati. Aneh ya, suasana liburan jadi bikin pergi ke gereja itu sesuatu yang janggal. Kalau lagi liburan keluarga begini, pergi ke gereja jadi sesuatu yang rasanya terasa tak pada tempatnya. Cuma, tahun ini aku bersikeras ke gereja saat Natal, walau itu berarti aku harus bangun pagi-pagi, nggak sempet sarapan pagi dan pergi naik taksi di Jakarta.

Akhirnya aku berhasil bangun pk 05.00, lalu siap-siap. Gawatnya Jessie lebih memilih tidak ke gereja karena keluarga mau jalan-jalan di pantai dan segudang aktivitas yang tentunya lebih menarik buat anak kecil tinimbang duduk sejam setengah di gereja. Aku bujukin, aku marahin, tetep nggak mempan. Jadi aku berangkat ke gereja dengan setengah bersedih hati.

Kenapa sih aku bersikeras ke gereja? Kalo mau gampang aku tinggal klik situsnya gerejaku, atau gereja berbahasa Indonesia di Singapura yang memuat suara pendeta sedang berkhotbah. Tapi aku mau hadir di gereja di saat penting ini karena: nggak banyak waktu untuk merenungkan betapa banyak berkat-Nya dalam kehidupan ini, mengingat pertolongan Tuhan Yesus setahun ini (terlebih waktu kami kehilangan Mas Janni), kemurahan-Nya yang senantiasa tercurah setiap kali aku minta order kerjaan, berkat kesehatan dan kepandaian untuk anak semata wayang dan keutuhan keluarga. Masak berkat-Nya melimpah aku nggak bisa nyediain waktu 2 jam aja untuk kebaktian Natal?

Setelah tanya sana sini, akhirnya aku memutuskan ke Gunsa 4. Itu gerejaku waktu masih kecil. Masih jelas di ingatanku kalau aku 'setia' ke sana setiap minggu, walaupun harus naik bajaj sendirian. Kalo diingat-ingat seberapa banyak sih yang bisa diserap anak umur 14 tahun dari khotbah di kebaktian dewasa? Cuman aku inget aja betapa tenangnya aku kalau kebaktian selesai.

Gereja itu masih tetep sama.Pendeta yang berkhotbah adalah pendeta yang dari aku kecil sudah melayani di sana. Pendeta ini sudah tua, keriput-keriput di mukanya juga jelas terlihat, namun suaranya masih setegar dan sejelas dulu sewaktu muda. Kebaktiannya betul-betul menenangkan aku. Tingkah denting piano dan lompatan lincah klarinet mengiringi perpaduan lagu-lagu klasik dan modern dengan cantiknya. Paduan suara sudah dipersiapkan dengan baik, jadi cengkak-cengkok Unto Us a Child is Born atau Hallelujah Chorus mulus terlewati. Kebaktian diakhiri dengan Hallelujah Chorus, dan jemaat menutupnya dengan bersama-sama menyanyikan refrainnya.

Selamat Natal semua. Kiranya kasih dan kemurahan Tuhan membuat kita terus berharap, walau ada kemungkinan kita menjadi tawar hati saat krisis ekonomi menjadi badai besar di tanah air.

Tak Menyangka

Bagiku, semester pertama Jessie di kelas 3 ini membuat deg-degan. Mungkin aku termakan asumsi pribadi bahwa kelas 3 itu krusial. Kalo anak nggak menguasai bahan di kelas ini, dia akan keteteran di kelas 4. Lalu kelas 5 mulai lagi dengan bahan baru, dimantapkan di kelas 6, lalu ujian SD.

Makanya aku mencanangkan belajar sore dan belajar pagi. Namanya juga anak kecil, yang penting buat dia ya bermain. Belajar itu kalo suara maminya udah kayak tukang jual anduk di pasar, yang kedengeran ke mana-mana. Aku pikir conditioningnya yang kurang, jadi dia nggak terbiasa melihat orang belajar. Tapi itu kan alasanku biar keliatan ilmiah dikit, tapi utamanya ya itu tadi, yang penting bermain.

Semester ini aku bener-bener kecolongan, karena nggak ngeh kalo 1 Desember udah UAS. Lalu pas mau UAS Mandarin aku repot dengan berbagai urusan. Lalu aku terlambat tahu kalau UAS nya ini diambilkan dari Dinas, jadi bukan sekolah yang mengeluarkan soal. Hari kedua aku langsung belikan buku-buku tambahan untuk matematika, ips dan ipa. Biasanya aku menyiapkan Jessie 2 minggu sebelum UAS, supaya bisa belajar sedikit-sedikit dan nggak bikin stres. Kali ini belajar sehari sebelumnya, dengan bahan yang seabreg...! Alhasil, jeblog deh UAS nya, padahal bobot nilai UAS itu besar sekali.

Jadinya aku menyiapkan mental Jessie supaya jangan gela kalo nggak masuk 5 besar, soalnya dia pede sekali bakalan masuk 3 besar. Dari pengamatanku banyak anak-anak lain yang lebih solid nilainya daripada dia.

Waktu ambil rapor.....ternyata Jessie di ranking 2! Wah, aku bersyukur banget dan kaget dan lega dan takjub. Dengan persiapan seadanya dan waktu belajar yang sempit, dia berhasil. Betul-betul nggak nyangka! Papinya yang lagi tugas di Jakarta juga kaget waktu terima sms Jessie. Soalnya kami pernah mendiskusikan keprihatinan akan nilai-nilai UAS nya. Thanks God.

Apaan Nih Ya?

Lucu deh, berhari-hari aku coba posting dengan cara copy paste artikel yang aku tulis dengan words. Teteup aja error, dan selalu problemnya ada di HTML.

Iseng-iseng aku coba nulis langsung di sini. Bisa tuh diterbitin. Pusing deh...

testing

Setahun Lalu

Pagi 7 Desember itu rinai-rinai hujan membasahi bumi. Dingin pagi yang mengigit tak cukup kuat membekukan kekhawatiranku. Kami sekeluarga merencanakan nyekar ke makamnya Mas Janni, bersama dengan istri dan anak-anaknya. Selain itu kami juga akan menanam pohon di makamnya.

Ketika waktu pelan beranjak ke pk 08.30, hujan tak menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Karena itu kami memutuskan tetap nyekar. Karena harus ambil pohon dulu di rumah salah satu kawan, dan berhubung Jl. Jambon sedang dilebarkan, kami menunggu di depan Kubota.

Akhirnya kami berangkat pk. 09.40. Si Mumun memimpin di depan, mengambil jalan menuju pabrik gula Madukismo. Setelah itu, mobilnya Mel yang pimpin jalan, karena aku nggak hafal jalan menuju Sempu V. Mungkin karena hujan, jalanan sepi banget. Nggak sampe 30 menit, kami sudah sampai di makam.

Temanku menanam pohon di kiri dan kanan makam. Mel bilang supaya suasana makam teduh. Kami sempat guyonan, “Paling-paling Mas Janni nengok dari surga, geleng-geleng lihat cara kita menanam pohon!” Setelah pohon tegak berdiri, kami semua berdoa. Tadinya Mel pengen Khun yang pimpin doa karena dia yang paling tua. Rupanya Khun terharu biru sampai nggak sanggup bicara, jadi aku yang pimpin doa.

Dalam doaku aku memohon supaya Tuhan Yesus membimbing kami semua yang pernah mengalami dan melihat keteladanan hidup Mas Janni, tetap menyatukan Mel dan anak-anak dan custodynya. Suasana sempat mellow dikit, karena tanpa terasa telah berlalu setahun sejak Mas Janni meninggalkan kami semua secara mendadak. Hidup setahun belakangan ini memang berat bagi kami, apalagi bagi Mel yang harus menghidupi kelima orang anaknya. Di masa-masa inilah kami sungguh merasakan pertolongan dan kasih Tuhan. Tanpa penyertaan-Nya, mana mungkin kami bertahan di badai kehidupan yang menerjang.

Badai itu sudah berlalu, tinggal meneruskan usaha kami sambil terus mengingat-ingat bagaimana teliti dan rapinya Mas Janni dalam bekerja.

Echooo...

Kayak ada aturan tidak tertulis di lingkungan gerejaku. Kalau udah lama nggak ada kematian, begitu ada satu kematian, lalu rantainya jadi panjang.

Dua hari lalu aku diajak seorang kawanku menghadiri kebaktian pelepasan jenazah, sebelum diberangkatkan ke G. Sempu. Upacaranya sesuai tata cara GKI, jadi aku tenang-tenang saja. Hari ini aku juga menghadiri kebaktian pemberangkatan jenazah. Aku hanya mengenal sepintas yang berduka, salah satu aktivis KUK. Yang seru upacaranya itu secara Khatolik. Rupanya, anaknya ini memeluk agama Khatolik, walaupun mamanya Kristen.

Langsung deh teringat semua misa yang rutin aku hadiri sejak TK – SMA. Caranya membalas nyanyian Romo, sesudah bacaan pertama, waktu komuni dan nyanyian-nyanyiannya. Ada juga yang aku kurang paham seperti pemberkatan jenazah, pemberkatan bunga dan tanah. Bagiku, semua itu tata cara untuk melapangkan jalan si jenazah aja.

Khotbahnya juga singkat dan sangat praktis berkaitan dengan bagaimana orang takut menghadapi kematian, tetapi Tuhan Yesus dapat memahami ketakutan ini hingga memberitahu murid-murid-Nya bahwa di rumah Bapa-Nya banyak tempat.

Aku nggak tau apakah setelah ini ada lagi yang mau ikut (hiii...), karena aturan tak tertulis itu biasanya kematian itu baru berhenti setelah tujuh kali. Lalu lamaaa….tak ada kematian, lalu mulai lagi.

Memang, lahir dan mati tak bisa dipilih harinya, tak bisa direncanakan datangnya dan tak bisa diduga kapan akan terjadi. Seperti kelahiran, kematian juga peristiwa ajaib. Karena itu bukan panjang pendeknya umur yang patut direnungkan saat kematian menjemput, tetapi seberapa dalam makna hidup yang telah dijalani.

Dari abu kembali kepada abu…, ada nggak ya bahasa Latinnya, kayaknya itu lebih nyesss…

jeJAMURan

Pertama kali tertarik dengan papan namanya pas pulang dari Magelang. Ketertarikan itu hanya sesaat, sampai ada seorang kawan promosi kalo resto itu enak dan unik.

Jadilah siang-siang di hari Minggu kemarin kami mencoba resto ini. Kalau dari arah Yogya, papannya nggak keliatan, karena di sebelah kanan jalan. Jadi waktu sampe di zona selamat warna merah, belon keliatan-keliatan juga papannya, aku u turn. Nah, kalo dari arah Magelang, keliatan papannya. Dari perempatan setelah zona selamat, belok kiri, nggak jauh koq. Di papannya tertulis 800m, padahal baru juga nyetir, tau-tau udah sampe.

Nggak disangka di sana banyak mobil betebaran. Kami jadi semangat, berarti nih resto lumayan karena didatangi banyak orang. Jadi, kami masuk ke sana dan duduk manis. Di menunya banyak sekali makanan yang serba jamur. Kami pesan sate jamur, tongseng pepes jamur, dan jamur goreng tepung. Pesennya satu porsi dulu, karena kan belon tau seleranya cocok nggak.

Selaen resto, ada juga pembibitan dan budi daya jamur. Jadi, sambil menunggu pesanan datang, mereka melihat-lihat ke sana. Aku sih duduk-duduk aja sambil baca Kompas Minggu. Untung bawa Koran, akrena ternyata pesanannya cukup lama. Mungkin karena rame, jadi kayaknya agak kewalahan tuh. Abis liat-liat pembibitan, mereka ambil keripik jamur tiram buat ganjel-ganjel, laper sih udah siang.

Akhirnya tuh pesenan dateng juga. Pelayannya memberitahu kalo sate jamur bakalan lama, langsung deh aku cancel, ganti sama pepes jamur, daripada tengah jalan pas nasi udah abis baru satenya datang? Begitu dicicip, kami langsung suka. Aku sih cocok sama rasanya, terutama pepesnya itu. Jessie doyan banget makan jamur goreng tepung. Biasanya cumi goreng tepung, siang ini jamur goreng tepung. Lahap makannya, seneng banget ngeliat dia makan dengan lahap. Tongsengnya juga enak.

Habis makan, ada es puter. Udah lama banget nggak makan es puter. Uniknya es puter ini dijual di cup kecil, sikaaat bleh.

Makan segitu banyaknya, billnya 52.500, sip nggak? Udah ngurangin makan daging, nyehatin badan, enak lagi di kantong. Bener-bener Minggu siang yang sip!