Pindah Lagi

Cuma dari omong-omong kecilku dengan Papa akhir Desember lalu,

"Kalo suruh pensiun di Jakarta, ngapain ya? Rasanya kalo cuman nganggur, maen golf, ngerawat taneman sama maen ama cucu sih keliatannya bakal membosankan."

"Terus maunya gimana, Pa?"

"Maunya sih masih kerja di rontgen itu, tapi lamaran ke RS di Purwakarta itu koq kayaknya tipis buat diterimanya. Kan udah lama banget?"

Sampai di sana percakapanku dengan Papa. Minggu pertama Februari kepala rs nya telepon ke Kediri, ngobrol, lalu minggu berikutnya pengen ketemu Papa. Nah, dari ketemuan 22 Feb itu, akhirnya Papa mau jadi dokter di rs itu.

Berarti aku pindah lagi, walaupun kali ini yang pindah itu mama papa, tapi kan barang-barangku masih banyak di Kediri. Alhasil tuh buku-buku dan album foto musti diangkut ke Yogya. Padahal mezanin rumah kami ini juga belon beres dijadiin library, karena begitu banyaknya buku dan begitu sedikitnya rak bukunya, ha...ha...ha...

Pusing juga mikir pindah lagi, terutama buat orangtuaku yang udah di usia lanjut. Tapi, emang ada bakatnya kali ya jadi keluarga nomaden. Kalo diitung-itung dari aku kecil, ada enam kali aku pindah kota, pindah lingkungan, pindah habitat. Sampe memoar-memoar juga ikut tercecer saking keseringan diangkut sana sini.

Mungkin kepindahan kali ini lebih baik bagi mamaku, karena lebih dekat jaraknya kalo dia mau kontrol jantung ke Kediri. Lagipula ada keponakan kecil di sana yang lagi lucu-lucunya.

Kebayang deh mindah-mindahin barang dan segala tetek bengeknya Maret ini.

The Last Samurai

Malam minggu kemarin kami habiskan dengan menonton film lama di tv. Kebetulan Jessie tidur agak sore karena besoknya mau kunjungan ke desa Jodhog, Bantul.

Bagiku film ini mengenaskan, karena orang bertarung dengan budayanya, hanya karena iming-iming disebut modern dan jagoan. Adalah Sang Kaisar yang kemasukan paham modernitas dan bertentangan dengan jiwanya. Dia tak bisa berbuat apa-apa ketika Katsumoto, Sang Samurai, diminta melepaskan pedangnya saat akan ikut rapat. Kaisar hanya duduk terdiam, padahal dia yang meminta Katsumoto ikut duduk di dalam dewan. Film ini diakhir dengan peperangan besar-besaran antara samurai melawan modernisme yang berbekalkan meriam dan senjata.

Aku nggak sampe abis nonton filmnya, kasihan dan ngeri. Kalo idealisme dan keluhuran ditandingkan dengan modernitas dan demoralisasi, hasilnya pasti kesedihan. Efek nontonnya masih terasa sampai saat ketika aku menuliskan hal ini. Mungkin karena waktu sma aku pernah juga membaca kisah shogun, walau tak setragis kisah samurai. Itu sebabnya aku rada-rada miris kalau mau baca hasil karya penulis Jepang, padahal penasaran juga sama novel yang baru-baru ini terbit karya Shusako Endo.

Kayaknya terlalu dalam deh suspensiku, padahal nggak perlu segitu-gitu amat. Itu kan cuma cerita...

In the Mood

Salah satu kawan gerejaku minta dipilihkan ayat-ayat untuk keluarga yang berduka, untuk orang-orang yang berbeban berat dan untuk orang sakit. Bingunglah aku waktu mendapat permintaan ini. Kan susah juga memilih ayat dari sekian ratus ayat yang cocok untuk keperluan itu.

Permintaan ini sudah lama, kira-kira 2 bulan lalu. Benernya kalo mau dikerjain, dua jam juga beres. Cuma, untuk hal-hal begini nih aku sangat tergantung pada mood. Bagiku, kalo lagi nggak mood, ayat-ayat yang kupilih nanti jadinya cuma ayat-ayat yang 'kosong', nggak mengalir dari dalam hati.

Siang tadi, dua kali aku dibangunkan telepon, ilang deh ngantukku. Karena Jessie bermain di rumah temannya dan misua sedang servis motor, rumah kan hening. Tau-tau dateng deh mood itu. Cepet-cepet aku duduk, berdoa dan mulai memilih-milih ayat. Ajaib banget, dalam satu jam semua ayat sudah lengkap. Langsung aku print dan kirim ke kawanku itu.

Sekali-sekali boleh kali nunggu mood, tapi kalo tiap kali tunggu mood, kayaknya hidupku bakalan amburadul deh.

Poho

Poho alias lupa kayaknya jadi penyakitku sekarang-sekarang ini. Penyakit ini mulai terlihat gejala-gejalanya waktu muncul orang-orang, tepatnya nama-nama, dari duniaku 30 tahun silam. Sebenernya lupa itu ada bagusnya, jadi ngirit pemakaian otak. Kalo andaikata dibandingin otakku sama otaknya ilmuwan, kali otakku terlihat lebih segar....soalnya jarang dipakai untuk mengingat, he...he...he...! Di samping itu lupa juga ada bagusnya, supaya segala sesuatu bisa dipandang baru. Aku nggak pengen memoriku kayak bank yang nyimpenin kesalahan orang laen.

Lupa ku ini jadi masalah kalo ketemu sama orang yang inget betul sama aku, tapi akunya lupa abis sama dia. Kayak kemaren malem. Aku sama Jessie lagi makan es krim di depan C4, sementara nungguin misuaku ke gramed. Tiba-tiba telpon bimbitku bunyi, maka kubeleklah telpon bimbit itu. Alamak! Dari temenku yang udah lebih dari 30 taon nggak ketemu. Dia dan aku ngobrol sana sini, tanya keadaan keluarga masing-masing. Aku udah lega aja nih, soalnya nggak muncul pertanyaan, "Kamu masih inget aku nggak." Terakhir sekali, udah lama tuh teleponannya, muncul deh pertanyaan yang kutakutkan. Lalu dengan mantap aku jawab, "Kamu kan yang dulu suka berenang sama aku itu?" Langsung deh temenku itu teriak-teriak, ngomel ngalor ngidul, "Orang aku nggak bisa berenang!!!!" Mati deh, sekali ini ketemu batunya, hiks...

Sepulang dari C4 juga dia masih sms aku dengan satu ancaman nyata, untung nggak perlu panggil gegana nih, "Awas lo ya lupa sama gua!" Dengan gemetaaarrrrr, kujawablah smsnya begini, "Maaf bu kalu aku lupa. Udah 30 tahun gitu lhoh!" Langsung deh aku matiin telpon bimbitku itu, hiiii....:)

2026

Waktu kami sedang bersiap-siap pergi ke sekolah, aku nanya gini ke Jessie,

"Jess, baby taffelnya mau disimpan untuk anak Jessie nanti apa mau dijual?"

"Mom, aku ini punya anak paling cepet taon 2026. Kalo nanti sih langsung perintahin aja,'Popok!', dateng deh popoknya. Terus aku bilang lagi, 'Buka, pakein!' langsung deh popoknya dipakein ke bayiku. Jadi nggak perlu baby taffel-baby taffelan lagi."

"Nah, yang kamu perintah-perintah itu sejenis robot Jess, kalo nggak salah istilahnya droit deh."

"Kalo begitu Mami juga enak dong. Bisa merintahin bikin kopi, nggak perlu ngaduk-ngaduk lagi, tuang-tuang air panas, kayak sekarang."

"Oh, kalo itu sih kerjaannya autochef. Jadi kita nyediain bahan-bahannya, nanti dia bikinin kita makanan ato minuman, sesuai pesanan."

"Emang udah ada yang kayak begituan?"

"Belumlah, kira-kira 2058 baru mulai kali."

"Kirain udah ada, jadi enak, kalo mau nyalain lampu udah tinggal pake suara aja, lampu bisa nyala. Terus, nanti lampunya nyala semua?"

"Pakein kode aja Jess, misalnya, 'Lampu teras!' jadi yang nyala cuman lampu teras aja.

"Ooo..."

Khayalan kami keputus gara-gara jam udah menunjukkan pk 06.25. Jadi kami keluar dari 2026, kembali ke....barkas!

Anak Kecil

Sepanjang aku terjun di pelayanan, jarang sekali, bahkan nggak pernah aku menaruh perhatian pada pelayanan anak kecil. Selain karakter pribadiku dan rupaku yang kata banyak orang galak abizz, pelayanan ini menurutku sangat krusial. Melayani mahasiswa jauh lebih gampang dibanding mengajar anak sekolah Minggu memahami Alkitab. Jiwa mereka masih halus dan sangat rentan dimasuki paham-paham yang menyimpang dari kebenaran Alkitab.

Minggu lalu saat mengantar order kaos, guru sekolah minggu curhat. Katanya di pos itu dia hanya sendirian mengajar, nggak ada yang bantu, padahal yang hadir lebih dari 20 anak. Aku masih inquiry terus ke guru ini tentang sekolah minggu itu. Biasalah, kalau biasa wawancarain orang, bawaannya kan kepengen tau yang sebener-benernya. Dari hasil ngobs itu memang kondisinya menyedihkan.

Entah kenapa, tiba-tiba aja aku bisa nyeletuk untuk mencoba hadir dulu di sana dan melihat kondisi yang ada. Pikirku, nekat juga nih. Pengalaman mengajar anak sama sekali nol, kecuali mengajar Jessie, yang kata misuaku kayak pangkostrad mengajar anak buahnya, ha...ha...ha...!

Akhirnya aku datang mempelajari situasi minggu lalu. Asli, itu dunia yang asing samsek. Aku hanya bisa senyam-senyum melihat kelakuan anak-anak yang beraneka, kayak gado-gado gitu deh. Ada yang nguap, ada yang memandang kosong entah ke mana saat diajak bernyanyi, ada yang ngobrol sendiri, dll. Kesanku sih aku musti kuat-kuatin tekad kalo memang dibutuhkan di sini untuk terjun. Ceritanya aku ngernet dulu, baru bisa jadi sopir.

Hari ini aku datang ke sana. Anaknya cuma 3, berempat sama Jessie. Guru lain belum ada yang datang. Langsung otakku nyari-nyari stok permainan yang masih aku hafal. Syukurlah tak lama kemudian datang guru sepasang suami istri. Lalu berjalanlah sekolah minggu hari ini. Kali ini aku banyak merenung sambil mendengarkan rekanku mengajar, betapa perlunya aku menundukkan diri pada kuasa Ilahi agar bisa mengantarkan anak-anak ini mengenal Tuhan Yesus. Betapa pentingnya juga aku memiliki hubungan yang intim dan mesra dengan Tuhanku, supaya anak-anak ini juga tahu gimana mengalami Tuhan di dalam kehidupannya. Banyaklah yang harus aku perbaiki di dalam spiritualitasku.

Bukannya anak-anak yang belajar dari aku, malah aku yang lebih dulu belajar dari ketulusan mereka, ketaatan mereka dan kesetiaan mereka. New adventure...

Izin Lagi?

Perasaan belum pernah deh hari-hari or bulan-bulan di awal tahun aku serepot ini. Dalam dua bulan ini aku sudah dua kali pelayanan ke luar kota. Aku sih seneng-seneng aja, namanya juga jalan-jalan, ha...ha...ha...

Pertama kali aku ke Magelang, karena ada pertemuan para ketua klasis dengan anak-anak bimbinganku. Mau nggak mau aku harus hadir, kalo nggak siapa yang akan memberi penjelasan? Data semua ada di tempatku secara aku seneng catat mencatat a.k.a. carik eh sekretaris.

Kedua kali aku ke Salatiga. Ini baru dilakukan besok, jadi kemarin aku menuliskan surat lagi ke gurunya Jessie. Begitu lihat Jessie bawa amplop putih panjang, gurunya langsung berujar, "Izin lagi Jess?" Senyam-senyum anakku menjawab, "Iya Pak, hari Kamis."

Memang sejarah anakku ikut rapat bersamaku cukup unik, dan di tempat aku melayani anak juga boleh hadir. Kalo ibu-ibu melayani dan dia punya buntut, buntutnya harus diperhitungkan. Itulah enaknya jadi ibu, he...he...he.... . Kali buat yang melayani sama ibu-ibu bisa senep juga kalau di tengah-tengah rapat sang anak minta ditemenin pup, haks! Dari usia 4 bulan Jessie udah ikut rapat. Aku udah nyiapin tuh semuanya. Perutnya nyaman, jadi gak bakal dia pup di pampersnya, waktu itu. Begitu diletakkan di atas meja, dia bermain-main dengan maenannya yang macem-macem bunyinya, sementara aku mencatat jalannya rapat. Setelah besar dia udah nggak mau disuruh bermain-main atau membaca-baca, tapi maunya bantuin mommynya!! Mulai dari nempelin foto para mahasiswa, nyeklekin file, ngingetin wajah kakak-kakaknya karena mommynya pelupa abis, sampai berbagai pekerjaan asisten kecil. Kadang-kadang sampe bantuin bendahara komisi ngaturin snack dan minum buat tamu-tamu rapat, ha...ha...ha...

Begitu masuk sekolah, izinlah dia nggak sekolah kalo aku rapat. Setiap tahun mesti dia izin beberapa hari. Akibatnya, dia harus mengejar ketinggalannya dengan belajar ekstra. Karena keseringan ikut rapat dia jadi cepat menangkap pembicaraan orang dewasa, moga-moga kau tak dewasa sebelum waktunya, Nak.

Syukurlah, tahun ini uan SD berlangsung pada saat aku harus melakukan psikotes selama 3 hari, jadi izinnya nggak kebanyakan. Aku juga jaga-jaga, kalo nggak terpaksa sekali, tak perlulah aku berangkat ke luar kota. Mendingan nggak tidur seharian nyiapin data buat ketuaku, daripada ke luar kota, ha...ha...ha...

To commit

Aku jadi tergelitik membaca salah satu posting di blognya temanku soal komitmen perkawinan. Keprihatinannya mencuat karena banyak terjadi perceraian di sana dan di sini.

Bagiku, menikah itu pilihan, bahkan pilihan yang bisa jadi masuk ke dunia penuh kebodohan. Orang yang jomblo nggak pernah dipusingkan dengan tetek bengek toleransi ora menyenangkan pasangan. Hidup mengalir seperti bebasnya udara. Sebaliknya orang yang menikah, selain direpotkan dengan berbagai macam persoalan, tapi juga merasakan nikmatnya surga dunia saat cinta itu terus bertumbuh dari hari ke hari. Apa pun pilihannya, masing-masing punya konsekuensinya.

Kalau memilih menikah, berarti masuk ke sebuah perjanjian, yang diharapkan bersifat kekal adanya: sampai maut memisahkan kita, till death separate us. Bagiku, di sinilah komitmen itu menunjukkan dirinya.

Komitmen itu berasal dari kata to commit, yang secara sederhana artinya menjalankan. Ya, menjalankan atau melaksanakan janji pernikahannya itu. Karena nggak ada keinginan yang 100% menjelma menjadi kenyataan, maka komitmen ini jadi krusial. Kayak aku yang sempet kaget setelah menikah ternyata pasanganku bukan 'orang pagi' tapi 'orang malam'. Padahal, aku sangat menyukai pagi bening dan hening. Begitu ketahuan perbedaan ini, aku dan dia sama-sama berusaha menyesuaikan diri. Banyakan aku gagalnya untuk menemaninya menjelajah malam. Abis, malam bagiku bagaikan selimut yang mengantarku tidur nyenyak. Kadang-kadang aku mengandalkan kopi untuk memelekkan mataku yang bandel ini. Pasanganku paling susah suruh bangun pagi, lha wong tidurnya malam. Makin malam, idenya makin mengalir.

Jadi, begitu deh. Aku dan dia mencoba menjadi pasangan yang tepat. Pernah nggak kesandung di dalam pernikahan? O, berkali-kali. Tapi, karena mengingat komitmen awal, pelanggaran dan kesalahan itu diteliti dan diselesaikan, lalu dilupakan dan dimasukkan ke kotak berkunci gembok ganda, yang kuncinya dibuang entah kemana. Isi peti itu tak bisa dikeluarkan lagi. Susah juga menjalankan kasih yang menutupi banyak segala dosa. Cuma, dari komitmen kayak gini aku melihat ada dinamika menarik gimana orang saling menyesuaikan diri hingga jadi pas satu sama laen. Dinamika itu berjalan terus setiap hari. Mungkin akan terlihat jelas waktu udah jadi aki ninen. So pastilah, nggak bisa instan jadi, ada proses yang perlu dilalui.

Betullah pernyataan yang mengatakan, "setelah menikah, jadilah orang yang tepat untuk pasangannya."

Kangen Masak

Senin kemarin saat berbelanja beras di Indogrosir, aku lewat di bagian daging. Enath kenapa aku langsung beli buntut sapi. Aneh juga koq tiba-tiba pengen masak.

Well, sejarah masak memasakku nggak punya record yang bagus. Kadang kepedesan, keasinan, tawar atau...gosong! Ha....ha....ha..., mungkin karena aku suka makan kue yang agak sedikit goong panggangannya. Bagiku, kue seperti itu wangi, apalagi kalo dimakan dengan menyeruput kopi, hmmmm! Aku mulai masak setiap hari waktu Jessie umur 4 bulan. Mau nggak mau aku harus mengatasi handicappedku dan menyediakan makanan yang bergizi buat dia. Makanan yang buat orang dewasa terasa menyinyikkan, kayak tim hati ayam, tim bayam, dll. Kemampuan yang segitu-gitunya harus ditingkatkan lagi waktu Jessie memasuki tahap susah makan, sekitar umur 10-11 bulan. Misua sampe ngebantuin nyatet makanan kesukaan Jessie, supaya dia tetap dapat asupan makanan padat.

Karena ketelatenan, Jessie jadi anak yang mudah suka pada segala macam makanan. Mana ada sih batita umur 2 taon yang suka sama sumsum sapi or sumsum kambing? Nah, itu si Jessie. Semakin dia besar, aku jadi lengah, karena makannya gampang. Jadilah kegiatan yang cukup menyita waktu seperti memasak mulai aku tinggalkan.

Rupanya Jessie kadang-kadang kangen sama masakan rumah. Jadi, ada masanya dia minta dibuatkan ketimun ditumis sama ati ampla, atau cumi hitam, atau jamur merang ditumis sama udang, atau kerang dan kepiting. Kalo pas senggang, sedapat mungkin aku menuruti permintaannya.

Senin kemarin itu keajaiban, karena kangen masak sop buntut. Udah ancang-ancang mau masak, aku lupa kalau harus mewawancara calon karyawan gereja. Jadilah ditunda sampai hari ini. Karena nanti mau janjian sama pendetaku, pagi-pagi aku udah mresto buntutnya. Pulang anterin Jessie langsung aku bikin ubo rampenya, wortel dan kentang kecil-kecil. Bawang putihnya cuman aku geprek aja, nggak ditumbuk halus. Daun bawang, seledri sama bawang putih aku tumis terus masukin deh ke sopnya. Sebentar kemudian, jadi deh.

Jadi, aku mulai mikir-mikir mau masak paling nggak dua minggu sekali ah, biar melatih ketrampilan dan mengasah seleraku juga.

Kepontal-pontal

Akhir-akhir ini banyak kesibukan yang harus aku lakukan. Satu hal yang nggak sempat aku perhatikan dengan serius adalah pelajarannya Jessie. Biasanya begitu selesai makan siang, aku langsung buka buku tugasnya untuk melihat dia ada peer nggak. Beberapa hari ini aku nggak sempet melakukannya.

Aku hanya tahu dia ada peer IPA, tapi nggak ngeh kalo disuruh bikin peta. Dari Minggu siang aku udah ngingetin supaya stop bermain game komputer dan mulai mengerjakan peer IPA dan Bahasa Jawanya. Tapi, ngeyelnya setengah mati, sampe aku nyerah dan berkata, "Ya udah, kalau nanti kesusahan, mami nggak tahu lho!" Akhirnya dia mengerjakan peer bahasa Jawanya dulu sambil berkata begini, "Mam, peer IPA nya susah. Sama mami ya ngerjainnya?" Aku ngangguk-ngangguk aja sambil terus membereskan kamar kerja, karena mau pasang scanner.

Ternyata dia disuruh bikin peta! Padahal ketahuannya baru jam 8 malem dan di rumah nggak ada persediaan kertas roti! Apa nggak kelimpungan? Papinya geleng-geleng ngeliat kejadian kayak gini. Jessie udah mau nangis aja, karena nggak bisa trace gambar petanya.

Akhirnya daripada berantem, aku bilang tidur aja besok bangun jam 4 pagi. Sepanjang malem aku mikirin gimana trace petanya. Jadilah aku mikir semaleman, sampai termimpi-mimpi. Tadinya sih mau aku biarin aja deh, biar Jessie kapok dapet nilai jelek karena nggak mau mempersiapkan peernya dengan baik. Tapi, pikir-pikir ada andilku juga dia begitu. Jadilah aku memasang bohlam, terus nge-trace petanya. Jam 4 aku bangunin supaya dia mewarnai petanya.

Bener-bener kepontal-pontal kalo begini. Jatoh-jatohnya aku juga yang musti nata ulang manajemen waktuku, supaya anakku kagak jadi korban kesibukan maminya...