Tak Sigap

Beberapa hari lalu aku merencanakan suntik vaksin Cervirax. Vaksin ini untuk pencegahan kanker leher rahim. Karena termasuk jenis yang baru dan muahhaaalnya luar biasa, tak semua lab atau ginekolog memilikinya.

Aku telpon ke sebuah lab yang cukup terkenal di Yogya. Penjawab teleponnya laki-laki, langsung perasaanku nggak enak dan pesimis, "Apa dia bisa jawab pertanyaan-pertanyaanku?" Lalu aku menanyaka tentang vaksin itu dan jenis papsmear yang harus aku ambil. Jawabannya, "Ibu tak perlu puasa, karena nanti darahnya dibekukan." Wah, aku kaget banget, orang mau HPV koq ada darah dibekukan segala. Sekali lagi aku menjelaskan ke si petugas itu soal papsmear yang dapat mendeteksi sel-sel ganas sebelum suntik vaksin. Lamaaa aku disuruh nunggu sementara dia tanya ke teman-temannya. Langsung deh aku putuskan hubungan teleponnya.

Di sini pentingnya front liner, di perusahaan atau instansi mana pun. Begitu front linernya payah, gawat deh akibatnya. Bisa salah informasi, salah komunikasi, salah macem-macem lagi. Jarang front liner yang sigap melayani customer. Mungkin pikirnya, "Ah, aku kan nggak harus menguasai semua informasi, kan ada bagiannya sendiri-sendiri." Sikap mental begini ini yang payah: nggak mau belajar, mengandalkan orang lain dan tidak mementingkan citra perusahaan.

Tapi, siapa sih sekarang yang mau susah-susah belajar menguasai pekerjaannya, yang penting kan dapet gaji, tenggo, dan tunjangan full!

Ikuuut...

Kalo anak pentas, orangtua ikut repot. Kayak-kayak begini selalu kualami kalau Jessie terpilih menjadi penari sanggar untuk tampil. Aku sih seneng-seneng aja, malah momen-momen seperti ini aku pakai untuk memperlambat irama hidupku yang wuusss....

Pentas kali ini adalah untuk meresmikan pembukaan cabang Sanggar Tari Natya Lakshita di Klaten, tempatnya di SD Kristen 3. Sepulang sekolah kami makan nasi Padang di Duta Minang, rebah-rebah sekitar 15 menit, mandi, lalu berangkat. Misua bilang pake aja si Konde, supaya perjalanan lebih nyaman, terutama buat Jessie. Jadilah aku bawa si Konde, biar nggak ngejen di jalan. Kasihan si Mumun kalo ke luar kota, bisa ngos-ngosan nanti.

Di sanggar baru 3 orang yang hadir. Begitu anak-anak dirias matanya oleh Pak Sugita, aku mendekat, memerhatikan apa saja yang dioleskan sampai rias matanya jadi. Sekalian belajar, siapa tau Jessie diminta menari sendiri kan aku udah mulai bisa ngerias matanya. Pak Gita (baca: Gito) ngajarin juga cara membentuk alis mata, ukur-ukurannya juga.

Yang seru waktu iring-iringan mobil berangkat. Begitu tahu teman-temannya berkumpul dalam satu bus, Jessie pun ikut mereka. Tinggallah aku sendiri. Aku diem-diem aja di pintu masuk sanggar. Sesudah pada mulai berangkat, ternyata yang ikut aku itu Mbak Cempluk dan Pak Hendrid serta seorang murid yang ambil les privat tari klasik untuk bekal mengajar di Sinagpura.

Kesel deh salah jalan, karena aku ambil jalan kota. Nggak bisa lancar. Lupa lagi kalo itu hari Sabtu, kan banyak orang pulang kerja lebih awal, atau pada ke pusat-pusat perbelanjaan. Jalan mulai agak lancar waktu keluar Yogya dekat Prambanan. Lagi cerita-cerita tentang pejabat lewat karena jalanan dikosongkan, tiba-tiba dari belakang terdengar sirene meraung-raung. Aku siap-siap minggir memberi jalan. Begitu yang lewat terbaca I-IV ijo, langsung aku ikuuuut....! Si Konde kan cukup besar untuk menjadi mobil rombongan. Gemeteran juga waktu aku nyalain lampu hazard dan ikut rombongan. Lampu merah lewaaat semua, begitu belok kanan mau masuk Klaten juga lancar. Mau belok kiri menuju lokasi, aku melepaskan diri dari rombongan.

Alhasil Yogya-Klaten, cepet bener. Kalo nggak, mana keburu mau mendampingi anak-anak dandan ganti pakaian? Ha...ha...ha..., gara-gara ikuuut..., lancar deh!

State of Mind

Siang-siang panas, hapeku bunyi, pertanda ada sms masuk. Ternyata dari Sr. Anna, PK di Kediri. Bunyi pesannya menggelitikku untuk menuliskan hal ini: Selamat memperingati Hari Bumi, 22 April. Green is not a color, it's a state of mind. Bagus nih pikirku, lalu muncul ide dan membalas sms beliau dengan Green is not a merely slogan, it's a way of life.

Beliau memang terkenal dengan gaya hidupnya yang hijau. Di Kediri, ada kelompok para miskin yang dibinanya untuk membuat tas belanja, tas peralatan mandi dan dompet uang receh dari bekas punch sabun mandi, obat pel, kopi, dll. Lalu hasil karya itu dijual.

Melalui perjumpaan-perjumpaanku dengan beliau, kesadaran untuk menyayangi bumi semakin dalam tertanam. Beberapa kali aku membuat posting tentang menghemat pemakaian kertas, memisahkan sampah kering dari sampah basah, dll. Di tengah-tengah ketak berdayaan melihat pak sampah mencampurkan sampah kering dengan sampah basah, aku mencoba usul ke Darwis (Dasa Wisma) untuk mengangkat topik tentang hal ini. Tapi, usulku kandas di tangan sang jubir. Selain itu aku usul juga ke ketua rapatku supaya notula rapat tak perlu diperbanyak, tapi dikirim via email, jadi nggak perlu buang-buang kertas. Toh, semua peserta rapat punya laptop dan internet bukan lagi barang mewah. Supaya notulanya nggak diubah-ubah, dibuatlah dengan file pdf. Ketua rapat yang sering aku hadiri setuju, cuma realisasinya masih harus dilihat.

Jadi, aku mulai dengan diri sendiri. Memisahkan sampah kering dari sampah basah, sudah biasa. Lalu, aku membantu kawanku mengumpulkan HVS putih yang baru terpakai satu sisi untuk dijadikan 'buku tulis' bagi sebuah sekolah di kawasan Adisucipto. Lalu, aku memisahkan kardus dan kertas warna dari kertas putih. Yang aku tahu pasti semua itu akan didaur ulang ya di tempat pengumpulan kertas anfal. Jangan dikira kalau rumah tangga nggak memproduksi kardus bekas, banyak sekali ternyata. Di rumahku sendiri, sebulan bisa 2 sampai 3 kg! Mengerikan!

Lalu ke mana-mana aku membawa sebuah tas kain kecil. Jadi, kalo aku beli sesuatu, tak perlu tas kresek. Bertepatan dengan itu, salah satu adik ipar mengirimi aku tas sehari-hari yang lumayan besar. Jadi, kalo barang kecil-kecil, aku langsung masukkan ke tas aja, gak perlu kresek. Pernah juga sih aku mengalami hal memalukan sehubungan dengan memasukkan belanjaan ke tas sendiri bukan tas kresek toko. Ceritanya aku beli kaset lagu daerah anak-anak di sebuah pusat kerajinan yang cukup terkenal di kota ini. Tau sendiri deh kota turis, siang itu toko juga kayak ublegan cendol, orang ramai dan berduyun-duyun beli cinderamata di sana. Selesai bayar di kasir, aku bilang ke kasir kalau kasetnya nggak usah dipakein tas kresek, langsung masuk tasku aja. Lalu aku langsung pulang. Begitu lewat di sensormatic depan pintu masuk, bunyi tuh alarm!!! Aku aja yang lewat di situ. Langsung aku digiring ke dekat kasir terus tasnya diperiksa. Ketemulah barang toko itu dan masih tertempel di sana nota pembayarannya, yang untungnya nggak aku buang. Penjaga toko dan satpamnya munduk-munduk minta maaf. Malunya itu rek..., astaga!!!! Mungkin itu yang bikin aku kadang-kadang males bawa tas sendiri...

Pemakaian obat nyamuk semprot udah aku ganti dengan obat nyamuk elektrik yang baunya mild sekali. Semprot-semprot yang masih aku gunakan dengan frekuensi yang mat jarang adalah parfum. Untuk fave ku Channel 05 yang oles, jadi gak perlu semprot-semprot terlalu sering.

Kayaknya, banyak deh yang masih bisa aku lakukan untuk menghijaukan bumiku. Bukan untuk apa-apa, tapi supaya generasi mendatang, yang anakku termasuk di dalamnya, bisa hidup dengan lebih baik.

Turun Harga

Nggak tau Jessie memang tinggi, apa celana panjang anak disusut panjangnya supaya harga terjangkau, atau ada perubahan ukuran badan anak, jadi polanya juga laen.

Pusing juga nyariin celana panjang buat Jessie. Masak tuh celana ukuran anak 11-12 taon ngatung kalo dipake ama dia. Kalo dicariin celana pre teen, kegedean banget. Tapi celana anak paling besar 11-12.

Kemaren malem ada tuh celana yang keliatannya panjang untuk anak umur 12. Saking girangnya aku saut aja, abis pusing nyari nggak ketemu-ketemu. Ada dua macem, aku minta Jessie cobain dua-duanya. Yang satu naek lima senti dari mata kakinya. Yang satu kepanjangan 3 senti, tapi nggak keliatan aneh. Langsung aku bikin bonnya. Begitu mau dibayar, buset....harganya 209.900! Langsung aku berunding sama Jessie, dan kami memutuskan cari lagi aja yang laen. Jadilah aku ngebatalin pembelian sama si mbak spg. Langsung pandangannya berubah...rupanya aku jadi turun harga nih di matanya.

Aku sih cuek-cuek aja. Bagiku nggak masalah orang memandang aku gimana, yang penting kan nggak besar pasak daripada tiang? Lagian, aku sih nggak mau beli baju yang mahal-mahal, wong setaon dua pasti kekecilan lagi, dan bajunya itu cuman pantes kalo dibuat gombal, hiks, gombal koq dua ratus rebu!

Bukan Tempatnya

Beberapa waktu lalu kami mendapat voucher potongan Rp 5.000 di Carefour Amplaz. Jadi, sore itu kami berangkat ke sana, sekalian liat-liat buku, sekalian jalan-jalan. Sampe di sana sih masih aman-aman, horor mulai waktu masuk ke jalur parkir.

Di depanku ada Katana. Setelah pemeriksaan satpam di gerbang masuk area parkir, mobil itu mesinnya mati, dua kali, terus melorot lagi. Aku kan nggak nyangka kalo orang itu belum bisa, jadi jaraknya hanya 50cm dari mobil yang aku setirin. Akhirnya satpamnya nahan di belakang supaya mobil itu nggak kena ke mobilku.

Begitu masuk jalan naik turun, beberapa kali katana itu melorot. Aku jadi deg-degan. Mana parkiran bawah penuh, jadi harus ikut naik di belakang katana itu. Aku bilangin petugas parkir supaya melarang mobil itu naik, kan bisa celaka semua yang di bawah kalo dia nggak bisa berhentikan melorotnya mobil. Tepatnya sih, aku yang khawatir kalo terkena tubrukan. Syukurlah, naik satu kali rupanya dia dapet tempat parkir, tapi atretnya masih ngguk-nggukan, begitu agak lowong, langsung deh si Mumun aku pacu supaya mendahului katana itu.

Hhh...lega rasanya bisa parkir, erus nggak terjadi sesuatu yang menyebalkan. Cuman aku dan misua jadi berpikir, kualitas les-les setir mobil yah kayak begitu. Boleh dibilang asal bisa masuk gigi satu, ganti ke gigi yang lebih tinggi atau sebaliknya, parkir paralel, dan berjalan di tempat macet. Lulus deh, apalagi kalo ada uangnya buat beli brevet udah pernah les setir mobil.

Lebih ketat di Singapura, yang amat ketat dalam mengeluarkan SIM. Udah dapet SIM, mobilnya masih diberi tanda. Tandanya berwarna-warna, ditempel di kaca depan dan kaca belakang dan berlangsung periodik. Jadi, kalau di jalan tol ada pengendara mobil dengan lingkaran hijau --whatever the color--, pengendara lain harus berhati-hati karena orang ini baru saja mendapat SIM. Nanti beberapa bulan kemudian, orang ini diuji lagi, lalu lingkarannya berubah warna. Terus begitu sampai di mobilnya nggak ada stiker yang berarti orang itu sudah bisa nyetir dengan aman. Paling nggak sih 3 kali ujian.

Coba, gimana kalo sistem kayak gitu diberlakukan di Indonesia.... paling kita cuman bisa nyanyi, "Itulah Indonesia..."

Penghayatan

Kalo dari asal katanya, hayat itu sama dengan hidup. Dulu aku masih mengenal buku dengan judul ilmu hayat, nggak laen nggak bukan sama dengan biologi sama dengan sains pada generasi Jessie sekarang. Kalau ditambah awalan peng dan akhiran an = penghayatan= berarti penghidupan. Menurutku bisa dikonotasikan dengan mencoba menghidupkan atau menjadikan hidup.

Hari-hari ini tanpa aku bisa kendalikan, banyak ingatanku yang tau-tau lagi membayangkan sengsara Tuhan Yesus menuju penyaliban. Mungkin karena tahun lalu tiba-tiba aku mengalami kematian seorang sahabat, lalu bayang-bayang kematian menjadi sesuatu yang akrab denganku. Tahun-tahun lalu, paling banter aku menghayati kematian-Nya hanya dengan mendengarkan khotbah Jumat Agung. Nggak seperti waktu kecil, saat aku menghayati iman Khatolik, upacara sudah dimulai sejak Kamis, dan aku harus pakai baju warna gelap untuk menandakan kedukaan. Waktu itu di Protestan kayak gitu-gitu nggak ditekankan.

Saat menghayati inilah aku melakukan pencarian ke dalam diri. Betapa banyak kekeliruan, salah dan dosa di dalam hidupku. Nggak usah yang berat-berat, soal melanggar lampu merah aja, sering banget aku melakukannya. Apalagi dosa yang lebih serius, yang hanya diketahui otakku dan nurani yang sengaja aku bungkam, agar tak ada rasa salah dan tak nyaman. Itu baru di tahap dosa. Belum lagi, ndablegnya aku kalo soal mengampuni. Padahal yang dilakukan Tuhan Yesus dengan kematian-Nya adalah menanggung dosa umat manusia agar manusia beroleh pengampunan. Seharusnya kan aku juga mau dan bisa mengampuni, tetapi nyatanya........ hanya Dia lah yang tahu.

Saat-saat penghayatan ini juga menimbulkan gelisah dan tanya dalam diriku. Masak sih aku mau tinggal dan berkubang dengan dosa-dosaku? Aku jelas nggak mau. Berhari-hari mikirin ini sampai aku tiba di ujung pencarian: memahami dengan benar dan mewujudkannya dalam hidup sehari-hari.

Keliatannya pendek, hanya satu kalimat, tapi mewujudkannya perlu usaha keras, nggak jera kalau suatu saat jatuh dan yang terpenting aku mau bertaut kepada-Nya, supaya aku senantiasa dikuatkan dan diteguhkan. Konkritnya: lebih giat ber-PA dan berdoa, hidup dengan penuh cinta kasih so aku jadi nggak marah-marah melulu sama anak semata wayang, bekerja dan melayani lebih sungguh-sungguh. Aku mau lihat ah resolusi Paskahku ini beberapa bulan ke depan. Aku juga terus mendoakan supaya bukan hanya kematian-Nya yang aku hayati tetapi juga merayakan kebangkitan-Nya, jadi aku selalu disertai-Nya karena Dia selalu berkata, "Jangan takut, hanya kuatkan dan teguhkanlah hatimu..."

Penggocohan Mental

Tadi pagi waktu membereskan tas sekolah Jessie, aku menemukan surat-suratan Jessie dengan beberapa temannya. Surat-suratannya sih nggak apa-apa, isinya yang bikin hatiku mencelos.

Jessie: A, kamu masih temen aku?
A: masih, tapi aku disuruh sama si B supaya cuek sama kamu sama C.

Hebat nggak? Rupanya pemalakan mental sudah dimulai. Aku sama misua cuma geleng-geleng. Yang kayak begini ini rentan buat Jessie, yang aku lihat-lihat cilik ati. Pantesan kalo dibawain bekal selalu menolak-nolak dan ludes tandas. Suatu kali aku pernah iseng-iseng nanya, "Jess, udah bawa bekal koq jajannya masih banyak aja?" Jawabannya juga bikin aku geleng-geleng, "Temen-temen pada minta, aku sendiri nggak kebagian. Katanya kalo aku nggak mau bagi, dia nggak mau temen aku." Oalah Nak, sampe segitunya... Anakku ini nggak bisa cuek bebek. Cara teman memandangnya, cara teman menjawab pertanyaannya atau cara teman bersikap ketika dia bicara akan sangat mempengaruhi mentalnya. Kalau udah gitu mulailah dia mengkeret, kayak orang bingung. Jaadi seperti digocoh mentalnya.

Dari dua kasus yang dialami anakku, aku jadi bisa meraba-raba kenapa defensenya kuat sekali kalau aku mau bicara dengan guru kelasnya. Gurunya mana tahu soal-soal begini, cara-cara persaingan tidak sehat dengan saling menggocoh mental. Gurunya cuman tau anak itu baik, pandai, dll...dll...! Aku sih sadar sesadar-sadarnya kalo ini kan baru dari data di tas Jessie, belon nyelidikin sampe ke rivalnya itu. Cuma yang lebih penting buat aku adalah memberitahu makna sahabat yang sebenarnya kepada Jessie. Kayaknya aku juga harus merhatiin her longing of friendshipnya, supaya dia jangan dimanfaatkan teman-temannya gara-gara keliatan banget kalo dia takut nggak punya temen. Heran juga aku, bapak ibunya soliter koq anaknya begini ya, mungkin ini gen resesifnya yang mencuat. Kayaknya musti belajar lagi deh tentang behavior.

Sisi positif yang Jessie dapatkan adalah bahwa di dunia ini banyak tipu muslihat, banyak serigala berbulu domba, dan banyak yang berteman karena ada pamrihnya. Jadi dia tau ganasnya dunia nanti melalui perilaku teman-temannya.

Perawatan

Buat perempuan di atas usia 35 tahun, perawatan tubuh jadi penting. Kalo rutin ke salon atau spa sih menyenangkan sekaligus naekin pede. Tapi, perawatan yang aku maksud ini buat organ-organ dalam.

Beberapa kali aku sudah melakukan papsmear, tapi perasaan nggak enak itu tetap menyertai kalo mau papsmear. Ujudnya sih biasanya aku agak-agak pening sedikit, terus bolak-balik ke kamar kecil, terus bingung pake rok apa celana panjang. Untungnya, kesadaran manfaat papsmear itu yang menguatkan tekadku untuk meneruskan perjalanan ke lab. Kemaren ini hampir aja lewat batas waktunya, 10-15 hari sesudah hari pertama siklus rutin. Jadi, feelingku masih lumayan tajam.

Proses pengambilan semen nya sih nggak lama, kurang dari 10 menit, cuman menuju pengambilan semen itu yang pali nggak mengenakkan, walaupun pengambilannya dilakukan oleh sesama perempuan. Terus ngedenger alatnya diputar naik, hmmm....yang penting tarik napas dalam-dalam deh.

Demi kesehatan, aku melakukannya deh. Kalo nggak inget kesehatan, minta ampyun deh. Yang belum aku lakukan adalah mammogram. Nah, itu perlu kesiapan yang lebih lagi, soalnya menurut penelitian mammogram itu jadi menyenangkan kalo kita puasa kopi kira2 dua minggu sebelum pemeriksaan. Mana tahaaan, paling enak bangun pagi sambil nyeruput coffee mix, lhah koq disuruh puasa ngopi. Bisa teklak-tekluk pas nyetir. Tapi aku akan menuju ke sana, cuman pelan-pelan ancang-ancangnya.