Makan Ikan

Mustahil deh kayaknya kalo aku masak setiap hari. Di samping repot, aku juga jadi nggak bisa ngapa-ngapain. Beberapa waktu lalu aku rutin beli makan siang dan malam di dua tempat yang menjual home cook. Walaupun Jessie dan bapaknya seringkali protes akan rasanya, aku tetap ke sana memilih menu yang kira-kira kami sukai. Tapi ada hari-hari yang memang nggak cocok menunya. Kalo udah gini, aku memilih masak sendiri.

Minggu lalu, Jumat juga, aku coba-coba goreng ikan tengiri. Bumbunya sederhana: asam garam. Begitu digoreng, wanginya merebak ke seluruh rumah dan Jessie ama bapaknya makan dengan lahap. Hari ini aku beli bawal putih. Bumbunya akau ganti dengan garam dan jeruk nipis. Rupanya, menggoreng ikan nggak seserem yang pernah aku lakukan sewaktu masih di Perwita Wisata. Waktu itu, tembokku sampe kena bercak-bercak minyak. Dasarnya juga aku males kalo pake api kecil dan harus nunggu agak lama. Di rumah sekarang, mau nggak mau harus pake api kecil. Kalo tuh minyak sampe muncrat kemana-mana, bisa berabe. Tutup dandang yang aku jadikan tameng.

Aku mencoba membiasakan Jessie menyenangi ikan. Biasanya kalo aku goreng ikan, aku tambahin rebusan sayur. Kebanyakan brokoli atau labu siam (jipang). Direbus biasa dengan sedikit garam. Jadi, dia makan ikan dan sayur. Soalnya pertumbuhan Jessie sedang pesat-pesatnya sekarang. Selain ayam, sapi, dll, menurutku ikan paling oke proteinnya. Kalau periode ini lewat, dan aku nggak bisa nangkep momennya, pertumbuhan tubuhnya akan biasa-biasa aja, padahal kegiatannya seabreg. Nggak apa-apa repot sedikit cuci-cuci sehabis menggoreng ikan, asalkan kebutuhan protein dan mineralnya tercukupi. Mungkin suatu kali aku bisa menemukan resep masak ikan yang nggak terlalu merepotkan tapi yummy?

Si Mumun Sakit

Sebenarnya sudah dari beberapa waktu lalu si Mumun dibawa ke 'dokter'nya. Kadang-kadang kedengeran seperti batuk-batuk. Kemarin ini malah minumnya banyak sekali, tapi masih tetap bisa berjalan walau kepayahan.

Sore kemarin mencapai puncaknya. Beberapa kali dia mogok jalan. Dipaksa pelan-pelan, akhirnya berhenti total di depan kantor pos besar. Mau tak mau si Mumun harus opname!

Sedih aku karena Mumunlah yang setia menemani aku bekerja, mengantar jemput anak, melayani, dan bersenang-senang. Waktu mulai terdengar batuk-batuk, harusnya aku berhenti sebentar dan check up. Namun karena kesibukan yang membutuhkan kehadirannya, check up itu tak pernah terlaksana. Beberapa hari ini temperaturnya agak tinggi, melebihi yang biasanya, walaupun tak pernah lupa aku memeriksa apakah Mumun cukup minum atau tidak.

Kemarin sore, saat aku dan Jessie berangkat ke kebaktian Sabtu, Mumun mulai rewel. Hidupnya bergantung pada pasokan gas ke mesin yang temperaturnya tinggi. Tak henti-henti ia berkipas supaya suhu tubuh agak sedikit turun. Kalau pasokan gas berkurang sedikit, langsung ia tak mau jalan. Beberapa kali itu terjadi: di dekat Samsat Jlagran, di lampu merah dekat stasiun Tugu, di putaran dekat Hotel Garuda, di depan Hotel Mutiara dan di perempatan Kantor Pos Besar. Akhirnya aku mengistirahatkan Mumun di parkiran Kantor Pos, sambil menunggu dokternya datang.

Istirahat yang banyak dan cepatlah sembuh. Tak berdaya aku tanpamu...

Anak Semata Wayang

Akhir-akhir ini aku bertemu dengan banyak keluarga yang anaknya cuma semata wayang alias sorangan wae. Ada yang anaknya laki-laki, ada juga yang perempuan seperti kami. Aku mendapat cerita bagaimana mereka tumbuh dan dibesarkan dengan pola-pola tertentu. Hasilnya tentu unik. Ada sebuah keluarga berkecukupan yang ketemu aku minggu lalu. Mereka sangat menyayangi anak satu-satunya ini dengan cara mencukupkan segalanya, melindunginya dari marabahaya dan mengarahkan hidup anaknya ini sedemikian rupa sehingga sang anak selalu berada di jalan yang aman.

Aku ngeri juga sebenarnya punya anak cuman satu, walaupun aku senantiasa mensyukurinya. Ngerinya, kami menjadi ortu yang over protektif sehingga anak kami ini nggak bisa mengembangkan dirinya secara maksimal. Pikiran kami kadang-kadang berbeda darinya, dan banyak kali kami deg-degan menuruti jalan pikirannya. Mungkin cerminan dari sikap kami yang over protektif itu adalah keluarnya banyak aturan yang harus dipatuhinya. Semua serba jangan, jangan ini, jangan itu. Atau semua serba seharusnya. Mungkin dia juga pusing kebanyakan aturan.

Aku bersyukur karena anak kami ini dikaruniai kecerdasan yang very very good. Selain faktor genetis, mungkin juga karena pola asuh kami yang senantiasa mengajaknya bercakap-cakap, kadang-kadang berunding bersama, atau bahkan berantem debat-debatan. Dia bisa diajak berdiskusi, nggak perlu nerangin hal yang rumit dengan bahasa anak-anak, bisa langsung mengerti dan merespon. Selain itu dia terbebas dari kecenderungan orangtua untuk membanding-bandingkan. Kami juga memacunya untuk membandingkan dirinya dengan dirinya sendiri. Kalau ini sih kebanyakan epps deh. Perbandingan yang bermakna itu kan kalau terjadi di dalam dirinya sendiri, bukan kalau dibandingkan dengan orang lain.

Gimana hasilnya? So far so nice. Aku mengurangi banyak larangan dan mencoba mengajaknya melihat dari sisi negatif atau positifnya. Khususnya aku, berusaha tidak menuntutnya terlalu tinggi dan banyak. Aku mencoba take it easy, biar dia enjoy sedikit dengan masa kanak-kanaknya. Kalo ulangan dapetnya 87, oke, nggak perlu selalu 100. Yang penting dia tahu sudah mengusahakan yang terbaik. Yang paling penting bagi kami, dia nggak jadi anak manja tetapi jadi orang yang mandiri.

Nggak ada sih sekolah buat orangtua dengan anak tunggal, hmm...

Last Minute

Seminggu terakhir ini, hidupku seolah dihitung dalam satuan detik, saking begitu banyaknya hal yang harus aku kerjakan dalam waktu yang singkat. Aku sangat bersyukur karena dalam kondisi demikian kondisi badan tidak terganggu, suasana hati selalu ceria dan tetap bersemangat.

Di awal bulan, aku memulai lagi tugasku setiap Juni dan Juli, mengunjungi mahasiswa teologi yang sedang praktik di jemaat-jemaat. Kalo dipikir-pikir, aku koq jadi mewarisi fungsi DPL nya mahasiswa KKN dulu di UGM. Kalo nggak salah ingat sih kami memanggilnya Pak Gatot, walaupun tak tahu nama lengkapnya. Dia kalau datang tiba-tiba di tempat KKN, anak yang sedang di luar lokasi pada waktu dia datang, langsung terkena kartu merah. Strick banget, tapi kalo nggak gitu ratusan mhsw yang KKN bisa hilang satu per satu. Kalau aku dkk modelnya memberitahu dulu kepada Majelis Jemaat yang ditempati mahasiswa praktik, sekaligus sowan karena sebelum ini hubungannya selalu lewat surat. Tahun ini jumlah mahasiswa KKN lumayan banyak, 19 orang. Syukurlah tim kami 10 orang, walaupun nggak semua bisa jadi visitor.

Minggu pertama Mei aku merampungkan penugasan sebagai editor buku sejarah GKI Ngupasan. Tugasku ini sangat mudah dibanding dengan penyusunnya. Kalau lagi cepet-cepet, ada aja hambatannya. Karena kompie sang penyusun kerap hang, lalu data yang dicari ternyata tidak ada, foto kurang lengkap, aku baru pegang naskahnya tanggal 6 Mei. Padahal 9 Mei libur dan 10-13 Mei aku ke Magelang. Wah.....mefet sekali waktunya. Jadi pas misua juga ada rapat di kantor sampai malam, ditemani secangkir kopi, aku begadang sampai Kamis dinihari. Draft kasar langsung aku print dan bawa ke Ketua Majelis supaya dibaca dan dibuatkan Kata Pengantar. Kamis aku bertemu dengan penyusunnya untuk memantapkan isi dan berembug soal cover. Jumat kemarin aku di percetakan dari pk 14.30-pk 20.00. Syukurlah selesai. Senin approval terakhir dari penyusun, lalu naik cetak deh...

Sabtu libur-libur seperti hari ini sih pengennya pijat, baca novel sambil nyeruput kopi, asyik kan kedengerannya. Mudah-mudahan kesampaian...