Kesempatan Terakhir

Aku senang sekali mendapat telpon dari sahabatku, Sr. Anna, PK. Ini sahabat by accident, karena aku mengantarkan buku pesanannya saat masih di Kediri. Lalu, suatu kali kami sekeluarga berlibur dan Jessie kami ajak mengunjungi Sr Anna di biara. Waktu itu Jessie masih kecil, umur 4 tahun. Kami mengajaknya supaya ada bandingan nyata dengan biara di fil Kakak Maria (maksudnya The Sound of Music).

Sejak itu persahabatan terus terjalin. Sr Anna juga menolongku menyampaikan bukuku ke tangan para remaja binaannya. Nggak nyangka aku kalau bahasa remaja di bukuku itu bisa diterima Sr dan bahka dibantu untuk menjualkannya. Wah, itu pertolongan besar buat penulis pemula. Kalau bukunya diserap pasar 1000 eks mendadak sontak, kebayang kan sukacitaku? Tapi bagiku bukan nilai komersialnya yang penting, tapi isi buku itu yang bisa memperkaya jiwa remaja, apalagi Sr Anna membantu menyampaikannya dengan cepat ke tangan yang tepat.

Kami masih bertemua dua atau tiga kali lagi, lalu setelah itu kami hanya kontak lewat email atau telepon. Lalu Juli ini Sr Anna akan meninggalkan Indonesia untuk menempati pelayanannya yang baru di Daughters of Charity di Irlandia.

Ketika kami bertemu kemarin, aku sempat bertanya tokoh wayang siapa yang dijadikan idolanya. Ternyata Parikesit, putranya Arjuna, karena Parikesit menjadi raja di usia yang terbilang sangat muda, 16 tahun. Hampir mirip dengan kondisi Sr saat menjabat Provinsial di usia 36,5 tahun. Saat pelantikan ditanggaplah wayang dengan lakon Parikesit menjadi raja. Wah, luar biasa pengalaman hidupnya. memimpin tarekat di usia sebelum 40 tahun adalah hal yang jarang terjadi.

Kemarin mencari oleh-oleh untuk sahabatnya di Irlandia. Senang juga karena kemarin aku berhasil mempertemukan Sr dengan sahabatku yang punya homestay di Jl. Kaliurang, jadi Sr bisa lihat tempatnya dan memperkirakan tempat itu untuk tempat berlibur para suster suatu saat kelak. Rupanya Sr senang karena tempat itu dekat dengan Seminari Kentungan.

Perjumpaan kami diakhiri dengan makan siang bersama di Warung Pak Parto. Di sinilah selama makan siang Sr Anna mengarahkan Jessie bagaimana harus mulai menunjukkan minat hidup sejak dini. Aku ngedengerin aja dialog mereka. Memang lain kalau pendidik yang berbicara.

Selamat jalan, Sr. Teruslah berkarya di ladang-Nya yang maha luas. Penyelenggaraan-Mu ya Bapa, menyelenggarakan segalanya.

Hasil Belajar

Tanggal 20 Juni tahun ajaran SD 2008/2009 berakhir sudah. Tahun ini prestasi belajar Jessie bagus sekali. Untuk anak seusia dia dengan karakter yang agak-agak sanguine, hasil yang dicapainya ini membuat aku bangga.

Ada beberapa hal yang membuat aku bangga kepadanya:
1. Semangat Jessie nggak pernah kendor. Kalau lihat gimana dia serius ngerjain peer yang 'cuma' prakarya, aku suka geleng-geleng. Dia selalu ingin menghasilkan yang terbaik. Selain itu semangat memperbaiki performancenya. Keliatan banget di olahraganya. Semester lalu olahraganya hanya 65, lalu dia belajar-belajar sendiri koprol dan kasti. Semester ini naik 7 poin. Lalu kalau ada peer pelajaran, dia langsung mengerjakan, terutama yang membutuhkan latihan.

2. Rupanya dia ingat pesanku supaya memerhatikan perkataan-perkataan gurunya. Maklum, anak segini biasanya suka cerita-cerita sendiri kalau di kelas. Pernah satu kali dia lupa kalau hari itu ulangan agama, dan hasilnya bagus. Aku aja sampe mengelus dada begitu diberitahu hari itu ulangan agama. Untung tahunya setelah pulang sekolah, kalau pagi hari sebelum berangkat sekolah, hmmm...pangkostrad bisa muncul sekalian mendadak apel pagi, hahaha...

3. Optimisme Jessie kuat sekali. Ada sih satu dua kali saat akan menempuh ulangan akhir dia menangis karena merasa tidak bisa menguasai pelajaran dan nilainya akan jelek. Kalau udah gitu, aku tau dia sudah sampai di puncak kecemasan. Aku memeluknya erat-erat dan menghiburnya supaya tenang. Setelah lega menumpahkan airmatanya, suddenly her brain become so brightly......, jadi kecemasan ada tuh hubungannya sama kecepatan menangkap materi pelajaran.

4. Selalu berharap yang baik. Nah kalau ini yang terasa menonjol tahun ini. Pengennya selalu mendapat yang baik.

Ada juga beberapa kelemahannya:
1. Angin-anginan. Kalau pelajarannya membosankan, susah sekali menggerakkan Jessie untuk belajar. Sampe harus mengupayakan cerita supaya bahan itu teringat dengan baik. Aku juga harus sedikit-sedikit menerapkan metode belajar ala Tony Buzan, yang ternyata sangat menolongnya mengingat.

2. Sering lupa belajar sore. Saking senengnya sama udara pagi, duplikasi abis maminya, dia jadi susah kalo suruh belajar sore hari. Kalaupun ingat, jawaban 'sudah mom' cepet sekali keluar, mungkin untuk mengakhiri rentetan nasihat kalau orang nggak mau belajar, hahaha...

3. Sering malas mengatur bukunya sebelum ke sekolah. Beberapa kali bukunya tertinggal, atau melupakan fotokopian dari gurunya. Pernah suatu sore ngotot nge-net, ditanya semua tentang pelajaran esok hari jawaban klasiknya selalu terucap: 'sudah." Besoknya baru tahu ada peer ini, ada peer itu. Aku tenang-tenang aja melihatnya kelimpungan cari sana sini. Benernya nggak tega, tapi kalau dibantu nanti anaknya nggak belajar-belajar bahwa persiapan itu penting.

Aku pribadi merasa lega melihat prestasi belajarnya. Aku menyembunyikan dalam-dalam keinginan untuk membanding-bandingkan Jessie dengan anak lain. Bagiku itu merusak pandangan baik tentang dirinya sendiri. Hasil belajarnya harus dilihat kembali pada kondisinya sendiri. Kayak aku gini agak susah di lingkungan sekolah yang bersaing ketat, tapi aku tetap bersikap begitu. Hasil akhirnya bukan saat tahu Jessie lebih atau Jessie kurang, tapi untuk masa depannya.

Belajar dari pengalaman dan teori, aku menerima saja hasil ulangannya. Aku nggak pernah nuntut dia selalu dapat 100, tapi aku selalu berpesan, "Hati-hati ya Jess kalau ngerjain ulangan." Itu aja anaknya akan selalu berujar seperti ini, "Mom, ulanganku dapet 82,5. Nggak apa-apa ya?" Gimana kalau aku nyecer supaya be the best? Bisa stres berat, kali. Yang penting aku selalu mendampinginya saat belajar, berusaha keras memperlihatkan keseriusanku dalam belajar (maksudku saat menyiapkan ceramah), supaya ada modelling. Anak kan memerhatikan bagaimana sikap ortunya. Kalo kata-kata ortunya sih biasanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Di atas semua itu aku bersyukur Tuhan mendukung dan menguatkan kami sekeluarga. Indah memang hasil yang dinikmati karena bersusah payah mendapatkannya. Praise the Lord Jesus.

Senandung Yogya

Kemaren malam waktunya Jessie hang out sama Papinya, sementara aku rapat di gereja. Pulang rapaty aku jemput mereka di McD Malioboro Mall. Karena waktu itu sudah pk 22.30,aku coba-coba aja menelusuri Malioboro untuk melihat apakah lesehan burung dara goreng langganan udah buka. Sekian tahun lalu kami berdua sering nongkrong malam-malam di depan toko Liman, karena burung dara gorengnya asyik punya. Ternyata udah buka, jadilah kami nongkrong. Ini kali pertamanya buat Jessie nge-lesehan. Dia menengok ke sana ke mari memerhatikan dinamikan di sekelilingnya. Buntut-buntutnya Jessie nggak jadi ngegado burung dara malah sibuk motretin makanan yang disajikan. Malam semakin larut, satu dua pelukis wajah menawarkan melukis wajah dan atau karikatur. Sementara itu ada sekelompok pengamen menyanyikan lagu-lagu Menado. Kalo ini sih pengamennya profesional, soalnya bisa suara dua dan tiga. Sayangnya, nggak disediain tempat buat naruh saweran.

Kemarin dulu kami bertiga juga nge-bajigur di Kadin. Udah lama banget nggak ke sana. Kayaknya di Yogya bajigur yang available tiap saat cuman di sana. Jadi sehabis makan malam, kami langsung nagbur ke Kadin. Sedap deh, bajigur pake es, tambah sedap lagi karena ada musik keroncongan lagu-lagu lama. Nggak berasa tau-tau udah pk 21.30.

Kemarennya lagi, ak sama Jessie siang-siang makan di Mirota Batik. Tadinya pengen makan sambil liat-liat jalan depan pasar Beringharjo. Sampe sana malah disuguhi piano klasik. Untuk aransemennya nggak ruwet, jadi tetap terasa nyaman walau siang bolong. Setelah menyantap makan siang, aku diam-diam mencandra semua bunyi di luar diriku. Ternyata samar-samar ada bunyi kayuhan becak, suara orang tawar menawar, suara sirene ambulance dan sura remaja bergerombol jalan-jalan. Belum lagi di kejauhan ada suara tekukur sahut-sahutan. Semua itu msih ditingkah dengan semilir angin segar. Siang panas jadi terasa syahdu, bikin mata mengantuk...

Itu yang bikin aku cinta Yogya. Di kala aku bosan dengan mal dan toko, ada tempat-tempat tertentu yang memadai untuk menyelaraskan jiwa. Kalau aku diam sedikit lebih lama, irama kota ini yang sarat seni akan muncul, juga irama pedesaan yang mencuat di tengah modernitas kota besar.

Jualan

Beberapa hari lalu datang teman yang sudah bertahun-tahun tak ketemu, sepuluh tahun aja sih lebih deh.

Temanku ini membawa dua orang temannya yang mau minta aku menjadi narasumber dalam acara mereka. Ngomong punya ngomong, sampailah ke pertanyaan, "Suami Bu Mariani masih menerbitkan buku?"

"Masih, Pak. "

"Buku jenis apa ya?"

"Buku yang cocok untuk pasar anak muda, manajemen dan permainan." (Aku langsung keluarin deh contoh buku-bukunya, soalnya lebih baik melihat contoh daripada keterangan bla bla bla).

Mulai deh misunderstending terjadi. Bapak yang satu memang benar-benar bapak yang baik, steady di dunia kebapakannya, nggak pernah ngintip dunia lainnya. Keningnya berkerut, lamaaa sekali. Aku udah tau pasti akan muncul pertanyaan, cuma pertanyaannya itu yang nggak aku sangka...

"Lho, ini anak kos jualan apa ya? Sebelumnya pernah jualan? Koq ini judulnya jualan lagi?"

"Jualan???" (sambil terus bertanya-tanya di dalam hati).

Lalu....AHA! Ini kan dunia yang bernuansa jawa, mestilah kata dodol diterjemahkannya sebagai jual, karena dalam bahasa Jawa, dodhol means jual!

"Oh, itu istilah anak sekarang Pak. Dodol itu artinya bloon-bloon gimanaaaa...gitu. Bukan jualan artinya."

"Wah, ketauan deh kalo saya ini jadul banget...! Jadi ini kisah-kisah tentang apa ya?"

"Tentang kehidupan di kost anak-anak mahasiswa itu, Pak."

Singkat cerita, mereka pun pulanglah dengan damai. Aku yang masih terkegut-kegut menemukan masih ada orang yang nggak ngeh artinya dodol. Memang, Yogya buka Jakarta sih. Nggak semua orang di Yogya harus paham dengan istilah-istilah anak muda, yang cepat menyebar layaknya api disiram bensin. Barangkali dunia memang berputar amat cepat, perubahan terjadi di mana-mana, pun di tatanan yang paling kecil dalam keluarga, yakni di dunia remaja. Barangkali juga Indonesia kelak menjadi Jakarta, artinya orang dengan dialek Jakarta yang lebih diajeni. Padahal, Indonesia bukan hanya Jakarta. Ada kekayaan dan keragaman budaya di tanah tercinta ini. Bukan sekali ini aja aku menemukan orang-orang yang murni terkungkung dalam budaya tanah Yogya, tapi bagiku itu bukan kesalahan atau kemunduran atau kejadulan, melainkan sebuah nuansa yang layak dijaga dan dipertahankan.

Apa jadinya kalau Indonesia menyiut jadi sebesar Jakarta saja???

Getting Old

Sabtu minggu lalu aku menghadiri kebaktian di gerejaku. Sebenernya aku pengen yang hari Minggu, suasana kebaktiannya lebih tenang, syahdu, waktuku juga lebih longgar dan lebih jenak mendengarkan khotbah. Namun karena aku harus mengajar di Sekolah Minggu setiap Minggu pagi, jadi aku harus cari alternatif kebaktian yang bukan hari Minggu.

Satu-satunya kesempatan hanya Sabtu sore. Kalau Minggu sore bawaannya udah capek melulu. Karena harus, ya aku yang menyesuaikan diri dengan suasana kebaktiannya. Modelnya seperti kebaktian anak muda deh, liturgi yang baku dimodifikasi semua. Setempo menyenangkan, apalagi kalau pilihan lagu-lagunya masih ada yang kukenal, walaupun berirama rancak.

Sabtu lalu aku sangat merasa tidak nyaman. Pranata acaranya pake baju kedodoran, lalu cara dia mikenya terlalu dekat dengan mulutnya, jadi kata-katanya nggak jelas. Udah gitu, bandnya keraaaas banget, sampe perkataan pranata acaranya nggak kedengeran. Tau-tau dia lari ke belakang dan muncul lagi pranata acara yang lain. Ini juga gawat, matanya kena tick, jadi kedap-kedip tak terkendali. Walaupun susah, aku masih berusaha menolerir, apalagi anakku senang dengan lagu-lagunya. Tapi, hatiku berontak waktu muncul tari-tarian sebelum khotbah. Pikirku, ini apa-apaan, apakah dengan tarian penghayatan terhadap lagu jadi lebih baik? Aku iseng aja mengitari ruangan dengan sudut mataku. Eee..., malah pada longak-longok mau melihat yang nari. Oalaah....

Aku jadi ngerasa tua banget kalo gini. Apa mungkin banyak pemahaman teologis yang bikin aku nggak bisa menerima hal-hal seperti itu ya? Kalo kemungkinan kedua sih kayaknya nggak deh, wong sekolah teologi aja nggak koq. Tapi lebih mendekati yang pertama....getting old!! Jadi, aku harus mawas diri supaya nggak jadul, masak kayak gini aja nggak bisa nerima? Jangan-jangan kalo Jessie beranjak besar, aku dan papinya semakin tertinggal di era jadul-jadulan.

Hai jiwaku, tetaplah muda sekalipun usia tak mungkin diputar menjadi muda kembali!