Gregetan

Kalau aku perhatikan akhir-akhir ini, banyak sekali komen atau opini soal kasus yang melanda negara tercinta. Sah-sah aja sih orang berkomentar, namanya juga negara merdeka, merdeka dalam berbicara dan merdeka dalam berpendapat.

Karena banyak pendapat yang beredar dari segala penjuru mata angin, mau tak mau kan ikut berpikir, merenungkan lalu menanggapi. Bahkan kalau bisa mengajukan usul pemecahan masalah, kayak yang di sana masih ijo aja soal problem solving. Terus terang, aku pun terpancing untuk punya opini walaupun terbatas untuk hatiku sendiri.

Buntut-buntutnya aku jadi bertanya-tanya, apakah ini euforia berpendapat, sampai lupa dengan tugas utamanya sehari-hari. Atau berpendapat untuk menutupi borok sendiri? Kan gampang tuh berujar ini dan itu, padahal dirinya juga melakukan hal yang sama, cuma dalam skala yang lebih kecil atau skala yang tak terlihat media massa bahkan tak diketahui tetangganya.

Kalo udah gini aku hanya khawatir pepatah gajah di pelupuk mata tak terlihat tetapi kuman di seberang laut nampak jelas semakin marak terjadi. Kiranya Tuhan Yang Mahakuasa memampukan aku untuk tidak terseret dan mengejawantahkan pepatah itu dengan senang hati di dalam hidupku.

Icip-icip Masakan Londo

Mungkin Yogya terlihat sebagai target pesir kuliner yang menjanjikan. Nggak heran, banyak resto muncul di sana dan di sini. Bahkan rumah-rumah kuno berubah wajah jadi resto or warung kopi. Tempat kost ku dulu di Sagan juga berubah menjadi seperti itu. Itu hanya salah satu contoh nyata.

Yang kami datangi beberapa hari lalu itu resto di belakang toko meat and grocery. Keliatannya boleh juga, jadilah kami mencobanya. Untung saja Jessie sudah makan sehabis renang, jadi kalau pun tak ada menu yang cocok buatnya, kami akan tenang, karena dia sudah makan.

Begitu disodori menu, yang aku lihat pertama itu harga teh hangat. Ternyata...9.500. Wah, ini kejutan. Jadilah kami mencoba menu-menu ringan, yang harganya terjangkau. Kalo udah begini nih, realistis aja. Daripada mesen menu yang keliatannya enak tapi nggak cocok sama selera lidah, bisa berbuntut-buntut penyesalannya. Akhirnya kami memilih steak sandwich, beef that salad dan soup cream mushroom.

Nah, di depan resto itu, hanya terpisah lemari pembatas, ada tokonya. Sambil nunggu pesenan dateng, aku liat-liat ke sana. Segudang nama asing menyerbu otakku. Dari sekian puluh item, paling yang aku kenal hanya yoghurt dan oatmeal. Nah ini asyiknya bertualang kuliner, jadi tahu ini dan itu. Cuma malam itu aku males bertanya, hanya menyerap aja nama-nama itu. Suatu kali kan bakal ketemu kalo baca majalah atau koran.

Tunggu punya tunggu, keluarlah snack stick keju, free of charge, dan lumayan enak. Agak padat sih, nggak kayak stick keju biasanya. Nggak lama keluar tuh teh hangat yang 9.500. Buset deh, cangkirnya gedhe banget, ditambah biskuit kelapa yang antik rasanya. Jadi, yang penting cara penyajian, maka harga akan mengikutinya, he...he...he...

Steak sandwich datang, waw....lumuran lemak dari striploinnya sungguh menggiurkan. Empuk lagi, jadi ayem yang makan. Yang antik itu beef saladnya. Dagingnya empuk dan rasanya enak. Cuman nih salad, mungkin karena dari Thai, jadi ada sounnya. Bawang merahnya juga lumayan banyak. Sampe sini sih aku masih bisa menikmati dan merasa enak. Suatu kali, tergigit sesuatu, begitu digigit rasanya aneh dan menguar semacam wangi daun atau biji-bijian. Aku sampe nyariin tadi ngegigit apa ya. Karena aku nggak gitu suka, makannya jadi berhati-hati. Beberapa kali masih terjadi, sampe Jessie pikir aku makan daun seledri. Padahal daun seledri kan keliatan dan udah dipinggirin semua. Aku menduga itu semacam biji kecil berwarna hitam, tapi gak tahu namanya.

Bersamaan dengan cream soup disajikan roti panjang dengan daun-daun yang ikut dipanggang. Tuh roti rasanya enak, hanya toppingnya itu yang antik, warnanya hijau kehitaman. Kalo nggak salah sih ada pastillo-pastillonya. Jessie kalo udah liat makanan yang agak-agak gelap begitu langsung nolak (untung rawon sama brongkos masih doyan, itu masakan andalan ibunya je).

Jadi, kesimpulan malam itu, musti berani nyoba. Suatu kali kalau berada di tempat yang asing samsek, nggak lari ke fried chicken mulu. Malam itu lidah dikorbanin sedikit, indra pengecap dibiarinin bertemu rasa yang aneh-aneh, untungnya lambung dan pencernaan nggak berontak.

Warung Kopi Purnama

Sabtu minggu lalu, pagi-pagi benar, aku dan Jessie tiba di Bandung. Perjalanan kali ini adalah untuk reuni, bersenang bersama teman-teman zaman SMA dulu. Begitu sampe Bandung masih malas geliatnya, laiknya orang yang baru bangun tidur. Tak lama kemudian Nani datang menjemput.

Kami langsung menuju hotel Cemerlang di Pasir Kaliki dan menunggu Susan di sana. Dia harus mengantar anaknya dulu baru ke hotel. Begitu datang langsung rame deh ngobs ke kiri dan ke kanan. Yang uniknya makan paginya agak jauh dari hotel. Buat orang Bandung, segitu sih deket meureun, tapi buat aku agak jauh, abis muter-muter jalannya.

Sampailah di Jl. Alketeri. Seingatku jalan ini sering dilewati bemo yang aku naekin kalau mau ke sekolah dari Pasir Luyu. Nah, yang ngagetin itu, di jalan ini ada sebuah toko model lama yang diberi nama Warung Kopi Purnama. Tokonya kecil dan biasa-biasa aja, tapi di sekitar toko itu bertaburan tukang bubur ayam, lotek, buah, dll. Ternyata warung ini sudah lama. Koq dulu nggak keliatan ya, apa dibukanya pagi-pagi aja spesial buat breakfast ya? Karena itu, nggak heran kalo yang duduk kongkow-kongkow di situ engkong-engkong. Mereka saling menyapa, baca koran sambil nunggu pesanannya datang dan tuker-tukeran liat cincin berbatu. Aku seneng dengan suasana ini, karena aku melihat warung kayak begini bisa menjadi penyemangat hidup buat orlansia. Kali aja di rumah udah nggak ada lagi yang nyiapin breakfast atau kopi atau teh tubruk, di sinilah mereka mendapatkannya plus ngobrol sesama orlansia.

Yang bikin aku dan Jessie seneng lagi, ternyata neunya serba roti. Aku pesen roti dadar telur, Jessie roti bakar mentega gula, Susan roti sekba, yang ternayat didemenin juga ama Jessie. Nani pesen otak-otak. Kita kira sedikit tuh otak-otak, begitu dateng, sepiring penuh, ha3. Puas deh makannya.

Kadang kota lama menyimpan sesuatu yang oldiest dan ngangenin.

Pulang sarapan kami beli ambokue, di kelenteng depan rumahnya Yulius, hmm...yummy deh pokoknya, bungkus Mang, bawa pulang ke hotel. Nggak lama kami duduk-duduk di kamar, datanglah Irma. Dia dateng buat nganterin aku sama Jessie ke Ganesha, soalnya Nani dan Susan harus gladi resik buat acara reunian besok.

Petualangan pun dimulai dari Paskal ke Ganesha karena Irma lupa-lupa inget jalan ke sana. Di tengah jalan Mama telpon katanya dia sama Papa udah di Riau, abis dari FO. Jadi kita ketemuan di depan gedung ITB nya persis. Naek deh Jessie, nyemplak ke kuda putih. Senang sekali dia, sampe nggak berasa udah 3 puteran, abis itu masuk hotel lagi. Nah, Irma cabut dari sini.

Papinya Jessie udah dateng dari Jakarta, lalu kita ke Ma' Uneh. Tuh resto emang terkenal enak, kata Nani, cuman yang nggak sanggup jalannya! Kecil meliuk-liuk, kesian juga Mama, tapi namanya juga nyoba, ya dijalanin aja pelan-pelan. Yang bikin seneng udang windu gorengnya, puas ngegigit dagingnya yang tebal. Papa sih makan semur jengkol. Kalo aku nurutin anjurannya Nani, makan ulukutek leunca, tipikal masakan Sunda. Lalapannya juga khas Sunda, macem-macem nama daunnya, nggak kayak lalapan Yogya yang isinya cuman 3 macem: kol, ketimun dan daun kemangi, he4.

Puaslah kami berjalan-jalan di Bandung. Aku senang karen Jessie kesampean mau naek kuda di Ganesha, tempat ade-adeku kuliah dulu.

Termakan Iklan

Suatu kali di surat kabar keluarga kami muncul artikel kuliner tentang gule balung a.k.a. lelung. Seperti biasa, aku langsung tertarik karena kambing itu makanan wajib kalo tekanan darah drop. Nggak ada yang secepat itu membuat mataku kembali terang, kepala nggak pusing dan hati jadi nyaman.

Cuma, tempatnya jauh sekali. Aku yang tadinya menggebu-gebu jadi melorot, karena lelung ini adanya di daerah Bantul. Iu daerah yang cukup asing bagiku. Jadilah lelung hanya tinggal angan-angan. Tapi, kali bawah sadarku masih tetep kepengen. Jadi, waktu aku mengganti tali kipas di bengkel langgananku, aku cerita soal lelung ini. Nah, Pak Geng, sang pemilik bengkel itu paham luar dalam soal Bantul, terlebih lagi soal makanan yang khas Yogya dan tempatnya nylempat-nylempit, Selesai aku cerita, beberapa hari kemudian kami mendatangi tempat itu.

Sialnya, aku tak membawa serta artikel di koran itu. Hanya berdasarkan ingatan bahwa lelung itu adanya di daerah Palbapang atau Srandakan. Perjalanan ke Bantulnya sih lancar-lancar aja, begitu sampe di alun-alun kota kami mulai bingung. Ke arah mana ya tepatnya gule itu. Masuk sampe jauuu...h mendekati tempat batik Bantul, lalu kembali lagi. Akhirnya keliatan di pinggir jalan itu papan namanya yang kecil, Lelung Jodog.

Karena nyarinya udah kelamaan, minatku mulai hilang. Apalagi udara bukan main panasnya. Saat mencari aku malah membayangkan enaknya kalo aku di rumah aja duduk di teras sambil baca, ha..ha...ha...kurang sopan, sudah nyeret-nyeret orang tua nemenin nyari lelung malah kehilangan minat.

Warungnya sederhana, ubinnya pun hanya semen biasa. Warung ini mengingatkanku pada warung-warung di pedesaan sekitar Prembun, tempatku KKN. Tentu dengan segala atribut keramahan khas pedesaan.

Begitu pesanan datang, wuuuih banyaknya!! Nah, trouble muncul waktu aku menikmati lelung itu. Alotnya pol! Akhirnya aku hanya makan satu potong, sisanya aku bungkus deh. Pak Geng senyam-senyum liat orang kota termakan iklan.

Tapi, kekesalanku sirna begitu lihat Jessie makan lelung ini dengan semangat 45, sambil tak henti-hentinya bertanya, "Mom, beli di mana nih gulenya? Koq enak? Hmm...enak...enak nih. Nambah aah...!" Yei, emaknya kepayahan ngabisin satu potong, malah anaknya lahap.

Ya syukurlah, tak sia-sia ke Jodog, asalkan Jessie seneng.

Bau Donggala

Suatu kali kami bertiga kelelahan karena berbagai aktivitas. Kalo udah begini, paling enak direfleksi. Cuma, karena belum makan malam, jadi kepikiran makan di bakso Pringgading lalu refleksi di Kakiku di ujung jalan. Sementara Jessie dan papinya makan, aku jalan kaki mendaftar ke tempat refleksi itu.

Lokasi jalannya memang berada di salah satu Pecinan Yogyakarta. Begitu aku jalan, sudah tercium bau hio, semacam dupa untuk sembahyangan orang Tionghoa. Baunya yang khas membuat ingatanku melayang ke rumah mertuaku yang juga pake hio-hio kayak begitu. Lalu di kiri dan kanan jalan ada orang duduk-duduk ngobrol di depan pintu toko yang dicet hijau terang seperti rumah-rumah Tionghoa zadul. Suara orang ngobrol bagaikan musik merdu yang mengiringi perjalananku malam itu.

Tiba-tiba terdengar gelas pecah dan suara ibu-ibu ngomelin anaknya. Tapi masih kalah sama instrumen Mandarin dari rumah di seberangnya. Jadi aku berjalan sambil mencandra pernak-pernik percik kehidupan di Pecinan. Suara-suara itu silih berganti, jadi jalan sunyi senyap itu seolah ditingkah aneka suara dari dalam rumah...

Di jalan itu ada semacam tanh berpasir yang tak berpenghuni. Maksudku, di situ nggak ada tenda jualan makanan atau rumah. Hanya seng yang menutupi sebidang tanah. Penerangannya pun remang-remang. Di situlah aku mencium harum rokok lintingan khas pedesaan di Jawa Tengah, semasa aku KKN dulu.

Kalo nggak jalan kaki gini, semua cita rasa udara tak akan tercium. Ingatanku langsung menuju Donggala, tempat mertuaku. Di sana juga situasinya persis seperti ini. Mungkin karena jarang ada kegiatan malam hari. Jadi sesudah tutup toko, mandi, lalu mulailah acara kongkow-kongkow sampe malam di depan toko. Kadang anak-anak berlari-lari di jalan yang belum teraspal sempurna. Kalau bulan terang benderang, anak-anak bernyanyi-nyanyi di jalan sementara orang dewasa bercengkerama sambil menumpangkan satu kaki di atas kaki lainnya, atau sambil bisik-bisik.

Paling nggak malam itu aku menyicipi suasana Donggal yang telah lama tak kulihat...