Kehilangan

Sabtu petang kemarin aku mendapat telpon dari temannya Mama. Ini gak biasanya, karena tentu lah ada berita penting sehingga beliau menelpon anak temannya. Kabar yang dibawa pun membuatku terkejut.

Pak Mubijanto, yang akrab kami panggil dengan Pak Bi, meninggal dunia. Begitu mendadak, sampai kami semua kaget. Meninggalnya pun mengenaskan. Beliau ditemui seorang penduduk tergeletak dengan kepala terluka di pinggir jalan di Jombang. Penduduk ini melapor ke polisi, lalu polisi membawanya ke RS Bhayangkara Kediri. Dalam perjalanan ke rumkit itu beliau meninggal. Begitu sampai di Bhayangkara, anaknya yang menjadi perawat di sana, lalu mengenali bahwa korban tabrak lari itu adalah bapaknya sendiri. Rupanya Pak Bi sedang in reiyen motor barunya. Mungkin subuh-subuh setelah sholat, beliau pergi ke Papar. Tabrak lari itu pun terjadilah. Pagi ini aku di sms keluarganya yang mengabarkan kepulangan Pak Bi. Aku sempat bingung karena mereka menyebut nama yang meninggal itu Pak Mubijanto. Aku pikir ayahnya salah satu temanku kuliah. Setelah beberapa saat, barulah aku ingat nama lengkapnya Pak Bi...

Pak Bi ini sopir panggilan di Kediri yang banyak digemari oleh ibu-ibu dokter, karena gaya menyetir yang tidak grusa-grusu dan steady. Waktu Jessie umur 4 bulan, Pak Bi yang menjemput kami bertiga ke Yogya. Ini perjalanan jauh Jessie yang pertama. Dengan gaya setirannya, Jessie gak mabok samsek. Setelah itu, setiap kali kami ingin ke Kediri, Pak Bi yang jemput. Juga saat kami sudah bisa naik kereta Sancaka dan turun di Madiun, Pak Bi yang jemput kami. Ada satu lagi kehebatan Pak Bi, beliau bisa membawa mobil Papa dengan nyaman di jalan Kediri - Batu. Jalanan itu terkenal berkelok-kelok dan biasanya sulit memainkan gas dan kopling yang tidak membuat penumpangnya muntah. Nah, Pak Bi itu jagonya. Jessie aja gak muntah malah tidur dengan nyaman sampai ke Kediri.

Waktu Papa membelikan si Mumun, Pak Bi juga yang mengantar si Mumun dari Jakarta sampai ke Yogya dengan selamat. Waktu itu Pak Bi mengajari aku supaya kalau parkir si Mumun di garasi gak usah masuk gigi satu, karena beliau tahu aku baru lepas dari mobil matic. Sayang, waktu itu peringatannya aku langgar karena aku yakin pasti akan selalu memasukkan gigi netral sebelum manasin mobil. Sampailah suatu ketika aku lupa, dan...jedur! Si Mumun nyium tembok kamar pembantu sampai hidungnya yang pesek itu mblesek sek...

Perjumpaan terakhir kami terjadi dua tahun silam, saat Papa pindah dari Kediri ke Purwakarta. Waktu itu aku bawa si Mumun ke Kediri. Pulangnya Pak Bi yang stir. Kirain gak bakal ketemu lagi, eee...tahu-tahu Pak Bi datang mengantar Papa dari Kediri ke Purwakarta dan singgah di Yogya. Beberapa kali kami sempat terpikir meminta pertolongannya mengantar kami Yogya- Purwakarta, tapi niat kami tak pernah kesampaian karena selalu bertemu Pa dan Ma di Jakarta.

Selamat jalan Pak Bi, kebaikanmu tak akan kami lupakan....

Thanks to Tech

Akhir-akhir ini internet di tempatku luar biasa lemot. Jarang-jarang aku bisa download dengan tenang. Bisa tiba-tiba down, lau semua yang aku download berhenti di tengah jalan. Akibatnya aku harus mengulang lagi dari awal.

Kalo soal download masih bisa lah ditunda, tapi kalau email penting atau pertemuan penting, rasanya kondisi internet kayak gitu akan bikin frustrasi.

Satu hal yang akusyukuri adalah aku dibekali dengan handheld yang canggih. Halangan begitu hampir bisa diatasi semua. Yang pertama kali membuatku bersyukur adalah waktu aku harus meneliti hasil pemeriksaa psikologis saat itu juga, padahal internet down. Dengan handheld ini, tugasku itu terlaksana dengan baik.

Begitu juga waktu di kampus, kami diminta mencari seuah istilah penting, dengan adanya handheld ini tugas itu tak perlu tertunda-tunda.

Ajaibnya lagi, waktu aku berinisiatif mencarikan tempat syawalan angkatanku. Kan hanya aku yang ada di lokasi saat itu, jadi dengan handheld ini aku cepret sana cepret sini, alngsung kirim ke grup. Saat itu juga kami sepakat menyewa atau tidak tempat yang aku kunjungi. Tanpa handheld seperti ini agak mustahil melakukan banyak pekerjaan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.

Itu soal perangkat keras. Dalam hal software, aku banyak tertolong dengan yahoo messenger. Dengan meletusnya Merapi, komunikasi menjadi sulit. Komunikasi tatap muka, maksudku. Tugasku kemarin itu menghubungkan berbagai macam orang di Jakarta, Semarang, Salatiga dan Yogya. Tanpa bantuan ym, sulit semua itu terlaksana.

Zaman teknologi begini, kemungkinan tatap muka di dunia nyata bisa dikurangi dengan amat banyak, walaupun itu juga diperlukan. Tapi dalam keadaan darurat, bantuan teknologi sangat terasa signifikansinya.

Kisah Sebuah Lampion

Ketika aku lewat di daerah sekitar Giwangan, banyak lapak menjual lampion tradisional. Lampion itu bermacam-macam bentuknya. Rangkanya terbuat dari bilah-bilah bambu. Tangkainya terbuat dari batang bambu yang ujungnya dibuat berlubang untuk tempat lilin.

Jessie senang sekali aku belikan lampion itu. Aku memilih bentuk bintang, karena itu yang paling netral. Yang lain berbentuk bulan sabit, mesjid, kubah mesjid dan bentuk-bentuk keagamaan lainnya. Memang sejatinya lampion itu dipakai dalam arak-arakan malam takbiran. Hanya, aku suka bentuknya dan dengan membeli ini, aku mulai mengajarkan anakku menghargai keberbedaan.

Lampion itu masih ada sampai sekarang, dua tahun setelah aku membelikannya. Setiap dia lihat lampion itu, dia akan teringat jalan-jalan malam sekeliling Jl. K. H. Ahmad Dahlan melihat orang berbaris mengumandangkan kebesaran Sang Pencipta.

Harapanku sih anak kami ini tak akan gamang hidup di dunia yang penuh warna.

Yogya at Night

Udah lama pengen ngajak Jessie ke alun-alun selatan, baru kesampaian tadi malam. Dari rumah kami menuju Malioboro, sampai di Km 0, ternyata banyak orang berdagang helm, kalau siang hari hal ini sih kayaknya gak ada, secara jarang banget lewat di sini.

Abis itu, masuk ke alun-alun utara tapi sepi, jadi aku belok kanan, mengikuti jalan itu sampai notok di Rotowijayan, melwati Gadri Resto, kami belok kanan, lalu belok kiri. Di sini dulu lokasinya Pasar Burung Ngasem. Karena pasar ini sudah direlokasi, dan lagipula malam hari, daerah ini menjadi sepi. Masih belok kiri, lalu belok kiri lagi di jalan Ngadisuryan. Naah... itu dia alun-alun selatan.

Walau bukan malam Minggu, tapi orang seliweran di sana. Di tengah lapangan ada lomba Masangin, berjalan dengan mata tertutup di antara dua pohon beringin. Penutup matanya bisa disewa dengan harga Rp 3000. Kami liat ada yang mencoba. Titik berangkatnya udah bener, dari tengah di antara kedua pohon beringin itu. Lama-lama dia makin ke kiri dan ke kiri. Pantesan jarang yang berhasil nembus.

Di tengah lapangan juga banyak orang bermain parasut warna-warni berkerlap-kerlip. Rasanya kayak di Yogya zaman duluuuu sekali. Lalu kami naik kereta kelinci. Sekali putar Rp 5000/orang, seru banget, ngelilingin alun-alun. Ternyata banyak yang buka lesehan, ada ronde, gudeg, pisang goreng, dll.nya. Selesai naik kereta kelinci, misua dan Jessie naik sepeda tandem, Rp 10000 untuk 4 kali putar alun-alun.

Aku sih ogah deh naek tandem, orang naek sepeda biasa aja oglak-oglek, apalagi tandem. kan susah nge-remnya karena rem nya harus berbarengan. Yang menambah kegembiraan Jessie karena semua sepeda tandemnya diberi lampu warna-warni, meriah sekali. Sebenernya Jessie masih pengen naek sepeda yang dikayuh berdampingan, seperti kalau naik bebek air, tapi udah pk 21.27, jadi kapan-kapan ke sini lagi.

Satu hal yang membuat kagum adalah karcis parkirnya resmi dikeluarkan Keraton Ngayogyakarta dengan harga Rp 3000, padahal tadinya udah pasrah bakal dipalak Rp 5000, ha...ha...ha...
It is a lovely night at Alun-alun Selatan.

Sate Klathak

Pertama kali aku diperkenalkan dengan sate jenis ini oleh temannya temanku, lebaran tahun lalu. Waktu itu kami pergi siang-siang dan perjalanan terasa amat jauh. Karena yakin akan mappingku, aku tak bertanya-tanya ke arah mana, yang aku ingat adalah ringroad parangtritis belok kiri lalu perempatan belok kanan. Perjalanan pertama ke sana akhirnya pake nyasar-nyasar.

Setelah itu aku menghafalkan landmarknya. Kalau dari arah kota Yogya, ambil rute menuju Parangtritis, yaitu Jl. Parangtritis. Begitu sampai di perempatan ringroad, belok kiri ke arah Imogiri. Perempatan lagi, belok kanan. Nah, ini jalan desa, agak jauh baru ada perempatan lagi. Papan petunjuk nya: ke kanan itu ke Rumah Budaya Tembi, ke kiri itu ke Pleret. Ambil jalan menuju Pleret. Di kiri kanan itu sawah, jalan terus sampai di kanan jalan ada gedung olahraga. Maju lagi, kira-kira 100 meteran, di kiri jalan itulah sate klathak Pak Pong.

Istimewanya, warung sate ini menghadap sawah hijau nan luas membentang. Jadi serasa berada di manaaa gitu. Lalu, karena nir suara televisi atau tape, terdengarlah suara sepeda dikayuh di kejauhan, saat seorang bapak melintas di teritisan sawah dengan sepedanya. Nuansa itu yang membuat kami sekeluarga sering menghabiskan minggu siang di sini.

Sate klathak itu tusuk satenya adalah jeruji sepeda, disajikan apa adanya.
Konon bumbunya hanya bawang merah dan garam, jadi rasa satenya ini gurih dan polosan, soalnya tak ada bumbu lainnya dan warnanya gak coklat bakaran. Mungkin karena tusuk satenya itu jeruji sepeda, jadi panas yang masuk ke dagingnya merata. Dagingnya jadi empuk dan sekian persen prengus kambingnya juga hilang. Kalau pesan harus dikatakan bahwa maunya sate klathak. Soalnya, kalau bilang sate kambing aja, ya dibuatkan sate biasa dengan tusuk sate bambu itu. Kami pernah kecele suatu siang waktu bilang sate kambing, yang datang bukan sate klathak. Terpaksa disantap, tapi dagingnya tak seenak kalau diklathak. Seporsi sate klathak itu Rp 10.000.

Ciri khas lainnya itu teh hangatnya. Mantap, karena disajikan bersama dengan poci teh kaleng zadul, yang loreng-loreng hijau itu. Biasanya nasgitel, disajikan bersama dengan gula batu.

Lalu, kemarin malam, kami berdua mencoba sate klathak malam hari. Dari Pak Pong maju lagi, ada perempatan belok kanan. Persis di gang sebelah pasar ada papan petunjuk kecil: Sate klathak Pak Bari. Dia berjualan di dalam pasar. Bayangan kami dari rumah, pasarnya akan seheboh pasar Biru Maru di Donggala sana. Ternyata pasarnya bersih dan modern, udah dikeramik semua. Jadi, makan lesehan gitu terasa nyaman. Kalau di sini nasi putihnya diberi kuah gule. Tehnya juga sama enaknya. Kami makan 2 porsi sate klathak, 2 nasi putih dan 2 gelas teh habisnya Rp 16.000. Asyik kan?

Jadi, sate klathak siang, sate klathak malam, sama enaknya!

UM

Hari ini adalah sejarah buat Jessie. Untuk pertama kalinya dia akan berangkat ke Jakarta sendirian, menggunakan fasilitas unaccompanied minor.

Udah dari kelas 3 aku motivasi dia untuk mencoba UM, tapi waktu itu belum muncul keberaniannya. Baru awal-awal tahun ini tiba-tiba muncul keinginan itu. Jadi, waktu kapan itu ke Jakarta bareng-bareng, aku perlihatkan bagaimana harus check in, bagaimana mengukur barang-barang yang akan dimasukkan ke bagasi, bagaimana bayar airport tax dll.

Tadi, aku diminta mengisi beberapa keterangan di counter check ini Garuda, bandara Adi Sucipto. Yang harus aku beritahu itu siapa penjemputnya, nomor telepon penjemputnya. Supaya memudahkan ground staff Garuda di Jakarta nanti, aku buatkan foto adikku yang akan menjemput Jessie dan dikalungkan di lehernya Jessie. Bagus juga dibuatkan begitu, karena boarding pass Garuda sekarang kecil sekali.

Satu langkah lagi dia di dalam kemandiriannya. Aku dan bapaknya langsung mellow begitu Jess berangkat. Pulang ke rumah pun rasanya sepi sekali. Rumah kami semarak kalau ada Jessie yang ceria dan banyak ide. Mungkin ini yang akan kami rasakan kelak, kalau Jess kuliah di lura kota atau menikah. Time is really really flies. Rasanya baru kemarin melihat dia terlahir dengan selamat, hari ini sudah bisa terbang sendiri ke Jakarta.

Kurang Sabar

Pagi tadi, sepulang berburu tiket nonton gratis film Perancis, aku terjebak kemacetan di Jl. Magelang. Jalan utama rumahku ini memang akan menjadi distrik perdagangan tersibuk besok-besoknya. Kemacetan itu karena di Jamal ada truk Kubota mau masuk dan keluar dari pabrik. Namanya juga truk, ya nggak bisa lah sekali belok langsung jadi.

Tiba-tiba, ada semacam SUV baru berwarna hijau pucuk daun nyelip di belakang truk, padahal Satpamnya udah nyetopin semua kendaraan. Entah daya bayang ruangnya yang minus atau karena ketak sabarannya menunggu kemacetan itu selesai atau karena sebab-sebab lain, usahanya menyelip itu diteruskan. Alhasil, mobil barunya itu menghantam pembatas jalan....penyok deh bemper depan bawah.

Aku yang dari arah berlawanan sampe terkagum-kagum ngeliat usaha bapak ini nyelip. Sayang banget mobilnya baru tapi stylenya nyetir kayak sopir angkot. Dan, yang nyetir ini mending-mending masih muda dan terkenal berdarah panas, ini nggak, udah stw. Coba sabar dikit, kan nggak menodai mobil baru.

Dari sini aku kembali diingatkan supaya lebih bersabar dalam berlalu lintas, apalagi di Yogya, yang terkenal karena pengendara motornya seperti nyamuk: dari kiri bisa belok kanan tiba-tiba, atau kita udah kasih tanda mau belok kiri, teteup aja tuh motor nerabas dari belakang untuk arah lurus. Selain itu aku juga belajar bahwa gaya menyetir mencerminkan kepribadiannya. Gimana sih orang yang grusa-grusu bisa sabar menghadapi orang lain?

Pelajaran berharga hari ini.

Adventure in Semarang

Liburan panjang kemarin kami ke Semarang. Sebenernya agak-agak ngeri jug, karena kota ini besar, secara ibukota propinsi gitu loh. Hanya karena kami lihat ada wahana air di sana aja, kami jadi berangkat.

Setelah melalui lembah dan bukit hijau, ramainya lalin menuju Ungaran menyambut kami. Samar-samar masih keinget berapa tahun lalu mencari sate kempleng di daerah itu bersama keluarga besarku. Dan aku memang menemukan tempat kami makan sate kempleng itu. Akhirnya...tak lama kemudian muncul deh kota Semarang itu.

Sebenarnya mencapai Grand Candi Hotel nggak susah, karena hotel ini paling dekat dengan gerbang Semarang. Cuma karena terakhir ke sini 2 tahun lalu, aku kelupaan harus belok kiri begitu ada percabangan dan papan petunjuk Patra Jasa. Jadi turun terus, tau-tau udah pertokoan. Langsung aku tanya dan memang kelewatan. Jadi, putar balik dan masih sempat satu kali lagi tanya sebelum menemukan Grand Candi.

Petualangan dimulai malam harinya. Hanya berbekal ingatan masa silam, kami 'turun' ke Pandanaran. Ngiter-ngiter nyari rumah makan yang keliatannya serba: serba lengkap, serba murah dan serba mudah. Maklum, turis domestik yang satu ini agak malas mencoba-coba yang baru di malam hari. Akhirnya ketemu tuh toko buku kesayangan. Setelah itu ke Mall Ciputra. Di sini ini aku ngalamin yang aneh di ibukota propinsi. Parkir mall itu kan emang kecil, lalu sesampainya di lahan parkir, tukang parkirnya nanya mau nggak diparkirin. Spontan aku tanya memangnya valet parkingnya berapa. Tau nggak jawabnya? "Oh, di sini nggak ada valet parking. Kami hanya menolong ibu saja supaya bisa segera masuk mal, nanti kami yang parkirkan." Bayangin tuh..., bae banget kan tuh Bapak?

Berkat dia lah kami bisa putar2 di mal dan makan malam di sana. Nggak enak sih makanan2nya, tapi kenapa rame bener yak? Setelah pulang ke Yogya baru terpikir, lain kali jangan masuk mal ah, ha3, telat.

Dari mal itu kami 'naik' ke hotel. Malam pertama tidur pulas karena lelah dan nyamannya kamar di hotel itu.

Hari kedua, ada teman datang dan dia nganter-nganter keliling Semarang. Kalo ini bener deh, namanya keliling kuliner. Dari sekian tempat kuliner yang terucap, aku paling terkesan dengan gerobak leker yang laku banget di depan Loyola. Orang ngantri beli itu siang-siang. Harganya variatif, dari 1000-14000. Yang 14000 pake keju mozarela dan daging asap, kayak makanan hotel berbintang aja. Konon gerobak leker satu ini sekarang jadi sering diundang ke pesta nikah, buka lapak di sana, he3. Siang itu sebenernya kami mau diajak ke gule kambing terkenal di Semarang tapi tutup. Jadi, kami disuguhkan warung gule kepala ikan. Nikmat banget siang-siang makan ini. Kepala ikannya penuh daging, kuahnya enak dan minumnya air kelapa dingin! Jessie aja yang nggak gitu doyan pedes makan dengan lahap, apalagi ortunya!

Malamnya, adventure dimulai lagi karena nyari resto Kampung Laut yang kata temenku di Yogya, ambiencenya bagus banget. Untung kemaren di Gramed beli peta, jadi lumayan gampang. Tapi nyasarnya sih tetep aja, walau udah diterangin di hotel panjang lebar ke rah mana kami harus menuju. Sampe petunjuk ke bandara masih bener, tapi makin lama jalannya makin lebar tapi koq tambah sepi? Buru-buru deh u turn. Tau-tau pas nanya sama tukang taksi, eh...ada gerbangnya bandara di sana. Nggak pake lampu sih, jadi nggak keliatan tadi. Nggak lama kemudian, nyampe deh di Kampung Laut.

Menunya macem-macem dan tempatnya gede banget. Dari sekian menu yang banyaknya nggak ketulungan itu, pilihan jatuh ke ikan hiu sama kepiting lemburi telur asin. Wah, enak betul makan di gazebo luar, memandang kerlip-kerlip lampu di laut sambil nyeruput teh hangat. Kayak bukan di Jawa aja.

Pulangnya udah hafal jalan, eh malah rubiknya Jessie ketinggalan di resto tadi, Jadi balik lagi ke sana. Kayak orang nggak puas aja pergi hanya sekali ke Kampung Laut, ha...ha...ha....

Minggu pagi beberes terus check out dan kita maen aer di water blaster. Karena pembangunannya belum selesai semua, jadi peraturannya juga belum selesai semua, he3. Masak berenang pake singlet? Yang bener aja. Terus dari wahana satu ke wahana lain jauh banget jalannya. Parahnya nggak dibilangin dari bawah peraturan-peraturannya, jadi udah sampe atas baru tau harus bawa ban yang doble atau single, minimal tinggi badan dan maksimal berat badan yang diperbolehkan di sana. Satu lagi yang agak mengganggu itu, air di sliding kurang deras. Jadi gesekan dengan papan seluncuran dan punggung terasa kerasnya. Emang sih dibandinginnya sama ciputra water park, tai kayaknya derasnya air dan peraturan renang di sana adalah hal mendasar yang seharusnya di set up dengan baik sebelum wahana itu dibuka. Untuk petualangan mencoba wahana yang baru, lumayanlah...

Petualangan diakhiri dengan menerjang hujan deras keluar dari Semarang. Nyari warung kepiting yang terkenal di Ungaran. papan nama warungnya kecil, tapi untungnya nggak kelewatan. Makan siang di Roso Nyoto emang luar biasa enaknya. Kepiting digoreng kering dan sesuai dengan nama menunya. Jadi kami pesan yang bertelur, datanglah yang memang kepiting nelur. Ternyata kami tamu terakhir, abis itu tutup deh restonya. Untung masih kebagian, kalo nggak nyesel deh.

Lain kali ke sana lagi ah, kalo ace yang baru udah buka.

Susah bin sulit

Tuh nggak laen nggak bukan artinya gak ada jalan keluar. Sama seperti di sini gunung, di sana gunung, di mana-mana gunung, yang artinya tersesat di pegunungan, ha3.

Memang kadang-kadang musti jadi dukun sedikit, supaya terhindar dari bencana. Dukun di sini sih kayaknya lebih kepada memprediksi sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang. Soalnya, kalo nggak ngedukun mana bisa tuh mengantisipasi bakalan ada apa, gimana cara mengatasinya, gimana cara mencegahnya, dlsb.nya. Udah icip-icip jadi dukun pun masih dibantah kiri dan kanan, sampe berantakan deh semuanya.

Akhirnya sampe deh di kesimpulan itu: susah bin sulit....lit....lit....!

Selesai Sudah

Minggu siang itu aku menerima kabar duka. Seorang kawanku berduka karena ayahnya telah berpulang ke pangkuan Bapa di surga. Kami baru saja pulang dari makan siang. Aku langsung menyiapkan keluarga kalau aku akan pergi ke Kebumen, tempat kawanku itu. Lalu suamiku mengingatkan supaya tanya dulu kapan meninggalnya. Kalau siang hari, besok pagi saja ke Kebumennya, tapi kalau selepas pk 00.00, memang harus berangkat sore itu juga. Ternyata beliau berpulang pk 13.00.

Keesokan paginya kami berangkat berlima menuju Kebumen. Ini perjalanan jauhku yang pertama di daerah Selatan. Rasanya nggak nyampe-nyampe karena pemandangan di Selatan ini sangat monoton. Untung aku telah terlatih di jalanan rusak menuju Purwodadi Grobogan, jadi waktu masuk ke Kebumen, yang jalanannya berlubang di mana-mana, si Mumun tak sampai kejeblos ke lubang dalam.

Rumah kawanku di desa Wotbuwono. Jadi dari jalan raya masih masuk 4 km menuju tempatnya. Saat kami bertemu, aku melihat kesedihan yang dalam tapi berusaha diatasi karena banyaknya pelayat yang datang. Ketepatan juga kakaknya kawanku ini adalah guru di sekolahnya Jessie. Hanya dengan duduk dan berhandai-handai aku tahu sejarah pelayanan ayahnya kawanku yang pendeta itu. Bagaimana beliau menggantungkan hidup sepenuhnya pada kemurahan Tuhan Yesus dan melayani sampai akhir hayatnya.

Kalau dari cerita yang aku dengar, cara meninggalnya pun termasuk enak. Beliau sedang menunggu pendeta yang akan melayankan perjamuan kudus di rumah. Saat itu beliau ingin ke belakang, lalu tidur-tiduran. Ketika itulah dadanya terasa sesak dan tak lama kemudian beliau meninggal.

Maafkan aku kawan, yang tak bisa menghantar Bapak sampai ke pemakaman. Kiranya Tuhan menguatkanmu menjalani hari-hari sepi tanpa kehadiran-Nya, namun yakinlah bahwa kasih kekal-Nya akan selalu menyertaimu.

Ketemuan

Setelah pulang dari Sentosa, aku ketemuan sama adikku yang kedua. Janjian di Vivo City. Aku nggak tau kalo tuh mall gedhe banget, jadi kami agak lama nunggunya.

Setelah ketemu lalu kami diajak makan di Boon Tong Kie. Itu resto Chinese food yang ramenya aujudubilah. Ngantri panjang, untung iparku pinter cari telusupan. Nggak lama kemudian kami masuk deh, he...he...he...

Adikku ini boleh dibilang pelajar mandiri. Dalam keadaan papa harus mondar-mandir Bandung-Jakarta saat menempuh S2, dia tetap rajin belajar dan meraih juara umum saat lulus SMP. Guru-gurunya heran banget begitu tahu mama otomatis hanya sendirian bersama anak-anak di rumah dan papa kuliah di UI. Sampe SMA pun di Kediri dia juara. Nggak usah negri-negrian tetap bisa masuk ITB. Hebat kan?

Satu hal yang selalu membekas dalam ingatanku itu adalah pertengkaran masa kecil kami. Suatu kali kami berantem, nggak tau tentang apa. Lalu karena mau disambit aku lari ngumpet ke kamar mandi lalu aku konci. Adikku ini tungguin terus dan aku pun tak berani keluar. Lalu, entah karena ada yang mau mandi atau karena dia dipanggil Mama, akhirnya aku dilepaskan sambil ngomong gini, "Kali ini gw ampunin ya Ya, awas lain kali!" Secara tak sadar pengalaman ini memampukanku mengampuni orang lain, walaupun itu sesuatu yang sulit, ha3. Adikku ini juga satu-satunya yang memahami pergumulanku menjadi hamba Tuhan. Dia yang bikin ortuku rela melepas anak perempuan satu-satunya ini untuk melayani 2 tahun di Perkantas sebelum kerja beneran.

Setelah kami dewasa dan beranak pinak malah jarang ketemuan, karena itu aku senang sekali kemaren bisa ketemu setelah sekian lama. Aku tau pola hidup mereka dari bincang-bincang dengannya. Luv u always.

Jumpa Lagi

Hari kedua di sana, kami isi dengan menjenguk Pulau Sentosa, secara bapak dan anak belum pernah melihat pulau sohor ini. Banyak yang berubah, antara lain stasiun monorail di dalam pulau itu jadi ada 3, 12 tahun lalu kan hanya satu. Isinya tentu aja banyak yang ditambah, mungkin karena pemerintah melihat animo yang sangat besar dari berbagai negara untuk mengunjungi pulau ini. Bisa bosen dong kalo cuman itu-itu aja.

Ke sininya juga pake perjuangan, biar Jessie ngerasain enaknya mass transport dan menambah kesempatan untuk berakrab ria dengan Audrey. Dari apartemen kami jalan ke stasiun bus terdekat lalu turun di dhoby ghout. Lalu cari yang ke harbour front. Nggak lama, turun deh di vivo city. Tadinya mau ngelanjutin pake bus ke sentosa, tapi udah ditiadakan atau kitanya yang nggak tau tempat pemberhentiannya. Jadi, dari lantai tiga kami naik monorail ke sentosa.

Ada pengalaman menarik di vivo city. Eskalator menuju ke lantai 3 itu rusak. Aku liat otomatis orang ngantri naik dan turun manual di satu eskalator. Memang jadi lama, tapi ketertibannya membuat semua jadi lancar. Coba kalo keruyukan, saling berebut mau naik dulu-duluan, mana bisa lah cepet nyampe di lantai 3.

Sesampainya di lantai 3 itu udah keliatan liak-liuk orang yang antri beli karcis terusan buat di Sentosa. Kami langsung masuk ke antrian untuk naik monorail. Penjagaan ketat tapi bersahabat. Waktu mau masuk dengan tagging tiket MRT, Audrey nggak bisa lewat karena isi kartu MRT nya nggak cukup. Penjaganya dengan cepat menolong. Audrey tetap di luar dan dia lari belikan tiket monorailnya. Wah, luar biasaaa....., padahal antrian tiket monorail panjang sekali. Tapi dia bisa cepat dapatkan tiketnya, kali dia tahu kalo kami dari Indo. Saking penuhnya, udah nggak bisa duduk deh, tapi nggak lama koq, monorail sudah memasuki kawasan Sentosa. Waktu sampe di beach station kami pikir masih ada satu stasiun lagi, eh tuh monorail balik ke imbiah station, cepet2 deh turun, ntar kalo maju lagi ke vivo city bisa cuman bolak-balik di dalam monorail dong?

Tujuan pertama adalah teater 4 dimensi. Kami nonton Pirates. Wah, asyik deh di dalam gedung itu. Berbekalkan kacamata, kami diayun-ayun seolah ikut bermain di film itu. Kalo seolah-olah ada di lokasi film itu kan masih 3 dimensi, waktu salah satu dikerubutin kelelawar, di sekitar kaki seolah-olah terasa kibasan sayap kelelawar. Lalu, waktu tertimpa air, betul-betul tuh kesemprot air. Ini kali yang menjadikannya 4 dimensi.

Abis ngantri, langsung makan. Laper bo....! Mana ujan lagi, tapi asyik makan hot dog anget sambil ujan-ujanan. Lalu kita masuk ke Images of Singapore. Banyak adegan dan peristuwa bersejarah yang diceritakan sedemikian gamblang, sehingga generasi demi generasi mengerti kenapa Singapura dibangun bersama oleh keempat etnik: Tionghoa, India, Malay dan londo. Suatu kali kami masuk di sebuah ruangan. Di sana ada meja kursi kayu tempat orang duduk-duduk di warung. Karena lelah, aku duduk aja di sana. Tau-tau ada orang India motret aku, dikiranya aku bagian dari properti ruangan kali. Waktu aku bergerak, dia kaget setengah mati, sementara aku nggak kuat nahan ketawa. Ada-ada aja!

Selesai kunjungan di jalan keluar dari Images of Singapore, kami samapai ke toko cinderamata. Barangnya lucu-lucu dan sudah sangat berkembang dari bertahun-tahun lalu. Aku senyum lihat Audrey milih-milih mug buat adiknya dan 2 sepupunya. Biasa, anak-anak. Kalo deket berantem, kalo jauh saling merindukan. Jessie beli mug yang dindingnya ada airnya, jadi merlionnya ngapung berenang-renang di dinding mug.

Pk 18.00 kami tiba kembali di Vivo City. Nggak lama Audrey dijemput, sementara aku masih ketemuan adikku.

Kalau nggak salah, Juni ini akan dibuka Universal Studio di sana abis itu kasino kayak yang di Genting.

Menikmati Malam

Kami tiba di negeri Singa sekitar pk 10.00, lalu mengurus bagasi dan ketemuan dengan seorang teman SD ku yang sudah lama menetap di sana, Jane. Kami ngobrol dan jalan-jalan ke sana dan ke mari melihat-lihat Changi Airport. Ini bandara paling canggih di astenggr. Pikirku kan pulangnya nggak lewat sini, nah mau explore bandara ini buat Jessie. Setelah makan siang kami mampir ke rumahnya Jane, ngobrol dengan maminya, karena maminya Jane ini kenal dengan ciecienya papa.

Lalu, dimulailah perjalanan pertama kami dengan MRT, secara Pasir Ris dan Gangsa Road, tempatnya A Yen itu juauuuh banget. Jadi kami beli kartu MRT. Ini pengalaman pertama Jessie naik MRT. Dia terheran-heran dengan cara membaca kartunya. Sekarang udah nggak dimasukkin lagi tapi ditag di tempatnya. Karena Pasir Ris perhentian pertama, kami masih dapet tempat duduk. Ternyata jauh banget, karena melalui lebih dari 9 perhentian MRT. Akhirnya kami turun di Clementi. Begitu turun, A Yen dan Ridwan udah dateng. Wah, betul-betul deh dia bertumbuh menjadi seorang ibu, karakter dan bawaannya. Bayangin, ampir 11 tahun nggak ketemu. Dari sana kami langsung ke rumahnya. Di rumah ada ortunya A Yen.

Setelah mandi, kami diajak ke Esplanade Theatre, ada konser Natal. Tuh konser ya, luar biasa!!! Mereka bernyanyi tanpa iringan musik, tapi ekspresinya sangat menyenangkan. Bagi aku, tandingan mereka mungkin padus yang dari Klaten. Keliatan sekali mereka menjiwai Natal itu, bukan hanya sekadar menyanyikan. Banyak juga lagu yang mereka nyanyikan, hampir 11 lagu.

Abis itu, mulailah kami menikmati malam. Begitu sampai di halaman luar, banyak orang menuliskan wishnya atau memasukkannya ke dalam balon dan melemparkan balon berisi wish itu ke air. Anak-anak makan candy floss sambil jalan-jalan. Setelah puas di sana, kami pergi ke Marina Bay, tempat si patung Singa memancarkan air. Katanya, air yang di sana itu berbeda dari sekelilingnya. Orang rame banget di sana, kebanyakan keluarga dengan anak-anak kecil di stroller atau pasangan yang asyik melihat malam.

Malam di Singapura agak berbeda dari malam di Yogya. Santai aja melenggang, walaupun tetap berhati-hati karena kerumunan orang banyak. Perjalanan hari pertama ini mengisyaratkan kalo ke sini kaki musti kuat jalan. Waktu jalan dari Esplanade ke Marina Bay sih nggak berasa jauh, tapi waktu pulang, wuauh....pegalnya mak! Juga, mungkin itu sebabnya orang-orang di sini jarang yang overweight, abis ke mana-mana jalan...

Wisata Desa

Suatu kali kami pernah menghabiskan setengah hari di Rumah Budaya Tembi. Rupanya anakku sangat terkesan dengan renangnya, alamnya, makanannya. Lalu dia pernah renang lagi di sana dengan temannya saat aku reunian dengan angkatan 85. Dan seperti Jessie, temannya ini juga senang sekali renang di sana.

Jadilah, kemarin, pagi-pagi kami berangkat ke sana. Kali ini aku mengajak seorang teman juga. Jadi girl party berempat ke Tembi. Sebenarnya udah agak siang, tapi cuaca mendung, jadi anak-anak langsung nyebur. Sementara aku dan temanku ngobs panjang lebar, ke topik yang kami ingat untuk dibicarakan. Kira-kira jam 11 perut mulai keroncongan, karena anak-anak hanya sarapan cereal paginya. Kami ke restonya. Anak-anak makan nasi goreng burung emprit, aku dan temanku nyemil tahu susur. Minumannya tetap minuman slendro pelog yang segar, bikin udara panas tak menyengat kami. Lalu anak-anak kembali renang, kami tetap di resto sambil nyoba koneksi internetnya. Aku sih mindah-mindahin catatan ke buku alamat yang baru, biar ringkas dan lengkap.

Kira-kira pk 12.30 kami makan siang. Mesennya nasi emprit goreng sama goreng banyak (sejenis angsa). Wah, sedap, apalagi sambalnya sambal mentah yang lumayan pedes. Terus, air putih disediakan dengan berlimpah, jadi nggak haus. Mustinya sih mungkin beli sebotol aqua ya, orang di gerobak minumnya disediakan aqua botol, tapi kami memilih air minum biasa yang agak dingin.

Pk 14.30 ana-anak selesai renang, mandi lalu ontheling menjelajah desa. Masalah timbul waktu anak-anak nggak bisa menaiki sepedanya karena terlalu tinggi. Jadilah kami memboncengkan mereka dipandu seorang guide dari rumah Tembi. Pertamanya sih ngeri banget karena udah lama nggak naik sepeda jadi oglak-oglek, menggak-menggok, kiri kanan. Tapi, sesudah 10 kayuhan, oke lah.

Pertama kami diajak melihat kerbau dan anaknya. Sekalian refresh pengetahuan bahasa Jawanya. Kan di sekolah diajarin nama anak-anak hewan. Mumpung ada contohnya langsung kerbau dan sapi beserta anaknya masing-masing, aku ingatkan lagi aja. Ternyata yang paling Jessie ingat itu anaknya gajah, namanya bledug, ha3.

Setelah melihat kerbau, kami diajak melihat kerajinan membuat bingkai cermin dari pelepah daun pisang. Menarik, karena jadi tahu campuran lem yang dipakai lalu cara membuat tutup vinil belakangnya itu. Dari sana kami beranjak ke kerajinan pre order dan batik Tembi. Pemiliknya sangat ramah dalam menjelaskan karya-karyanya. Dalam hati, aku naksir nih menjalin kerja sama dengan beliau, siapa tau bisa ngeramein toko onlineku. Bapak ini juga punya guest house seperti Rumah Tembi, tapi hanya dua rumah. Ada yang pake AC per malamnya 400 rb, yang trad 350 rb. Cuman nggak tau apakah dapat makan 3x sehari seperti di Tembi.

Di jalan pulang kami menjumpai workshop kerajinan yang tertutup untuk umum, kepunyaan seorang pengusaha australia yang tinggal di desa Tembi. Mungkin untuk ekspor, jadi khawatir disainnya muncul duluan di toko online sebelum pesanan sampe di tujuan, bisa kena denda cidera janji tuh, hiks.

Perjalanan menjelajah desa ini mengingatkanku akan desa KKN, yang rumah-rumahnya masih berlantaikan tanah. Ada teras tempat duduk-duduk sambil dengerin kicau burung perkutut. Juga bau rokok lintingan, yang umumnya dikonsumsi para pria dewasa sambil nunggu magriban. Juga tatapan penduduk akan hadirnya orang asing di tengah-tengah miliu mereka. Beberapa tertawa geli melihat aku naek sepedanya masih nggak lurus. Aku sih sama sekali nggak tersinggung karena di sana aku menatap keceriaan alami yang sama sekali nggak dipoles jaim-jaiman.

Menghabiskan hari di Tembi terasa cepat berlalu, liburan menyenangkan di selatan Yogya.

Merencanakan Liburan

Tahun lalu, kira-kira seperti waktu ini, kami mulai mendoakan untuk liburan keluarga, ke tempat yang suamiku diutus tahun sebelumnya.

Kami sadar bahwa biayanya akan sangat besar dan persiapannya memerlukan waktu banyak. Kalau sekadar jalan-jalan ke lain kota sih nggak kepikiran, tapi ini jalan-jalan ke luar negeri, walaupun tapaknya baru bisa sampe Singapura dan Malaysia. Yang jelas kami bertiga harus giat menabung supaya at least punya uang jajan di negeri orang.

Maka tahun lalu aku bekerja sangat keras menyelesaikan order buku-buku yang aku terima. Aku juga giat mencari order pesanan kaos dan seragam supaya ada pembagian dividen sehingga bisa ditabung. Jajan dan makan di luar dikurangi hampir 50%, dan ternyata itu sangat membantu. Bayangin aja untuk minum saja di resto biasa bisa mencapai 11.000 setiap kali makan, kalau 3 x sehari makannya di rumah, berarti ada penghematan 33.000 per hari dan 900.000 per bulan, belum lagi makannya! Semua yang bisa dihemat, dihemat lah tahun kemarin.

Puji Tuhan, pertengahan tahun tabungan mulai keliatan hasilnya. Jadi, kami mulai hunting budget ticket dan melancarkan komunikasi dalam bahasa Inggris bagi anak kami. Karena, dengan kemurahan Tuhan seorang kawan mengundang kami menginap di apartemennya selama di Singapura. Kan mau tidak mau anak kami harus berkomunikasi dengan anak kawan kami itu. Kira-kira September kami mendapat budget ticket yang luar biasa murah, karena berangkat dan pulang di hari raya, maka harga tiket dipotong 50%, alahasil pulang pergi kami hanya menghabiskan sekitar 900.000 per orang. Buat bandingan aja, kadang-kadang ke Jakarta dengan Garuda bisa segitu harganya...

September-Oktober kami merancang mau ke mana aja di luar negeri itu. Kalo di Singapura sih kami nggak terlalu khawatir karena sistem transortasinya begitu jelas dan peta melimpah ruah di mana-mana, lagipula ada kawan kami siap memberi petunjuk. Yang kami khawatirkan adalah di KL karena kawan-kawan yang tinggal di sana semua menyat dari kota itu. Jadilah, September-Oktober browsing ke mana-mana untuk melihat tempat dan transportasi selama di KL. Setelah mendapat sedikit gambaran, aku mulai ancang-ancang membuat paspor, karena paspor ini diperlukan untuk memesan tiket bus dari Singapura ke Genting Highlands. November paspor jadi, lalu aku tanya-tanya untuk pembebasan fiskal di bandara.

Sekitar pertengahan November aku mulai aktif di Kaskus dan mulai posting di bagian travellers sekitar pertengahan Desember. Lalu mulai mencari hotel di KL. Untung ada kawan yang membantu mencarikan apartemen milik orang Indonesia yang biasa disewakan kepada orang Indonesia yang melancong ke KL. Jadi penginapan di KL beres. Penginapan di Genting pun sudah beres pada bulan ini, karena kawan kami yang di Singapura segera menguruskan begitu kepastian ke negerinya dan Genting Highlands didapat.

Akhirnya kami berangkat ke bandara Adisucipto, dengan syarat-syarat yang udah dilengkapi semuanya. Kali ini perjalanan setengahnya kayak backpacker. Untung udah banyak buku tentang backpacker, jadi ...just go!!!