Kurang Sabar

Pagi tadi, sepulang berburu tiket nonton gratis film Perancis, aku terjebak kemacetan di Jl. Magelang. Jalan utama rumahku ini memang akan menjadi distrik perdagangan tersibuk besok-besoknya. Kemacetan itu karena di Jamal ada truk Kubota mau masuk dan keluar dari pabrik. Namanya juga truk, ya nggak bisa lah sekali belok langsung jadi.

Tiba-tiba, ada semacam SUV baru berwarna hijau pucuk daun nyelip di belakang truk, padahal Satpamnya udah nyetopin semua kendaraan. Entah daya bayang ruangnya yang minus atau karena ketak sabarannya menunggu kemacetan itu selesai atau karena sebab-sebab lain, usahanya menyelip itu diteruskan. Alhasil, mobil barunya itu menghantam pembatas jalan....penyok deh bemper depan bawah.

Aku yang dari arah berlawanan sampe terkagum-kagum ngeliat usaha bapak ini nyelip. Sayang banget mobilnya baru tapi stylenya nyetir kayak sopir angkot. Dan, yang nyetir ini mending-mending masih muda dan terkenal berdarah panas, ini nggak, udah stw. Coba sabar dikit, kan nggak menodai mobil baru.

Dari sini aku kembali diingatkan supaya lebih bersabar dalam berlalu lintas, apalagi di Yogya, yang terkenal karena pengendara motornya seperti nyamuk: dari kiri bisa belok kanan tiba-tiba, atau kita udah kasih tanda mau belok kiri, teteup aja tuh motor nerabas dari belakang untuk arah lurus. Selain itu aku juga belajar bahwa gaya menyetir mencerminkan kepribadiannya. Gimana sih orang yang grusa-grusu bisa sabar menghadapi orang lain?

Pelajaran berharga hari ini.

Adventure in Semarang

Liburan panjang kemarin kami ke Semarang. Sebenernya agak-agak ngeri jug, karena kota ini besar, secara ibukota propinsi gitu loh. Hanya karena kami lihat ada wahana air di sana aja, kami jadi berangkat.

Setelah melalui lembah dan bukit hijau, ramainya lalin menuju Ungaran menyambut kami. Samar-samar masih keinget berapa tahun lalu mencari sate kempleng di daerah itu bersama keluarga besarku. Dan aku memang menemukan tempat kami makan sate kempleng itu. Akhirnya...tak lama kemudian muncul deh kota Semarang itu.

Sebenarnya mencapai Grand Candi Hotel nggak susah, karena hotel ini paling dekat dengan gerbang Semarang. Cuma karena terakhir ke sini 2 tahun lalu, aku kelupaan harus belok kiri begitu ada percabangan dan papan petunjuk Patra Jasa. Jadi turun terus, tau-tau udah pertokoan. Langsung aku tanya dan memang kelewatan. Jadi, putar balik dan masih sempat satu kali lagi tanya sebelum menemukan Grand Candi.

Petualangan dimulai malam harinya. Hanya berbekal ingatan masa silam, kami 'turun' ke Pandanaran. Ngiter-ngiter nyari rumah makan yang keliatannya serba: serba lengkap, serba murah dan serba mudah. Maklum, turis domestik yang satu ini agak malas mencoba-coba yang baru di malam hari. Akhirnya ketemu tuh toko buku kesayangan. Setelah itu ke Mall Ciputra. Di sini ini aku ngalamin yang aneh di ibukota propinsi. Parkir mall itu kan emang kecil, lalu sesampainya di lahan parkir, tukang parkirnya nanya mau nggak diparkirin. Spontan aku tanya memangnya valet parkingnya berapa. Tau nggak jawabnya? "Oh, di sini nggak ada valet parking. Kami hanya menolong ibu saja supaya bisa segera masuk mal, nanti kami yang parkirkan." Bayangin tuh..., bae banget kan tuh Bapak?

Berkat dia lah kami bisa putar2 di mal dan makan malam di sana. Nggak enak sih makanan2nya, tapi kenapa rame bener yak? Setelah pulang ke Yogya baru terpikir, lain kali jangan masuk mal ah, ha3, telat.

Dari mal itu kami 'naik' ke hotel. Malam pertama tidur pulas karena lelah dan nyamannya kamar di hotel itu.

Hari kedua, ada teman datang dan dia nganter-nganter keliling Semarang. Kalo ini bener deh, namanya keliling kuliner. Dari sekian tempat kuliner yang terucap, aku paling terkesan dengan gerobak leker yang laku banget di depan Loyola. Orang ngantri beli itu siang-siang. Harganya variatif, dari 1000-14000. Yang 14000 pake keju mozarela dan daging asap, kayak makanan hotel berbintang aja. Konon gerobak leker satu ini sekarang jadi sering diundang ke pesta nikah, buka lapak di sana, he3. Siang itu sebenernya kami mau diajak ke gule kambing terkenal di Semarang tapi tutup. Jadi, kami disuguhkan warung gule kepala ikan. Nikmat banget siang-siang makan ini. Kepala ikannya penuh daging, kuahnya enak dan minumnya air kelapa dingin! Jessie aja yang nggak gitu doyan pedes makan dengan lahap, apalagi ortunya!

Malamnya, adventure dimulai lagi karena nyari resto Kampung Laut yang kata temenku di Yogya, ambiencenya bagus banget. Untung kemaren di Gramed beli peta, jadi lumayan gampang. Tapi nyasarnya sih tetep aja, walau udah diterangin di hotel panjang lebar ke rah mana kami harus menuju. Sampe petunjuk ke bandara masih bener, tapi makin lama jalannya makin lebar tapi koq tambah sepi? Buru-buru deh u turn. Tau-tau pas nanya sama tukang taksi, eh...ada gerbangnya bandara di sana. Nggak pake lampu sih, jadi nggak keliatan tadi. Nggak lama kemudian, nyampe deh di Kampung Laut.

Menunya macem-macem dan tempatnya gede banget. Dari sekian menu yang banyaknya nggak ketulungan itu, pilihan jatuh ke ikan hiu sama kepiting lemburi telur asin. Wah, enak betul makan di gazebo luar, memandang kerlip-kerlip lampu di laut sambil nyeruput teh hangat. Kayak bukan di Jawa aja.

Pulangnya udah hafal jalan, eh malah rubiknya Jessie ketinggalan di resto tadi, Jadi balik lagi ke sana. Kayak orang nggak puas aja pergi hanya sekali ke Kampung Laut, ha...ha...ha....

Minggu pagi beberes terus check out dan kita maen aer di water blaster. Karena pembangunannya belum selesai semua, jadi peraturannya juga belum selesai semua, he3. Masak berenang pake singlet? Yang bener aja. Terus dari wahana satu ke wahana lain jauh banget jalannya. Parahnya nggak dibilangin dari bawah peraturan-peraturannya, jadi udah sampe atas baru tau harus bawa ban yang doble atau single, minimal tinggi badan dan maksimal berat badan yang diperbolehkan di sana. Satu lagi yang agak mengganggu itu, air di sliding kurang deras. Jadi gesekan dengan papan seluncuran dan punggung terasa kerasnya. Emang sih dibandinginnya sama ciputra water park, tai kayaknya derasnya air dan peraturan renang di sana adalah hal mendasar yang seharusnya di set up dengan baik sebelum wahana itu dibuka. Untuk petualangan mencoba wahana yang baru, lumayanlah...

Petualangan diakhiri dengan menerjang hujan deras keluar dari Semarang. Nyari warung kepiting yang terkenal di Ungaran. papan nama warungnya kecil, tapi untungnya nggak kelewatan. Makan siang di Roso Nyoto emang luar biasa enaknya. Kepiting digoreng kering dan sesuai dengan nama menunya. Jadi kami pesan yang bertelur, datanglah yang memang kepiting nelur. Ternyata kami tamu terakhir, abis itu tutup deh restonya. Untung masih kebagian, kalo nggak nyesel deh.

Lain kali ke sana lagi ah, kalo ace yang baru udah buka.

Susah bin sulit

Tuh nggak laen nggak bukan artinya gak ada jalan keluar. Sama seperti di sini gunung, di sana gunung, di mana-mana gunung, yang artinya tersesat di pegunungan, ha3.

Memang kadang-kadang musti jadi dukun sedikit, supaya terhindar dari bencana. Dukun di sini sih kayaknya lebih kepada memprediksi sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang. Soalnya, kalo nggak ngedukun mana bisa tuh mengantisipasi bakalan ada apa, gimana cara mengatasinya, gimana cara mencegahnya, dlsb.nya. Udah icip-icip jadi dukun pun masih dibantah kiri dan kanan, sampe berantakan deh semuanya.

Akhirnya sampe deh di kesimpulan itu: susah bin sulit....lit....lit....!