Kehilangan

Sabtu petang kemarin aku mendapat telpon dari temannya Mama. Ini gak biasanya, karena tentu lah ada berita penting sehingga beliau menelpon anak temannya. Kabar yang dibawa pun membuatku terkejut.

Pak Mubijanto, yang akrab kami panggil dengan Pak Bi, meninggal dunia. Begitu mendadak, sampai kami semua kaget. Meninggalnya pun mengenaskan. Beliau ditemui seorang penduduk tergeletak dengan kepala terluka di pinggir jalan di Jombang. Penduduk ini melapor ke polisi, lalu polisi membawanya ke RS Bhayangkara Kediri. Dalam perjalanan ke rumkit itu beliau meninggal. Begitu sampai di Bhayangkara, anaknya yang menjadi perawat di sana, lalu mengenali bahwa korban tabrak lari itu adalah bapaknya sendiri. Rupanya Pak Bi sedang in reiyen motor barunya. Mungkin subuh-subuh setelah sholat, beliau pergi ke Papar. Tabrak lari itu pun terjadilah. Pagi ini aku di sms keluarganya yang mengabarkan kepulangan Pak Bi. Aku sempat bingung karena mereka menyebut nama yang meninggal itu Pak Mubijanto. Aku pikir ayahnya salah satu temanku kuliah. Setelah beberapa saat, barulah aku ingat nama lengkapnya Pak Bi...

Pak Bi ini sopir panggilan di Kediri yang banyak digemari oleh ibu-ibu dokter, karena gaya menyetir yang tidak grusa-grusu dan steady. Waktu Jessie umur 4 bulan, Pak Bi yang menjemput kami bertiga ke Yogya. Ini perjalanan jauh Jessie yang pertama. Dengan gaya setirannya, Jessie gak mabok samsek. Setelah itu, setiap kali kami ingin ke Kediri, Pak Bi yang jemput. Juga saat kami sudah bisa naik kereta Sancaka dan turun di Madiun, Pak Bi yang jemput kami. Ada satu lagi kehebatan Pak Bi, beliau bisa membawa mobil Papa dengan nyaman di jalan Kediri - Batu. Jalanan itu terkenal berkelok-kelok dan biasanya sulit memainkan gas dan kopling yang tidak membuat penumpangnya muntah. Nah, Pak Bi itu jagonya. Jessie aja gak muntah malah tidur dengan nyaman sampai ke Kediri.

Waktu Papa membelikan si Mumun, Pak Bi juga yang mengantar si Mumun dari Jakarta sampai ke Yogya dengan selamat. Waktu itu Pak Bi mengajari aku supaya kalau parkir si Mumun di garasi gak usah masuk gigi satu, karena beliau tahu aku baru lepas dari mobil matic. Sayang, waktu itu peringatannya aku langgar karena aku yakin pasti akan selalu memasukkan gigi netral sebelum manasin mobil. Sampailah suatu ketika aku lupa, dan...jedur! Si Mumun nyium tembok kamar pembantu sampai hidungnya yang pesek itu mblesek sek...

Perjumpaan terakhir kami terjadi dua tahun silam, saat Papa pindah dari Kediri ke Purwakarta. Waktu itu aku bawa si Mumun ke Kediri. Pulangnya Pak Bi yang stir. Kirain gak bakal ketemu lagi, eee...tahu-tahu Pak Bi datang mengantar Papa dari Kediri ke Purwakarta dan singgah di Yogya. Beberapa kali kami sempat terpikir meminta pertolongannya mengantar kami Yogya- Purwakarta, tapi niat kami tak pernah kesampaian karena selalu bertemu Pa dan Ma di Jakarta.

Selamat jalan Pak Bi, kebaikanmu tak akan kami lupakan....

Thanks to Tech

Akhir-akhir ini internet di tempatku luar biasa lemot. Jarang-jarang aku bisa download dengan tenang. Bisa tiba-tiba down, lau semua yang aku download berhenti di tengah jalan. Akibatnya aku harus mengulang lagi dari awal.

Kalo soal download masih bisa lah ditunda, tapi kalau email penting atau pertemuan penting, rasanya kondisi internet kayak gitu akan bikin frustrasi.

Satu hal yang akusyukuri adalah aku dibekali dengan handheld yang canggih. Halangan begitu hampir bisa diatasi semua. Yang pertama kali membuatku bersyukur adalah waktu aku harus meneliti hasil pemeriksaa psikologis saat itu juga, padahal internet down. Dengan handheld ini, tugasku itu terlaksana dengan baik.

Begitu juga waktu di kampus, kami diminta mencari seuah istilah penting, dengan adanya handheld ini tugas itu tak perlu tertunda-tunda.

Ajaibnya lagi, waktu aku berinisiatif mencarikan tempat syawalan angkatanku. Kan hanya aku yang ada di lokasi saat itu, jadi dengan handheld ini aku cepret sana cepret sini, alngsung kirim ke grup. Saat itu juga kami sepakat menyewa atau tidak tempat yang aku kunjungi. Tanpa handheld seperti ini agak mustahil melakukan banyak pekerjaan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.

Itu soal perangkat keras. Dalam hal software, aku banyak tertolong dengan yahoo messenger. Dengan meletusnya Merapi, komunikasi menjadi sulit. Komunikasi tatap muka, maksudku. Tugasku kemarin itu menghubungkan berbagai macam orang di Jakarta, Semarang, Salatiga dan Yogya. Tanpa bantuan ym, sulit semua itu terlaksana.

Zaman teknologi begini, kemungkinan tatap muka di dunia nyata bisa dikurangi dengan amat banyak, walaupun itu juga diperlukan. Tapi dalam keadaan darurat, bantuan teknologi sangat terasa signifikansinya.

Kisah Sebuah Lampion

Ketika aku lewat di daerah sekitar Giwangan, banyak lapak menjual lampion tradisional. Lampion itu bermacam-macam bentuknya. Rangkanya terbuat dari bilah-bilah bambu. Tangkainya terbuat dari batang bambu yang ujungnya dibuat berlubang untuk tempat lilin.

Jessie senang sekali aku belikan lampion itu. Aku memilih bentuk bintang, karena itu yang paling netral. Yang lain berbentuk bulan sabit, mesjid, kubah mesjid dan bentuk-bentuk keagamaan lainnya. Memang sejatinya lampion itu dipakai dalam arak-arakan malam takbiran. Hanya, aku suka bentuknya dan dengan membeli ini, aku mulai mengajarkan anakku menghargai keberbedaan.

Lampion itu masih ada sampai sekarang, dua tahun setelah aku membelikannya. Setiap dia lihat lampion itu, dia akan teringat jalan-jalan malam sekeliling Jl. K. H. Ahmad Dahlan melihat orang berbaris mengumandangkan kebesaran Sang Pencipta.

Harapanku sih anak kami ini tak akan gamang hidup di dunia yang penuh warna.