Lelaki tua itu makan mie sendirian, menghadap tembok. Entah apa yang dilamunkannya. Di belakangnya banyak keluarga-keluarga makan mie bersama-sama sehabis pulang gereja, sementara ia hanya sendirian. Tak ada teman bercengkerama, hanya tembok putih setia menatapnya ketika suapan mie sedikit demi sedikt memasuki kerongkongan tuanya. Ketika tiba waktunya membayar, hanya ada uang logam 500-an di kantong. Entah cukup atau tidak membayar makan sejumlah 14.500, sementara wajah si kasir terlihat tak sabar menunggu lelaki tua ini menghitung uang simpanannya.
Ngenes nggak? Itu yang aku alami Minggu, 3 Juni. Tanpa sengaja aku melihatnya sedang berhadapan dengan sang kasir itu. Rasa-rasanya aku mengenal bapak tua ini. Langsung aku samperin dia, dan ternyata benar! Dia itu papanya temenku. Anaknya cuman sebiji wayang, istri udah meninggal. Jadi, kemana-mana sendirian. Yang aku nggak nyangka, dia kesulitan membayar makanannya. Dengan hati mengharu biru aku mengambil alih transaksi itu. Waktu itu aku Cuma ngebayangin seandainya aku yang di posisinya, betapa kecut hatiku. Makanan udah abis, duit belon ketauan cukup apa nggak.
Waktu cerita ke misua dan anak, aku sampe ampir nangis. Abis, struktur keluarganya kan ampir sama, hanya bertiga. Jessie langsung nyeplos, “Tapi aku pasti nemenin mami papi koq! Nggak mungkin aku biarin papi mami sendirian.”
Yah..., namanya juga hidup. Kadang ada teman, kadang sendirian. Berapa banyak orang seperti pak tua itu yang merana sendirian?
Lelaki Tua dan Mie
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
trenyuh membacanya...
Post a Comment