Buah Siwalan

Tadi waktu lagi ngerundingin mau ke mana, tiba-tiba misua ngelihat buah siwalan di pinggir jalan Magelang, dekat Indo Grosir. Langsung deh kami bertekad membawanya pulang.

Buah ini jarang sekali ada di Yogya. Kalau penjualnya ditanya mesti dijawab bahwa datengnya dari Tuban. Aku sih taunya buah ini banyak bertebaran di Semarang, mungkin karena deket pantai ya?

Nah, awal aku senang dengan buah ini itu dari masa kecil di Kupang. Kami sering piknik ke pantai. Zaman 70-an ke mana lagi menghabiskan hari Minggu kalau bukan ke pantai? Di sana aku sering dibelikan buah itu sama papa. Kadang-kadang sama air tuaknya.

Semasa pulang ke Kediri pas mahasiswa dan kami jalan-jalan ke Surabaya, kalau ada siwalan ini, pasti deh berhenti dan minum juga tuaknya.

Di Yogya memang jarang, tapi sore tadi buah itu muncul segerobak. Langsung deh beli. Misua yang kupasin buat kami. Airnya dimasukkan ke kulkas dan diminum dingin-dingin. Kalo nggak salah sih buah ini masih kerabat dekat kelapa. Buahnya kecil, di dalamnya ada lembaga buah. Nah, lembaga ini yang harus dikupas pelan-pelan untuk dilepaskan dari kulitnya. Rupanya bening dan kenyal. Kalau digigit, keluarlah airnya yang terasa segar di mulut dan manis. Nggak pernah bosen aku kalo ketemu buah ini. Hmmm....

Attachment Person

Selama aku tergeletak karena flu dua hari lalu, aku tidur sendiri. Jessie dengan papinya. Ternyata Jessie nggak bisa tidur. Bangun-bangun terus, cerita papinya. Akhirnya dari golek sana golek sini, dia tertidur pk 22.00. Pk 04.00 nyamperin tempat tidurku lalu tidur lagi di arah kakiku, supaya nggak ketularan.

Pagi-pagi pk 05.30 aku bangunin, karena mau sekolah. Tiba-tiba Jessie bilang, "Mom, koq lantainya seperti menurun ya?" Langsung aku raba lehernya dan suhu badannya hangat. Aku selidiki semalam tidur jam berapa, dst.nya, dst.nya. Jadi, dari keterangannya aku menyimpulkan anak ini hangat karena kurang tidur. Pantes aja lantai agak menurun, lha wong gliyeng... Lalu aku buatkan bubur instan, minumin panadol, tidur lagi sampe pk 08.00. Bangun-bangun dia udah seger.

Jadi rencanaku kemarin berjalan cukup lancar, ambil bordiran dan urus surat izin praktek psikologi ke BNI UGM.

Sore-sore aku ngerumpi sama misua soal kondisi Jessie. Mungkin salah satu dampak buruk ketiadaan orang lain di rumah ya seperti itu. Pengaruh Mommynya terlalu kuat, sehingga kalau jauh sedikit bisa kelimpungan. Biasanya memang attachment person terasa di usia bayi umur 7/8 bulan - kira-kira 2 taonan. Tapi, kalo anak hanya tumbuh besar bersama dengan orangtuanya tanpa campur tangan baby sutter atau oma opa atau lainnya, kelekatannya pada ibu amat terasa. Aku sih pelan-pelan mendekatkan Jessie dengan bapaknya, misalnya aku tinggal rapat ke gereja atau tinggal ceramah. Aku berharap lama kelamaan dia terbiasa aku nggak hadir walau nanti akan selalu pulang. Di satu sisi hal ini mengharukan karena kelekatan anak pada ibunya sangat kuat. Tetapi di sisi lain agak mengkhawatirkan karena kemandiriannya akan datang terlambat.

Berarti aku harus pandai-pandai membuat keseimbangan supaya Jessie bisa mandiri tepat waktunya. Ikutan camp anak ke luar kota aja kali ya...

Selalu Tersisa Satu

Kalau kami sekeluarga berlibur, waterpark selalu jadi incaran kami. Maklum, waterpark di Yogya itu gede banget alias segara alias lautan...:).

Di Surabaya juga gitu. Setelah puas berhandai-handai dengan keponakan, besokannya kita semua ke Ciputra Waterpark. Kegembiraanku lipet dua, soalnya bisa maen aer dan bisa ketemuan sama temen SMP yang udah 20 taonan nggak pernah ketemu. Bener-bener tepat keputusan ke waterpark, karena rumah Linda deket dari situ. Dan...waterparknya sepiii sekali. Kayak punya pribadi aja.

Karena dua keponakanku jarang maen kayak gini, pertama-tama aku dan Jessie ajak mereka ngelilingin kolam arus, terus ke kolam gelombang. Abis dari kolam gelombang, aku ketemuan dulu sama Linda sambil ngawasin anak-anak bermain di kolam toddler. Ngobrol sana sini, makan ini itu, setelah melalui kemalasan nyebur lagi, akhirnya kita maen deh ke kolam sliding.

Aku jadi inget waktu Jessie umur 6 taon, pertama kali ke sini sama engkongnya, dia ngeri naek jembatan yang banyak curahan aernya. Tapi aku bilangin kalo ini kayak outbound sama kakak-kakak mahasiswa, cuman ini di aer. Kali ini juga sama, aku memperkenalkan sliding sama keponakan2ku. Cuma tugasku lebih ringan karena Jessie ahli membimbing adik-adiknya nyeberangin jembatan. Mulai dari sliding yang paling pendek, sampe ke yang paling tinggi.

Abis itu pindah ke kolam yang ada sliding dengan tunnelnya. Di sliding yang terbuka dan tinggi itu kami meluncur. Walaupun tinggi tapi kami nggak ngeri. Dari tempay itu keliatan deh Surabaya. Begitu mau maen yang ada tunnelnya, kami tidak diizinkan karena tingginya Jessie belum mencapai 150 cm. Ya udah deh, meluncur sekali lagi di sliding yang terbuka itu.

Selalu deh, ada yang tersisa satu. Waktu di Pandawa Waterpark Solo, ada satu sliding yang belon kami coba. Di sini juga. Berarti musti ke sini lagi deh kapan-kapan, ha...ha...ha..., kalo soal maen...hayo aja!

Wedang Tahu

Kira-kira enam bulan lalu, di Jalan Magelang, main road nya rumahku, ada yang membuka gerai wedang tahu. Bukanya mulai pk. 18.00, karena dia berjualan di emperan toko gantungan kunci karet.

Aku senang sekali ada wedang tahu. Penganan ini aku kenal sejak kecil, waktu aku sering bermain di rumah temanku di Mangga Besar VIa. Mulanya sih nggak doyan, tapi lama-lama doyan beneran. Herannya tukangnya nggak lewat di gang rumahku di Mangga Besar I. Sekiaaaaan tahun nggak makan, nah pas di rumah adikku ada yang lewat. Langsung aku beli deh, hmmm...yummy....!

Wedang tahu ini kayak bubur kembang tahu. Bentuknya seperti bubur sumsum. Diambilnya pelan-pelan dengan menyendoknya. Lalu, diletakkan di mangkuk kecil, dan diberi kuah dengan rasa jahe. Di Jakarta disebutnya kembang tahu. Di Surabaya namanya tao hwa (bacanya thaa hwa). Tao hwa ini bahasa Mandarin. Dari taohu = tofu= tahu. Hwa= kembang. Jadi sebenernya sih sama aja, kembang tahu...ha...ha...ha..., hanya di Surabaya lebih kental nuansa Tionghoanya.

Kemarin malam, sepulang rapat, aku tiba-tiba pengen makan kembang tahu ini. Lalu aku pesan dua untuk dibawa pulang. Sambil menunggu disiapkan, iseng-iseng aku tanya sama penjualnya, dia berasal dari Jakarta atau bukan, karena di Yogya baru dia yang jual kembang tahu. Ternyata dia asalnya dari Surabaya, katanya, "Kalo di Surabaya disebutnya tahwa." Nah, kan...betul, tapi penyebutannya udah beda lafalnya, sesuai dengan dialek si penjual. Lalu, dia punya kesadaran brand/ brand awareness. Di dasar mangkuk plastiknya di tempeli stikernya. Belum lagi di bandana seragamnya ditulisi websitenya: www.tahupongwedangtahu.com. Hebat juga nih Bapak, wedang tahu dimasukin internet. Pastinya bukan buat jualan di sana, tapi untuk membangun brand nya. Yang lebih hebat, dia nggak begitu aja menamakan jualannya dengan kebiasaan di Surabaya, tapi disesuaikan dengan alam pikir orang Jawa Tengah yang terbiasa dengan wedang ronde. jadilah nama jualannya wedang tahu.

Sekarang cabangnya udah dua, daaan...dia punya sepeda yang berkeliling jualan kembang tahu. Sayang belon lewat di gang rumahku. Padahal, yummy banget kalo menyantap itu sore-sore menjelang malam, sambil duduk di teras menatap senja...mak nyus!

Doa Ulang Tahun

Tadi pagi, anak kami bangun dengan wajah berseri-seri, karena dia ulang tahun hari ini. Selesai beres-beres buku dan alat-alat gambarnya, kami pun berdoa, gini bunyinya:

Tuhan Yesus terima kasih karena hari ini Jessie ulang tahun yang kesembilan,
Jadikanlah dia anak yang mencintai Engkau,
dan mampukan kami orangtuanya untuk membimbingnya menjadi anak yang baik.
Juga karuniakan kerajinan dan ketelitian....nggak kayak sekarang kalo belajar masih suka males dan kamarnya berantakan (Jessie mencubit kakiku, diaduin ke Tuhan).
Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa, amin.

Kayaknya ini doa yang paling ger-geran deh. Jessie cekikikan melulu didoain begitu, padahal maknanya lumayan berat buat kami, soalnya ini anak unting-unting (dalam budaya Jawa, anak perempuan satu-satunya disebut unting-unting). Apalagi, karena di rumah hanya ada keluarga inti, makin lama makin serupa sama aku jadinya. Bagi yang udah lama kenal aku, udah kebayang kan nanti gedenya dia seperti apa, ha...ha...ha...

Eniwei, kami bersyukur dikaruniai Jessie. Emang sih kalo dia di rumah kami sering keberisikan karena tak pernah habis hal yang dikatakannya, tapi kalo dia lagi sekolah, aku yang sering keilangan. Kayaknya rumah jadi sepi tanpa Jessie. Kalo dia lagi ngeyel juga kadang-kadang kami cape ati, tapi ngeyelnya itu yang bikin kami harus pandai-pandai memutar otak supaya bisa masuk dalam frame of referencenya.

Kami juga berharap supaya doa yang terkandung dalam namanya bisa terwujud dalam hidupnya: "Ya Tuhan yang Maha Pemurah, jadikanlah aku anak yang kuat dan bijaksana" (Jessica Joanne Mahardhika).

Pengalaman Baru

Sebulan yang lalu, aku, misua dan adik iparku berbincang-bincang soal pekerjaan sampingan, yang cocok untuk full time mom atau yang nggak mengganggu pekerjaan utama. Selama ketemuan keluarga itu, pembicaraan intensif dilakukan terus, di kolam renang, di lobby hotel, di mobil, di segala tempat deh. Maklum, ketemuan kayak gini bisa diitung pake jari, karena kerjaan misua repot sekali, jarang-jarang ada waktu senggang di Jakarta.

Pulang dari sana, yang termotivasi malah aku, tadinya sih aku cuman ngedengerin aja. Jadi, aku set up semuanya deh. Yang paling susah itu nentuin produk yang akan dipamerin di tokoku. Kalo kelengkapannya relatif mudah walau jalannya panjang.

Adalah suatu ketepatan. Pas ngumpul sama ibu-ibu waktu nungguin Jessie les tari, ada salah satu kawanku yang bercerita tentang usaha sampingannya di Yogya dan di Bondowoso. Barang Yogya dia jual ke Bondowoso dan sebaliknya. Tiba-tiba dia nyeletuk soal craft, bagaimana dia memaketkan berkarung-karung craft bolak-balik ke dua kota tersebut. Akhirnya, aku janjian deh sama dia ke suplier craft di desa pinggiran Yogya.

Selaen itu, aku teringat salah satu temanku yang memang punya sentuhan etnik di karya-karyanya. Aku ke rumahnya, ngomong sana sini, lalu dia mau jadi suplierku untuk home decor.

Aku merasa kedua jenis barang itu cukuplah untuk sementara, kecuali kalau ternyata bisa berkembang lebih jauh lagi, baru dicarikan suplier yang lainnya.

Kalo aku renung-renungkan kenapa mau mencoba hal baru ini, padahal kegiatan udah seabreg-abreg, ya karena curiousity itu. Nothing to loose kan kalo untuk mencoba. Semua kan made by order. Lagian, dari kegiatan ini aku juga bisa menabung untuk biaya kuliah semester depan. Semester ini aku hanya ambil satu mata kuliah karena untuk in reiyen setelah lama nggak masuk kampus. Kalo berhasil, semester depan bisa dua mata kuliah, dan itu berarti aku harus nyiapin sekitar tiga jutaan. Nah, jangan sampai asap dapur nggak ngebul karena ngeberatin biaya kuliah, jadi harus ada usaha lainnya.

Yang penting ada keseimbangan. Mudah-mudahan aku dimampukan Tuhan menyeimbangkan semua: keluarga, pelayanan, pekerjaan dan pengembangan diri.

24Tahun Lalu

Kalo diinget-inget 24 taon lalu, aku menginjakkan kaki di Yogya. Begitu turun langsung nginep di Hotel Merdeka, sekarang Phoenix Hotel.

Soal kota sih aku nggak terlalu kaget, karena biasa pindah kota, soal bahasa bikin aku mabok waktu itu.

Mabok pertama tuh waktu beli makan di warung ijo Jl. C. Simanjuntak. Penjualnya tanya, "Pake ikan nggak, Mbak?" Spontan aku mencari-cari mana ikannya, karena di situ adanya aym goreng dan empal. Aku geleng-geleng, jadilah pagi itu aku makan sayur kacang ijo pedessss banget. Lama-lama, dari percakapan sehari-hari aku baru tau kalo yang dimaksud 'ikan' itu segala macam lauk yang berjenis daging. Mau ayam, may sapi, mau kambing, mau ikan beneran, semua disebut ikan. Hebring euy...

Mabok kedua kalo diterangin jalan pake arah mata angin. Wah, kalo ini aku mabok beneran. Abis orang-orang di Yogya kalo disuruh ulangan mata angin gitu, nilainya A+++ kali. Dengan pengetahuan yang kiri dan kanan, sekarang harus belajar mencerna mana barat, mana utara, mana timur, mana selatan. Kalo aku cari penjelasan kenapa sih nunjukin jalan koq pake barat timur segala, kan jadi pusying. Aku selalu dapet jawaban, "Supaya nggak perlu tanya jalan itu dilihat dari arah mana. Barat ya barat, dst.nya." Aku menikmati petunjuk arah ini setelah tiga tahun berdomisili di sini. Aku juga belajarin tuh barat timur dkk dalam bahasa Jawa. Tapi tau nggak, kalo ditanya mau ke mana sama pak parkir kantor pos di dekat sekolah anakku, amannya aku tunjuk aja arahnya. Jadilah si Bapak tersenyum-senyum maklum sama pengunjung setianya ini.

Mabok ketiga, soal rasa makanan. Wah, kalo ini jasa sambel botol amatlah besar. Aku kan jarang, nggak pernah malah, makan yang manis-manis, terutama sayur. Di sini sayur bayam (nama kerennya sayur bening) itu manis, sayur asem ya juga manis. Terpaksa aku membubuhi sambel botol biar ketelen. Lama-lama bisa menikmati juga sih. Cuman...kenapa kuah soto selalu cair dan bening, itu yang aku belum bisa nikmati sampai sekarang. Aku heran kalo ada yang seneng banget makan soto. Penyuka soto juga heran kali ya liat aku gak suka soto, ha3.

Dua minggu lalu, ada kawanku datang ke Yogya. Dia datang dari Padang. Suatu kali beli jajan ke pasar Kranggan. "Bu, ini apa namanya?"

"Getuk, Mbak."

"Kalau yang ini?" (sambil menunjuk penganan di sebelahnya)

"Podho, Mbak." (maksud ibu penjual ya sama saja getuk, mungkin berbeda warnanya)

"Ya sudah, beli getuknya satu, podhonya satu." (si ibu terbengong-bengong sambil tetap melayani kawanku ini). Di kemudian hari baru kawanku tahu bahwa podo itu artinya sama, bukan jenis atau nama penganan. Malunyaaa....

Ini termasuk culture shock kali ya? Tapi, abis shock itu terus jatuh cinta sama ketenangan Yogya, hingga 24 tahun kemudian, aku masih aja betah di sini.