Ketemuan

Setelah pulang dari Sentosa, aku ketemuan sama adikku yang kedua. Janjian di Vivo City. Aku nggak tau kalo tuh mall gedhe banget, jadi kami agak lama nunggunya.

Setelah ketemu lalu kami diajak makan di Boon Tong Kie. Itu resto Chinese food yang ramenya aujudubilah. Ngantri panjang, untung iparku pinter cari telusupan. Nggak lama kemudian kami masuk deh, he...he...he...

Adikku ini boleh dibilang pelajar mandiri. Dalam keadaan papa harus mondar-mandir Bandung-Jakarta saat menempuh S2, dia tetap rajin belajar dan meraih juara umum saat lulus SMP. Guru-gurunya heran banget begitu tahu mama otomatis hanya sendirian bersama anak-anak di rumah dan papa kuliah di UI. Sampe SMA pun di Kediri dia juara. Nggak usah negri-negrian tetap bisa masuk ITB. Hebat kan?

Satu hal yang selalu membekas dalam ingatanku itu adalah pertengkaran masa kecil kami. Suatu kali kami berantem, nggak tau tentang apa. Lalu karena mau disambit aku lari ngumpet ke kamar mandi lalu aku konci. Adikku ini tungguin terus dan aku pun tak berani keluar. Lalu, entah karena ada yang mau mandi atau karena dia dipanggil Mama, akhirnya aku dilepaskan sambil ngomong gini, "Kali ini gw ampunin ya Ya, awas lain kali!" Secara tak sadar pengalaman ini memampukanku mengampuni orang lain, walaupun itu sesuatu yang sulit, ha3. Adikku ini juga satu-satunya yang memahami pergumulanku menjadi hamba Tuhan. Dia yang bikin ortuku rela melepas anak perempuan satu-satunya ini untuk melayani 2 tahun di Perkantas sebelum kerja beneran.

Setelah kami dewasa dan beranak pinak malah jarang ketemuan, karena itu aku senang sekali kemaren bisa ketemu setelah sekian lama. Aku tau pola hidup mereka dari bincang-bincang dengannya. Luv u always.

Jumpa Lagi

Hari kedua di sana, kami isi dengan menjenguk Pulau Sentosa, secara bapak dan anak belum pernah melihat pulau sohor ini. Banyak yang berubah, antara lain stasiun monorail di dalam pulau itu jadi ada 3, 12 tahun lalu kan hanya satu. Isinya tentu aja banyak yang ditambah, mungkin karena pemerintah melihat animo yang sangat besar dari berbagai negara untuk mengunjungi pulau ini. Bisa bosen dong kalo cuman itu-itu aja.

Ke sininya juga pake perjuangan, biar Jessie ngerasain enaknya mass transport dan menambah kesempatan untuk berakrab ria dengan Audrey. Dari apartemen kami jalan ke stasiun bus terdekat lalu turun di dhoby ghout. Lalu cari yang ke harbour front. Nggak lama, turun deh di vivo city. Tadinya mau ngelanjutin pake bus ke sentosa, tapi udah ditiadakan atau kitanya yang nggak tau tempat pemberhentiannya. Jadi, dari lantai tiga kami naik monorail ke sentosa.

Ada pengalaman menarik di vivo city. Eskalator menuju ke lantai 3 itu rusak. Aku liat otomatis orang ngantri naik dan turun manual di satu eskalator. Memang jadi lama, tapi ketertibannya membuat semua jadi lancar. Coba kalo keruyukan, saling berebut mau naik dulu-duluan, mana bisa lah cepet nyampe di lantai 3.

Sesampainya di lantai 3 itu udah keliatan liak-liuk orang yang antri beli karcis terusan buat di Sentosa. Kami langsung masuk ke antrian untuk naik monorail. Penjagaan ketat tapi bersahabat. Waktu mau masuk dengan tagging tiket MRT, Audrey nggak bisa lewat karena isi kartu MRT nya nggak cukup. Penjaganya dengan cepat menolong. Audrey tetap di luar dan dia lari belikan tiket monorailnya. Wah, luar biasaaa....., padahal antrian tiket monorail panjang sekali. Tapi dia bisa cepat dapatkan tiketnya, kali dia tahu kalo kami dari Indo. Saking penuhnya, udah nggak bisa duduk deh, tapi nggak lama koq, monorail sudah memasuki kawasan Sentosa. Waktu sampe di beach station kami pikir masih ada satu stasiun lagi, eh tuh monorail balik ke imbiah station, cepet2 deh turun, ntar kalo maju lagi ke vivo city bisa cuman bolak-balik di dalam monorail dong?

Tujuan pertama adalah teater 4 dimensi. Kami nonton Pirates. Wah, asyik deh di dalam gedung itu. Berbekalkan kacamata, kami diayun-ayun seolah ikut bermain di film itu. Kalo seolah-olah ada di lokasi film itu kan masih 3 dimensi, waktu salah satu dikerubutin kelelawar, di sekitar kaki seolah-olah terasa kibasan sayap kelelawar. Lalu, waktu tertimpa air, betul-betul tuh kesemprot air. Ini kali yang menjadikannya 4 dimensi.

Abis ngantri, langsung makan. Laper bo....! Mana ujan lagi, tapi asyik makan hot dog anget sambil ujan-ujanan. Lalu kita masuk ke Images of Singapore. Banyak adegan dan peristuwa bersejarah yang diceritakan sedemikian gamblang, sehingga generasi demi generasi mengerti kenapa Singapura dibangun bersama oleh keempat etnik: Tionghoa, India, Malay dan londo. Suatu kali kami masuk di sebuah ruangan. Di sana ada meja kursi kayu tempat orang duduk-duduk di warung. Karena lelah, aku duduk aja di sana. Tau-tau ada orang India motret aku, dikiranya aku bagian dari properti ruangan kali. Waktu aku bergerak, dia kaget setengah mati, sementara aku nggak kuat nahan ketawa. Ada-ada aja!

Selesai kunjungan di jalan keluar dari Images of Singapore, kami samapai ke toko cinderamata. Barangnya lucu-lucu dan sudah sangat berkembang dari bertahun-tahun lalu. Aku senyum lihat Audrey milih-milih mug buat adiknya dan 2 sepupunya. Biasa, anak-anak. Kalo deket berantem, kalo jauh saling merindukan. Jessie beli mug yang dindingnya ada airnya, jadi merlionnya ngapung berenang-renang di dinding mug.

Pk 18.00 kami tiba kembali di Vivo City. Nggak lama Audrey dijemput, sementara aku masih ketemuan adikku.

Kalau nggak salah, Juni ini akan dibuka Universal Studio di sana abis itu kasino kayak yang di Genting.

Menikmati Malam

Kami tiba di negeri Singa sekitar pk 10.00, lalu mengurus bagasi dan ketemuan dengan seorang teman SD ku yang sudah lama menetap di sana, Jane. Kami ngobrol dan jalan-jalan ke sana dan ke mari melihat-lihat Changi Airport. Ini bandara paling canggih di astenggr. Pikirku kan pulangnya nggak lewat sini, nah mau explore bandara ini buat Jessie. Setelah makan siang kami mampir ke rumahnya Jane, ngobrol dengan maminya, karena maminya Jane ini kenal dengan ciecienya papa.

Lalu, dimulailah perjalanan pertama kami dengan MRT, secara Pasir Ris dan Gangsa Road, tempatnya A Yen itu juauuuh banget. Jadi kami beli kartu MRT. Ini pengalaman pertama Jessie naik MRT. Dia terheran-heran dengan cara membaca kartunya. Sekarang udah nggak dimasukkin lagi tapi ditag di tempatnya. Karena Pasir Ris perhentian pertama, kami masih dapet tempat duduk. Ternyata jauh banget, karena melalui lebih dari 9 perhentian MRT. Akhirnya kami turun di Clementi. Begitu turun, A Yen dan Ridwan udah dateng. Wah, betul-betul deh dia bertumbuh menjadi seorang ibu, karakter dan bawaannya. Bayangin, ampir 11 tahun nggak ketemu. Dari sana kami langsung ke rumahnya. Di rumah ada ortunya A Yen.

Setelah mandi, kami diajak ke Esplanade Theatre, ada konser Natal. Tuh konser ya, luar biasa!!! Mereka bernyanyi tanpa iringan musik, tapi ekspresinya sangat menyenangkan. Bagi aku, tandingan mereka mungkin padus yang dari Klaten. Keliatan sekali mereka menjiwai Natal itu, bukan hanya sekadar menyanyikan. Banyak juga lagu yang mereka nyanyikan, hampir 11 lagu.

Abis itu, mulailah kami menikmati malam. Begitu sampai di halaman luar, banyak orang menuliskan wishnya atau memasukkannya ke dalam balon dan melemparkan balon berisi wish itu ke air. Anak-anak makan candy floss sambil jalan-jalan. Setelah puas di sana, kami pergi ke Marina Bay, tempat si patung Singa memancarkan air. Katanya, air yang di sana itu berbeda dari sekelilingnya. Orang rame banget di sana, kebanyakan keluarga dengan anak-anak kecil di stroller atau pasangan yang asyik melihat malam.

Malam di Singapura agak berbeda dari malam di Yogya. Santai aja melenggang, walaupun tetap berhati-hati karena kerumunan orang banyak. Perjalanan hari pertama ini mengisyaratkan kalo ke sini kaki musti kuat jalan. Waktu jalan dari Esplanade ke Marina Bay sih nggak berasa jauh, tapi waktu pulang, wuauh....pegalnya mak! Juga, mungkin itu sebabnya orang-orang di sini jarang yang overweight, abis ke mana-mana jalan...

Wisata Desa

Suatu kali kami pernah menghabiskan setengah hari di Rumah Budaya Tembi. Rupanya anakku sangat terkesan dengan renangnya, alamnya, makanannya. Lalu dia pernah renang lagi di sana dengan temannya saat aku reunian dengan angkatan 85. Dan seperti Jessie, temannya ini juga senang sekali renang di sana.

Jadilah, kemarin, pagi-pagi kami berangkat ke sana. Kali ini aku mengajak seorang teman juga. Jadi girl party berempat ke Tembi. Sebenarnya udah agak siang, tapi cuaca mendung, jadi anak-anak langsung nyebur. Sementara aku dan temanku ngobs panjang lebar, ke topik yang kami ingat untuk dibicarakan. Kira-kira jam 11 perut mulai keroncongan, karena anak-anak hanya sarapan cereal paginya. Kami ke restonya. Anak-anak makan nasi goreng burung emprit, aku dan temanku nyemil tahu susur. Minumannya tetap minuman slendro pelog yang segar, bikin udara panas tak menyengat kami. Lalu anak-anak kembali renang, kami tetap di resto sambil nyoba koneksi internetnya. Aku sih mindah-mindahin catatan ke buku alamat yang baru, biar ringkas dan lengkap.

Kira-kira pk 12.30 kami makan siang. Mesennya nasi emprit goreng sama goreng banyak (sejenis angsa). Wah, sedap, apalagi sambalnya sambal mentah yang lumayan pedes. Terus, air putih disediakan dengan berlimpah, jadi nggak haus. Mustinya sih mungkin beli sebotol aqua ya, orang di gerobak minumnya disediakan aqua botol, tapi kami memilih air minum biasa yang agak dingin.

Pk 14.30 ana-anak selesai renang, mandi lalu ontheling menjelajah desa. Masalah timbul waktu anak-anak nggak bisa menaiki sepedanya karena terlalu tinggi. Jadilah kami memboncengkan mereka dipandu seorang guide dari rumah Tembi. Pertamanya sih ngeri banget karena udah lama nggak naik sepeda jadi oglak-oglek, menggak-menggok, kiri kanan. Tapi, sesudah 10 kayuhan, oke lah.

Pertama kami diajak melihat kerbau dan anaknya. Sekalian refresh pengetahuan bahasa Jawanya. Kan di sekolah diajarin nama anak-anak hewan. Mumpung ada contohnya langsung kerbau dan sapi beserta anaknya masing-masing, aku ingatkan lagi aja. Ternyata yang paling Jessie ingat itu anaknya gajah, namanya bledug, ha3.

Setelah melihat kerbau, kami diajak melihat kerajinan membuat bingkai cermin dari pelepah daun pisang. Menarik, karena jadi tahu campuran lem yang dipakai lalu cara membuat tutup vinil belakangnya itu. Dari sana kami beranjak ke kerajinan pre order dan batik Tembi. Pemiliknya sangat ramah dalam menjelaskan karya-karyanya. Dalam hati, aku naksir nih menjalin kerja sama dengan beliau, siapa tau bisa ngeramein toko onlineku. Bapak ini juga punya guest house seperti Rumah Tembi, tapi hanya dua rumah. Ada yang pake AC per malamnya 400 rb, yang trad 350 rb. Cuman nggak tau apakah dapat makan 3x sehari seperti di Tembi.

Di jalan pulang kami menjumpai workshop kerajinan yang tertutup untuk umum, kepunyaan seorang pengusaha australia yang tinggal di desa Tembi. Mungkin untuk ekspor, jadi khawatir disainnya muncul duluan di toko online sebelum pesanan sampe di tujuan, bisa kena denda cidera janji tuh, hiks.

Perjalanan menjelajah desa ini mengingatkanku akan desa KKN, yang rumah-rumahnya masih berlantaikan tanah. Ada teras tempat duduk-duduk sambil dengerin kicau burung perkutut. Juga bau rokok lintingan, yang umumnya dikonsumsi para pria dewasa sambil nunggu magriban. Juga tatapan penduduk akan hadirnya orang asing di tengah-tengah miliu mereka. Beberapa tertawa geli melihat aku naek sepedanya masih nggak lurus. Aku sih sama sekali nggak tersinggung karena di sana aku menatap keceriaan alami yang sama sekali nggak dipoles jaim-jaiman.

Menghabiskan hari di Tembi terasa cepat berlalu, liburan menyenangkan di selatan Yogya.

Merencanakan Liburan

Tahun lalu, kira-kira seperti waktu ini, kami mulai mendoakan untuk liburan keluarga, ke tempat yang suamiku diutus tahun sebelumnya.

Kami sadar bahwa biayanya akan sangat besar dan persiapannya memerlukan waktu banyak. Kalau sekadar jalan-jalan ke lain kota sih nggak kepikiran, tapi ini jalan-jalan ke luar negeri, walaupun tapaknya baru bisa sampe Singapura dan Malaysia. Yang jelas kami bertiga harus giat menabung supaya at least punya uang jajan di negeri orang.

Maka tahun lalu aku bekerja sangat keras menyelesaikan order buku-buku yang aku terima. Aku juga giat mencari order pesanan kaos dan seragam supaya ada pembagian dividen sehingga bisa ditabung. Jajan dan makan di luar dikurangi hampir 50%, dan ternyata itu sangat membantu. Bayangin aja untuk minum saja di resto biasa bisa mencapai 11.000 setiap kali makan, kalau 3 x sehari makannya di rumah, berarti ada penghematan 33.000 per hari dan 900.000 per bulan, belum lagi makannya! Semua yang bisa dihemat, dihemat lah tahun kemarin.

Puji Tuhan, pertengahan tahun tabungan mulai keliatan hasilnya. Jadi, kami mulai hunting budget ticket dan melancarkan komunikasi dalam bahasa Inggris bagi anak kami. Karena, dengan kemurahan Tuhan seorang kawan mengundang kami menginap di apartemennya selama di Singapura. Kan mau tidak mau anak kami harus berkomunikasi dengan anak kawan kami itu. Kira-kira September kami mendapat budget ticket yang luar biasa murah, karena berangkat dan pulang di hari raya, maka harga tiket dipotong 50%, alahasil pulang pergi kami hanya menghabiskan sekitar 900.000 per orang. Buat bandingan aja, kadang-kadang ke Jakarta dengan Garuda bisa segitu harganya...

September-Oktober kami merancang mau ke mana aja di luar negeri itu. Kalo di Singapura sih kami nggak terlalu khawatir karena sistem transortasinya begitu jelas dan peta melimpah ruah di mana-mana, lagipula ada kawan kami siap memberi petunjuk. Yang kami khawatirkan adalah di KL karena kawan-kawan yang tinggal di sana semua menyat dari kota itu. Jadilah, September-Oktober browsing ke mana-mana untuk melihat tempat dan transportasi selama di KL. Setelah mendapat sedikit gambaran, aku mulai ancang-ancang membuat paspor, karena paspor ini diperlukan untuk memesan tiket bus dari Singapura ke Genting Highlands. November paspor jadi, lalu aku tanya-tanya untuk pembebasan fiskal di bandara.

Sekitar pertengahan November aku mulai aktif di Kaskus dan mulai posting di bagian travellers sekitar pertengahan Desember. Lalu mulai mencari hotel di KL. Untung ada kawan yang membantu mencarikan apartemen milik orang Indonesia yang biasa disewakan kepada orang Indonesia yang melancong ke KL. Jadi penginapan di KL beres. Penginapan di Genting pun sudah beres pada bulan ini, karena kawan kami yang di Singapura segera menguruskan begitu kepastian ke negerinya dan Genting Highlands didapat.

Akhirnya kami berangkat ke bandara Adisucipto, dengan syarat-syarat yang udah dilengkapi semuanya. Kali ini perjalanan setengahnya kayak backpacker. Untung udah banyak buku tentang backpacker, jadi ...just go!!!