Menepati Janji

Suatu kali aku dan Jessie bermain ke kawan yang sudah lama tak kami kunjungi, saking sibuknya aku menjalankan usaha. Nah, pas mau pulang, tiba-tiba aja aku nanya apakah temannya anakku ini mau ikut. Langsung dia mengajuk mamanya supaya diperbolehkan ikut. Aku pikir, karena kami lama tak bertemu, manalah mungkin dia masih lengket dengan aku, nggak taunya salah duga.

Lalu mamanya bilang kalo Natal nanti Matthew akan menari di gereja. Spontan aku dan Jessie menjawab kalau kami akan datang dan melihatnya menari. Pertama-tama sih supaya dia nggak mengajuk, tapi juga karena senang melihat anak kecil menari.

Hari berlalu seolah tertiup badai, begitu cepat dan padatnya setiap hari. Hingga di tanggal 19 Des lalu, aku kelelahan karena berbagai acara di sing hari. Aku baru nyampe rumah lagi sekitar pk 14.30, padahal acara mulia pk 16.00. Tambahan, Jessie mengelak untuk pergi dengan alasan lelah. Tapi, di mataku terbayang seorang anak yang menanti-nanti teman dan Iienya sebelum dia menari. Terbayang kekecewaan yang akan merusak Natalnya dan seluruh liburannya, bahkan mungkin juga tertoreh luka di hatinya karena janji yang tak ditepati. Aku paling pantang kalau janji tak ditepati, hari inilah aku diuji.

Akhirnya aku bujuk-bujuk anakku supaya mau datang ke Natal itu dan melihat temannya menari. Dengan visualisasi dari papinya, anakku langsung berangkat. Papinya hanya mengatakan, "Nanti dia menari sambil nangis lho, Ciecienya nggak datang."

Selama kebaktian Natal, pengkhotbah begitu luar biasa membawakan kisah Natal Pertama, hingga anakku begitu menikmati kebaktian itu. Satu hal penting yang Jessie dan aku pelajari adalah betapa pentingnya menepati janji kepada seseorang. Sekali pun untuk itu aku harus mengalahkan penatnya kaki menginjak kopling. What a precious Christmas!

Harga yang Sangat Mahal

Kalau musim ujian seperti yang baru saja dilalui Jessie, mulutku biasanya nggak berhenti-hentinya memintanya supaya teliti membaca soal. Sekali pun kebiasaannya belajar pagi belum banyak berubah, semua itu masih dapat diatasi. Malam tidr jam 20.00 dan tiap pagi bagun pk 03.00 untuk belajar hingga bahan dikuasai. Tetapi, semua itu akan hancur kalau tidak teliti membaca soal.

Terus terang aku nggak begitu yakin sama ketelitiannya, terutama dalam matematika. UAS kali ini juga aku mengingatkannya supaya teliti. Matematika itu nggak ada yang susah, tapi yang ada adalah kesalahan jawaban karena kurang teliti. Kesalahan yang umumnya terjadi pada anakku itu, kelompatan kalau diminta mengurutkan bilangan. Lalu, kadang-kadang kalimat matematikanya sudah betul, jawaban akhirnya yang salah angka, jadilah berkurang nilainya.

Waktu terakhir aku bilangin supaya teliti, aku udah khawtair. Hatiku nggak tenteram melepas dia ulangan hari itu. Entah kenapa. Beberapa hari kemudian, keluarlah nilai ulangan matematikanya, yang cukup mengejutkan aku: 77,6! Langsunglah keluar petuah-petuahku sampai dia mengerti betul kenapa aku menghendaki nilai di sekitar 85 untuk UAS. Aku nggak pernah menuntut nilainya 100, tapi juga nggak boleh seenak-enaknya cuma di kisaran 70-80.

Apa mau di kata, nasi telah menjadi bubur. Mungkin saja ini pelajaran buat ibunya ini supaya menerima hasil yang sekadar cukup-cukupan. Terlalu mahal harganya kalau karena hanya kurang teliti nilai menjadi 77,6....

Hawa Liburan

Di hari pertama Desember ini, hawa liburan mulai menguar di rumah kami. Rasanya hari-hari penuh kerja keras di 2009 sebentar lagi akan berakhir. Tinggal 30 hari lagi tahun ini pun selesai. Tahun yang dimulai dengan berbagai kekhawatiran dan harapan, telah terlewati dengan baik.

Dari bangun pagi tadi pk 03.00, semangat belajar Jessie tinggi sekali. Biasanya tiap lima menit minta istirahat, tapi pagi ini belajar sejam terlewati tanpa terasa. Istirahat lima menit, langsung dijalani lagi hingga pk 05.00. Aku aja yang biasanya bete nemenin dia belajar, pagi ini mau tak mau terkagum-kagum melihat semangatnya, jadi ikut semangat.

Waktu aku tanya koq dia seneng sekali, Jessie langsung jawab begini, "Soalnya ini udah Desember, Mom, Jessie pengen cepet-cepet liburan. Tapi sebelum itu Jessie mau belajar rajin-rajin supaya nilai UAS nggak ada yang di bawah 90." Nah...., malah aku yang tertegun, malah memecut semangatku juga untuk memberikan yang etrbaik di paper terakhirku.

Hawa liburan emang terasa banget, semua jadi ringan riang....

Gregetan

Kalau aku perhatikan akhir-akhir ini, banyak sekali komen atau opini soal kasus yang melanda negara tercinta. Sah-sah aja sih orang berkomentar, namanya juga negara merdeka, merdeka dalam berbicara dan merdeka dalam berpendapat.

Karena banyak pendapat yang beredar dari segala penjuru mata angin, mau tak mau kan ikut berpikir, merenungkan lalu menanggapi. Bahkan kalau bisa mengajukan usul pemecahan masalah, kayak yang di sana masih ijo aja soal problem solving. Terus terang, aku pun terpancing untuk punya opini walaupun terbatas untuk hatiku sendiri.

Buntut-buntutnya aku jadi bertanya-tanya, apakah ini euforia berpendapat, sampai lupa dengan tugas utamanya sehari-hari. Atau berpendapat untuk menutupi borok sendiri? Kan gampang tuh berujar ini dan itu, padahal dirinya juga melakukan hal yang sama, cuma dalam skala yang lebih kecil atau skala yang tak terlihat media massa bahkan tak diketahui tetangganya.

Kalo udah gini aku hanya khawatir pepatah gajah di pelupuk mata tak terlihat tetapi kuman di seberang laut nampak jelas semakin marak terjadi. Kiranya Tuhan Yang Mahakuasa memampukan aku untuk tidak terseret dan mengejawantahkan pepatah itu dengan senang hati di dalam hidupku.

Icip-icip Masakan Londo

Mungkin Yogya terlihat sebagai target pesir kuliner yang menjanjikan. Nggak heran, banyak resto muncul di sana dan di sini. Bahkan rumah-rumah kuno berubah wajah jadi resto or warung kopi. Tempat kost ku dulu di Sagan juga berubah menjadi seperti itu. Itu hanya salah satu contoh nyata.

Yang kami datangi beberapa hari lalu itu resto di belakang toko meat and grocery. Keliatannya boleh juga, jadilah kami mencobanya. Untung saja Jessie sudah makan sehabis renang, jadi kalau pun tak ada menu yang cocok buatnya, kami akan tenang, karena dia sudah makan.

Begitu disodori menu, yang aku lihat pertama itu harga teh hangat. Ternyata...9.500. Wah, ini kejutan. Jadilah kami mencoba menu-menu ringan, yang harganya terjangkau. Kalo udah begini nih, realistis aja. Daripada mesen menu yang keliatannya enak tapi nggak cocok sama selera lidah, bisa berbuntut-buntut penyesalannya. Akhirnya kami memilih steak sandwich, beef that salad dan soup cream mushroom.

Nah, di depan resto itu, hanya terpisah lemari pembatas, ada tokonya. Sambil nunggu pesenan dateng, aku liat-liat ke sana. Segudang nama asing menyerbu otakku. Dari sekian puluh item, paling yang aku kenal hanya yoghurt dan oatmeal. Nah ini asyiknya bertualang kuliner, jadi tahu ini dan itu. Cuma malam itu aku males bertanya, hanya menyerap aja nama-nama itu. Suatu kali kan bakal ketemu kalo baca majalah atau koran.

Tunggu punya tunggu, keluarlah snack stick keju, free of charge, dan lumayan enak. Agak padat sih, nggak kayak stick keju biasanya. Nggak lama keluar tuh teh hangat yang 9.500. Buset deh, cangkirnya gedhe banget, ditambah biskuit kelapa yang antik rasanya. Jadi, yang penting cara penyajian, maka harga akan mengikutinya, he...he...he...

Steak sandwich datang, waw....lumuran lemak dari striploinnya sungguh menggiurkan. Empuk lagi, jadi ayem yang makan. Yang antik itu beef saladnya. Dagingnya empuk dan rasanya enak. Cuman nih salad, mungkin karena dari Thai, jadi ada sounnya. Bawang merahnya juga lumayan banyak. Sampe sini sih aku masih bisa menikmati dan merasa enak. Suatu kali, tergigit sesuatu, begitu digigit rasanya aneh dan menguar semacam wangi daun atau biji-bijian. Aku sampe nyariin tadi ngegigit apa ya. Karena aku nggak gitu suka, makannya jadi berhati-hati. Beberapa kali masih terjadi, sampe Jessie pikir aku makan daun seledri. Padahal daun seledri kan keliatan dan udah dipinggirin semua. Aku menduga itu semacam biji kecil berwarna hitam, tapi gak tahu namanya.

Bersamaan dengan cream soup disajikan roti panjang dengan daun-daun yang ikut dipanggang. Tuh roti rasanya enak, hanya toppingnya itu yang antik, warnanya hijau kehitaman. Kalo nggak salah sih ada pastillo-pastillonya. Jessie kalo udah liat makanan yang agak-agak gelap begitu langsung nolak (untung rawon sama brongkos masih doyan, itu masakan andalan ibunya je).

Jadi, kesimpulan malam itu, musti berani nyoba. Suatu kali kalau berada di tempat yang asing samsek, nggak lari ke fried chicken mulu. Malam itu lidah dikorbanin sedikit, indra pengecap dibiarinin bertemu rasa yang aneh-aneh, untungnya lambung dan pencernaan nggak berontak.

Warung Kopi Purnama

Sabtu minggu lalu, pagi-pagi benar, aku dan Jessie tiba di Bandung. Perjalanan kali ini adalah untuk reuni, bersenang bersama teman-teman zaman SMA dulu. Begitu sampe Bandung masih malas geliatnya, laiknya orang yang baru bangun tidur. Tak lama kemudian Nani datang menjemput.

Kami langsung menuju hotel Cemerlang di Pasir Kaliki dan menunggu Susan di sana. Dia harus mengantar anaknya dulu baru ke hotel. Begitu datang langsung rame deh ngobs ke kiri dan ke kanan. Yang uniknya makan paginya agak jauh dari hotel. Buat orang Bandung, segitu sih deket meureun, tapi buat aku agak jauh, abis muter-muter jalannya.

Sampailah di Jl. Alketeri. Seingatku jalan ini sering dilewati bemo yang aku naekin kalau mau ke sekolah dari Pasir Luyu. Nah, yang ngagetin itu, di jalan ini ada sebuah toko model lama yang diberi nama Warung Kopi Purnama. Tokonya kecil dan biasa-biasa aja, tapi di sekitar toko itu bertaburan tukang bubur ayam, lotek, buah, dll. Ternyata warung ini sudah lama. Koq dulu nggak keliatan ya, apa dibukanya pagi-pagi aja spesial buat breakfast ya? Karena itu, nggak heran kalo yang duduk kongkow-kongkow di situ engkong-engkong. Mereka saling menyapa, baca koran sambil nunggu pesanannya datang dan tuker-tukeran liat cincin berbatu. Aku seneng dengan suasana ini, karena aku melihat warung kayak begini bisa menjadi penyemangat hidup buat orlansia. Kali aja di rumah udah nggak ada lagi yang nyiapin breakfast atau kopi atau teh tubruk, di sinilah mereka mendapatkannya plus ngobrol sesama orlansia.

Yang bikin aku dan Jessie seneng lagi, ternyata neunya serba roti. Aku pesen roti dadar telur, Jessie roti bakar mentega gula, Susan roti sekba, yang ternayat didemenin juga ama Jessie. Nani pesen otak-otak. Kita kira sedikit tuh otak-otak, begitu dateng, sepiring penuh, ha3. Puas deh makannya.

Kadang kota lama menyimpan sesuatu yang oldiest dan ngangenin.

Pulang sarapan kami beli ambokue, di kelenteng depan rumahnya Yulius, hmm...yummy deh pokoknya, bungkus Mang, bawa pulang ke hotel. Nggak lama kami duduk-duduk di kamar, datanglah Irma. Dia dateng buat nganterin aku sama Jessie ke Ganesha, soalnya Nani dan Susan harus gladi resik buat acara reunian besok.

Petualangan pun dimulai dari Paskal ke Ganesha karena Irma lupa-lupa inget jalan ke sana. Di tengah jalan Mama telpon katanya dia sama Papa udah di Riau, abis dari FO. Jadi kita ketemuan di depan gedung ITB nya persis. Naek deh Jessie, nyemplak ke kuda putih. Senang sekali dia, sampe nggak berasa udah 3 puteran, abis itu masuk hotel lagi. Nah, Irma cabut dari sini.

Papinya Jessie udah dateng dari Jakarta, lalu kita ke Ma' Uneh. Tuh resto emang terkenal enak, kata Nani, cuman yang nggak sanggup jalannya! Kecil meliuk-liuk, kesian juga Mama, tapi namanya juga nyoba, ya dijalanin aja pelan-pelan. Yang bikin seneng udang windu gorengnya, puas ngegigit dagingnya yang tebal. Papa sih makan semur jengkol. Kalo aku nurutin anjurannya Nani, makan ulukutek leunca, tipikal masakan Sunda. Lalapannya juga khas Sunda, macem-macem nama daunnya, nggak kayak lalapan Yogya yang isinya cuman 3 macem: kol, ketimun dan daun kemangi, he4.

Puaslah kami berjalan-jalan di Bandung. Aku senang karen Jessie kesampean mau naek kuda di Ganesha, tempat ade-adeku kuliah dulu.

Termakan Iklan

Suatu kali di surat kabar keluarga kami muncul artikel kuliner tentang gule balung a.k.a. lelung. Seperti biasa, aku langsung tertarik karena kambing itu makanan wajib kalo tekanan darah drop. Nggak ada yang secepat itu membuat mataku kembali terang, kepala nggak pusing dan hati jadi nyaman.

Cuma, tempatnya jauh sekali. Aku yang tadinya menggebu-gebu jadi melorot, karena lelung ini adanya di daerah Bantul. Iu daerah yang cukup asing bagiku. Jadilah lelung hanya tinggal angan-angan. Tapi, kali bawah sadarku masih tetep kepengen. Jadi, waktu aku mengganti tali kipas di bengkel langgananku, aku cerita soal lelung ini. Nah, Pak Geng, sang pemilik bengkel itu paham luar dalam soal Bantul, terlebih lagi soal makanan yang khas Yogya dan tempatnya nylempat-nylempit, Selesai aku cerita, beberapa hari kemudian kami mendatangi tempat itu.

Sialnya, aku tak membawa serta artikel di koran itu. Hanya berdasarkan ingatan bahwa lelung itu adanya di daerah Palbapang atau Srandakan. Perjalanan ke Bantulnya sih lancar-lancar aja, begitu sampe di alun-alun kota kami mulai bingung. Ke arah mana ya tepatnya gule itu. Masuk sampe jauuu...h mendekati tempat batik Bantul, lalu kembali lagi. Akhirnya keliatan di pinggir jalan itu papan namanya yang kecil, Lelung Jodog.

Karena nyarinya udah kelamaan, minatku mulai hilang. Apalagi udara bukan main panasnya. Saat mencari aku malah membayangkan enaknya kalo aku di rumah aja duduk di teras sambil baca, ha..ha...ha...kurang sopan, sudah nyeret-nyeret orang tua nemenin nyari lelung malah kehilangan minat.

Warungnya sederhana, ubinnya pun hanya semen biasa. Warung ini mengingatkanku pada warung-warung di pedesaan sekitar Prembun, tempatku KKN. Tentu dengan segala atribut keramahan khas pedesaan.

Begitu pesanan datang, wuuuih banyaknya!! Nah, trouble muncul waktu aku menikmati lelung itu. Alotnya pol! Akhirnya aku hanya makan satu potong, sisanya aku bungkus deh. Pak Geng senyam-senyum liat orang kota termakan iklan.

Tapi, kekesalanku sirna begitu lihat Jessie makan lelung ini dengan semangat 45, sambil tak henti-hentinya bertanya, "Mom, beli di mana nih gulenya? Koq enak? Hmm...enak...enak nih. Nambah aah...!" Yei, emaknya kepayahan ngabisin satu potong, malah anaknya lahap.

Ya syukurlah, tak sia-sia ke Jodog, asalkan Jessie seneng.

Bau Donggala

Suatu kali kami bertiga kelelahan karena berbagai aktivitas. Kalo udah begini, paling enak direfleksi. Cuma, karena belum makan malam, jadi kepikiran makan di bakso Pringgading lalu refleksi di Kakiku di ujung jalan. Sementara Jessie dan papinya makan, aku jalan kaki mendaftar ke tempat refleksi itu.

Lokasi jalannya memang berada di salah satu Pecinan Yogyakarta. Begitu aku jalan, sudah tercium bau hio, semacam dupa untuk sembahyangan orang Tionghoa. Baunya yang khas membuat ingatanku melayang ke rumah mertuaku yang juga pake hio-hio kayak begitu. Lalu di kiri dan kanan jalan ada orang duduk-duduk ngobrol di depan pintu toko yang dicet hijau terang seperti rumah-rumah Tionghoa zadul. Suara orang ngobrol bagaikan musik merdu yang mengiringi perjalananku malam itu.

Tiba-tiba terdengar gelas pecah dan suara ibu-ibu ngomelin anaknya. Tapi masih kalah sama instrumen Mandarin dari rumah di seberangnya. Jadi aku berjalan sambil mencandra pernak-pernik percik kehidupan di Pecinan. Suara-suara itu silih berganti, jadi jalan sunyi senyap itu seolah ditingkah aneka suara dari dalam rumah...

Di jalan itu ada semacam tanh berpasir yang tak berpenghuni. Maksudku, di situ nggak ada tenda jualan makanan atau rumah. Hanya seng yang menutupi sebidang tanah. Penerangannya pun remang-remang. Di situlah aku mencium harum rokok lintingan khas pedesaan di Jawa Tengah, semasa aku KKN dulu.

Kalo nggak jalan kaki gini, semua cita rasa udara tak akan tercium. Ingatanku langsung menuju Donggala, tempat mertuaku. Di sana juga situasinya persis seperti ini. Mungkin karena jarang ada kegiatan malam hari. Jadi sesudah tutup toko, mandi, lalu mulailah acara kongkow-kongkow sampe malam di depan toko. Kadang anak-anak berlari-lari di jalan yang belum teraspal sempurna. Kalau bulan terang benderang, anak-anak bernyanyi-nyanyi di jalan sementara orang dewasa bercengkerama sambil menumpangkan satu kaki di atas kaki lainnya, atau sambil bisik-bisik.

Paling nggak malam itu aku menyicipi suasana Donggal yang telah lama tak kulihat...

Mendadak Liburan

Menjelang akhir tahun gini malah banyak acara jalan-jalan. Dasarnya aku emang suka banget jalan-jalan dan mengeksplorasi suatu kota, jadi hayu aja. Tapi jalan-jalan kali ini bener-bener tak terduga.

Awal November nanti kawan-kawan eks SMA Trinitas Bandung ngadain reuni perak. Mulanya aku sih agak-agak nolak ikut yang begini-beginian deh. Dari berbagai pengalaman, reuni tuh nggak bagus juga efeknya, walau nggak sedikit juga yang makin memperluas wawasan. Well, pada dasarnya aku orang yang kekinian deh, bukan yang seneng mengingat-ingat masa lalu, sebagus apa pun masa lalu, apalagi yang jelek-jelek. Book has been closed, ha...ha...ha..., there is a new book to write.

Cuman....temen-temen di Bandung nih luar biasa! Tiap hari aku dikilik-kilik supaya ikutan reuni. BUkan cuma satu lagii..., gantian deh. Belon juga final keputusan ikut apa nggak, tau-tau di sms pesenan bakpia segudang, jadi makin condong buat ikutan reuni. Emang bageur-bageur pisan...ha...ha...ha...

Nah, yang susah tuh koordinasi ama misua. Dia sih suami yang sangat mandiri dan nggak manjaan orangnya, tapi aku aja yang nggak enak ninggalin dia sendirian di rumah. Selain itu, kadang-kadang ada rakor di Jakarta. Lagi mikir-mikir begitu, suatu sore dia pulang dengan pemberitahuan bahwa akan ada rapat di Jakarta 5 November. Lalu malam itu kami bertiga diskusi, sampa ada aha! Kenapa juga misua pulang ke Yogya tanggal 6 lalu tanggal 7 kami berdua berangkat ke Bandung? Kan enakan abis rapat di Jakarta dia langsung ke Bandung, kami berangkat dari Yogya menuju Bandung, ketemuan di sana deh. Senin pagi pulang sama-sama ke Yogya. Berarti misua cuti sehari di hari Senin. Aku ngijinin Jessie 2 hari, Sabtu dan Senin. It is a really good idea! Lalu kemarin terpikir, tidur aja di kereta Jumat malamnya, jadi Sabtu pagi udah nyampe Bandung. Horeee..., sekalian Jessie bisa naik kuda di Ganesha, dia seneng banget berkuda di sana.

Setelah itu aku ngajak Mama Papa ke Bandung juga, jadi bisa ketemuan. Soalnya sejak pindah ke Purwakarta jadi susah ketemuannya. Ketepatan bener Papa nggak dines tanggal 7 Nov, jadi kami akan satu hotel di Bandung. Bener-bener deh mendadak liburannya, asyik...., moga-moga lancar sampai selesai.

Gamang

Di sebuah komunitas yang aku ikuti, ada seorang ibu dengan dua orang anaknya. Pertama kali aku melihatnya, langsung timbul pertanyaan dalam hati tentang pekerjaannya. Aku cuma mau tahu aja, karena jarang ada ibu yang seperti ini. Anak-anaknya pun punya cara yang unik waktu memperhatikan orang lain. Aku belum berhasil mendekatinya, karena ia selalu duduk agak menjauh dari kami setiap kali kami berkumpul.

Suatu kali muncul sas-sus kalau ibu itu pernah dijumpai di perempatan sedang mengamen dengan anak-anaknya. Seperti biasa, aku cuek dengan sas-sus itu, karena bagiku itu bukan urusanku. Kalau mau ya ditolong, kalo nggak ya nggak usah diributin atau digosipin, buang-buang waktu dan nggak ada faedahnya.

Kemarin sore, setelah pulang rapat aku berhenti di perempatan Pingit. Lagi asyik-asyiknya mikir, di sebelah kananku melintas seorang ibu sedang begging dengan anak di gendongannya. Set!! Kayaknya aku koq nggak asing dengan wajah ini, lalu aku perhatikan lagi. Wjah yang sebagian etrtutup topi itu ternyata ibu-ibu yang sering mengundang tanya di hatiku.

Saat itulah muncul kegamangan dalam diriku. Gimana ya kalau dia menghampiri jendela mobilku? Kalau aku memperlihatkan bahwa aku mengenalnya, dia malu apa nggak ya? Padahal jelas-jelas dia menutupi mukanya dengan topi agar tak dikenali. Kalau aku nyuekin dia, dia tersinggung nggak ya? Eee...h bener, dia menghampiri jendelaku. Dengan cepat aku memutuskan untuk menatap ke depan sambil menunjukkan penolakan dengan tanganku. Waktu aku melakukan itu, aku hanya tidak ingin dia malu lalu nggak muncul lagi di komunitas kami.

Sampai lampu hijau dan aku sudah di rumah, aku masih terus memikirkan ibu itu. What should I do actually? Aku jadi pengen mendekatinya di waktu pertemuan kami nanti. Mungkin aku bisa memulai dengan pertanyaan, "Kayaknya saya ketemu ibu Sabtu lalu di Pingit?" Emang kalo gini cara bertanya model Yogya paling cucok, muterlah dulu sampai ke Solo baru balik lagi dengan pertanyaan yang semakin fokus. Intinya aku pengen menjenguk ke jendela hidupnya, kan gimana-gimana juga kami rutin bertemu. Pastilah ada alasan mengapa sampai ia menjadi seperti itu. Hanya, kalau sas-sus itu benar adanya, mungkin sebaiknya ada tindak lanjutnya. kalau-kalau ada sesuatu yang bisa aku bantu untuknya.

Dunia memang sedang bersusah...

Aku Dicium

Kami hampir tak bersama seharian kemarin. Setelah pulang sekolah, Jessie diminta mengajar tari Truno pk 14.00. Jadi, pulang sekolah dia langsung makan, istirahat sebentar lalu kami berangkat lagi menuju tempatnya mengajar. Sementara aku ada ceramah di malam hari.

Waktu makan siang aku melobby Jessie supaya mau dijemput papinya sehabis mengajar. Tadinya dia minta dijemput lalu ikut aku ke tempatku ceramah. Aku khawatir dia terlalu lelah karena dari sekolah belum tidur siang. Kalau ikut aku ceramah, bisa-bisa teler pas pulang malamnya. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan akhirnya dia setuju istirahat di rumah, nggak ikut aku ceramah, walaupun agak sedikit ngedumel, soalnya dia paling seneng ikut aku ceramah, "Ketemu kakak-kakak, Mom," begitu alasannya.

Ketika sampai di tempatnya mengajar, aku bilang begini, "Sudah ya Jess. Sampai ketemu nanti malam. Jessie kalo udah ngantuk langsung bobo aja, nggak usah nungguin mami." Aku kaget waktu tangan mungilnya merangkul leherku dan memeluk seraya menciumku (terharu mode on). "Oke Mom, hati-hati ya."

Ini nggak kayak biasa! Berkali-kali kami tak bisa bersama, dia cuma melambaikan tangan. Tapi siang kemarin dia memeluk dan menciumku! Jadi semangat setelah itu untuk mematangkan persiapan ceramah.

Kalau aku renung-renungkan lagi, kami memang sangat dekat. Aku bersyukur dia mau curhat sama aku, bukan dengan orang lain, karena pada akhirnya dia paham kalau orangtuanya nggak akan pernah menjatuhkan anaknya sendiri. Kalau aku lalai memeluknya dalam sehari, maka Jessie mendatangi aku, lalu senyum-senyum sambil melirik dan merentangkan tangannya, minta dipeluk.

Luv u, Jess!

Bolu Bawean

Kadang-kadang aku suka inget dan seolah-olah di udara tercium aroma Bandung. Itu kangen kali ya namanya? Ha...ha...ha...!

Salah satu yang bikin aku kangen Bandung itu bolu Sweetheart. Zaman aku di sana, sekitar 1982-1985, bolu ini sangat terkenal, karena rasa rumnya sangat kuat. Aku mencicipi pertama kali saat ada yang mengantarkannya ke rumah di Pasir Luyu, Buah Batu, itu.

Sejak itu aku tergila-gila sama bolu Sweetheart, tapi ya nggak bisa sering-sering makan, karena harganya selangit. Waktu itu Papa kan studi S2, jadi tahu sendiri lah.

Lebaran kemarin teman lamaku dari Bandung datang. Entah dia baca di fb atau feeling aja kalo aku suka bolu ini, kemarin tiba-tiba paket datang dari Bandung. Guess what?.....Bolu Sweetheart, tapi sekarang udah ganti nama jadi bolu Bawean, kali karena mengikuti nama jalan. Waktu di sms, aku pikir satu sloaf aja, nggak tahunya dua sloaves!!! Masih ditambah satu pack brownies dan dua pack bagelen keju. Wah...., ini bukan cuma pucuk dicinta ulam tiba tapi mak nyuss!

Jadi, hari ini sarapan bolu Bawean dengan kopi hangat. Jessie juga ikut-ikut sarapan bolu dengan susu Ultra. Sarapan gini emang cocok buat pagi-pagi sekitar 03.20, ringan dan ueeenak.

Thanks ya teman buat perhatiannya.

Merindukan si Bungsu

Kemarin malam, sekitar pk 23.00, hp ku berbunyi. Seperti biasa, kalau sms masuk pada jam-jam yang nggak biasa, mesti ada berita penting. Ternyata induk semang kost ku meninggal dunia. Memang aku pesan sama cucunya yang sering ketemu supaya kalau ada apa-apa sama omanya, aku diberitahu.

Cukup lama aku nge-kost di tempatnya, hampir 9 tahun. Dengan empat orang yang juga hampir sama lamanya dan beberapa teman yang silih berganti. Banyak hal aku pelajari dari beliau, terutama kerapihan penampilan. Salah seorang adik kelas kaget waktu bertemu aku setahun lalu, "Lho, Mbak? Sekarang koq nggak seperti waktu kuliah? Dulu baju, sepatu sampai anting-anting dan tas senada semua. Sekarang Mbak nyaman dengan jins dan oblong ya?" Nah, sampe segitu pengaruh Tante sama aku, walaupun aku tak menyadarinya. Belum lagi sikap hidupnya. Semakin Tante diam, semakin keras dan nyata apa yang mau diungkapkannya. Pernah nih teman-teman merayakan ultahku dengan masak indomie goreng sekuali gedhe. Begitu aku pulang rapat dan buka pintu kamar, mereka langsung teriak. Padahal udah malem banget waktu itu, sekitar pk 10.00. Sesudah itu dengan sendirinya kami ber sst...sst...sst...ria, khawatir Tante terganggu. Kamarku di sebelah kamarnya Tante. Besokannya waktu sarapan dan Tante lewat, beliau hanya diam tak berkomentar tentang berisik-berisik malam sebelumnya. Tapi dari raut wajahnya kami tahu beliau memaklumi anak-anak kostnya yang kadang-kadang masih kayak bocah padahal sudah mahasiswa.

Induk semangku ini meninggal dalam usia sekitar 90 tahun. Waktu layat aku kembali bertemu dengan anak-anaknya yang dulu aku panggil Mas dan Mbak, serta cucu-cucunya yang sebaya dengan aku. Ada salah satu yang cerita kalau Tante udah hampir 5 tahun nggak bisa mengeluarkan suara. Sebelum meninggal ini sudah tiga kali kritis. Pada kondisi kritis yang ketiga, anak, menantu, cucu, cucu mantu dan cicit sudah meminta maaf, baik langsung hadir di sekitar Beliau atau pun melalui telepon. Ketika anak bungsunya telepon, tiba-tiba Tante mengucapkan namanya dengan suara yang sudah 5 tahun tak pernah terdengar. Anak bungsunya yang waktu telepon berada di Yogya langsung berangkat ke Ciamis. Dia mencuci kaki ibunya dan meyakinkan ibunya bahwa hidupnya oke. Tak lama kemudian Tante berpulang.

Ternyata dia merindukan anak bungsunya di alam bawah sadarnya. Memang menurut penelitian, kalau seseorang sudah tak berdaya apa-apa, koma atau hampir meninggal, salah satu organ yang masih berfungsi dengan baik yaitu telinganya. Ajaib memang, namun itulah kenyataannya. Mungkin itu sebabnya, pada pasien-pasien koma, suara dari orang-orang terdekat dalam hidupnya disinyalir dapat mengembalikannya ke alam realita. Atau pada orang-orang yang hampir meninggal, bisikan bahwa semua merelakan kepergiannya dapat melapangkan jalannya ke alam baka.

Melalui misa requim siang ini aku kembali menghayati bahwa hidup manusia ini seperti bunga ilalang, yang hari ini ada dan esok hilang. Selamat jalan Tante Nardi.

Diglot

Ulang tahun kali ini ada hadiah istimewa dari sahabat keluarga kami, sebuah Alkitab diglot. Kado ini seakan mengukuhkan keseriusanku untuk memelajari teologi.

Jangankan orang lain, bapakku aja bingung waktu aku beritahu kalau sekarang aku kuliah teologi. "Emang mau jadi pendeta, kuliah koq teologi?" Nadanya biasa lah, agak-agak bernuansa kolong walau udah purna bakti sekian tahun lalu.

Pertanyaan kenapa itu yang terus mengikutiku setelah aku mendengar khotbah Pdt. Rudy Budiman di GKI Taman Cibunut, hampir seperempat abad silam. Waktu aku cerita ke Papa kalo mau masuk teologi, Papa nggak bisa tidur. Beliau berpendapat teologi itu ilmu abstrak dan nggak bisa buat hidup. Lalu aku disarankan masuk ke fakultas yang agak-agak mirip teologi. Jadilah aku ke psikologi.

Tahun-tahun berlalu, tapi keinginan itu terus bercokol di dalam hati. Sampai, aku berani menuliskan resolusi tahun 2006 untuk sekolah theologia. Tapi, setelah menulis resolusi itu, hambatannya makin menjadi-jadi, mulai dari biaya, waktu, multiple task sampai niat.

Tahun ini, aku dapat cukup banyak dividen usaha, yang cukup untuk biaya kuliah satu matkul satu semester. Cepet-cepet deh aku mendaftarkan diri dan melunasinya. Biasa ibu-ibu, ada uang sedikit larinya ke seprei apa kuali, ha...ha...ha...! Jadilah aku kuliah lagi.

Nah, di ulang tahunku ke 43 ini aku dihadiahkan Alkitab dwi bahasa: Indonesia - Ibrani. Bacanya aja kayak buku Jepang, dari belakang. Lalu bahasa Ibrani dibaca dari kanan ke kiri, seperti bahasa Arab. Cuman aku belum ambil tuh matkul Ibrani, paling aku deketin dulu aja dosennya, supaya dikasih kunci-kunci untuk mengetahui huruf dan tulisannya.

Resolusi 2006 terwujudkan di 2009. Sekarang, aku mau bertekad ah supaya selesai di tahun 2016, pas di ultahku ke-50. Semoga dikabulkan ya?

Prit....! Goceng, Bu.

Jarang sekali aku berada di Yogya di saat liburan. Biasanya aku pulng ke Kediri atau bermain ke Surabaya, atau ke Jakarta. Hanya karena orangtuaku sudah hengkang dari Kediri, lalu berita rawannya kemacetan di arus menghilir atau pun memudik, kami sekeluarga berketetapan menikmati libur panjang tahun ini di kota tercinta. Kebetulan juga ada teman yang dulu se-kost waktu mahasiswa datang dan pra-reuni perak psi 85. Jadi, kami mantap betul stay in Yogya.

Kalo orang tinggal di kota tujuan wisata, musti lega lilo a.k.a. berlapang dada melihat kemacetan di mana-mana. Ya iyalah macet. Kota dengan kapasitas 3 juta penduduk ketublekan orang segitu banyaknya, ya pasti mbludag, terutama di pusat-pusat keramaian seperti Jl. Malioboro atau Amplaz (Ambarukmo Plaza).

Suatu kali kami terpaksa mendatangi Jl. Malioboro karena teman ingin makan Chinese Food. Nah, resto Chinese Food yang paling oke buat aku sih ada di Danurejan, dan jalan itu hanya bisa dicapai melalui Malioboro. Bener aja, mendekati hotel Inna Garuda, kemacetan sudah terlihat. Mobil berjalan perlahan di sepanjang Malioboro. Lalu kami parkir di dekat resto itu.

Begitu turun, aku didekati tukang parkir, "Bu, parkirnya sekalian, siapa tahu Ibu mau berjalan-jalan di sinii." Spontan aku mengeluarkan uang Rp 1.000, tetapi dengan cengangas-cengenges tukang parkir berlengan buntung itu berkata, "Goceng, Bu." Dengan mangkel aku menyerahkan uang Rp 5.000 sambil berujar, "Pripun tho Mas, saya kan penduduk sini." Si tukang parkir hanya menjawab, "Ehm...ehm...ehm," sementara teman-temannya di belakang ketawa-ketiwi mengejek temannya yang kena batunya itu.

Aku tak memperpanjang soal goceng ini karena nggak mau selera makanku rusak. Mangkelku bertahan berhari-hari, karena yang mendapatkan uang parkir berlebih ini bukan tukang parkir yang biasanya bertugas di sana, tetapi tukang parkir liar. Ngono ya ngono, ning ojo ngono, wuaahhh!

Sekali lagi aku alami waktu nganter ke Mirbat. Kali ini aku sudah merelakan seandainya harus bayar parkir Rp 5.000, karena di mana-mana parkir penuh dan aku diberi tempat parkir cukup elit, di halaman kantor dekat GPiB. Waktu pulang aku bergurau dengan pak parkir, "Wah, jenengan untung kathah nggih, Pak." Dengan senyum lebar ia menjawab, "Nggih, Bu. Setahun pisan."

Senin lalu, muncul keluhan soal parkir ini di Kompas Jogja. Ternyata bukan hanya aku tho yang mengeluhkan hal ini. Pikirku harusnya aku terima saja diperlakukan sewenang-wenang oleh tukang parkir karena itu event besar di Yogya. Kan nggak setiap waktu penduduk Yogya yang mendadak beralih jadi tukang parkir mendapatkan uang tambahan? Nah, menurut Lembaga Konsumen, harusnya hal itu diadukan. Tapi, aku kembali ke sikap praktisku, gituan koq dilaporin buang-buang waktu aja. Kalo mau ditertibkan, ya sejak awal diberi penyuluhan lalu patroli dijalankan.

Susah emang ngurus negara eh kota, ha...ha...ha...

Apa Bisa?

Satu hal yang tak pernah aku impikan adalah menghadiri reuni. Apa pun kelompok reuni yang mengundang aku, dengan entengnya aku menolak hadir. Bagiku reuni itu hanya pekerjaan buang-buang waktu dan mengenang-ngenang masa lalu, koq seperti nenek-nenek atau kakek-kakek yang duduk di kursi goyang dan tinggal tunggu waktu, sementara dunia berjalan progresif dan cepat.

Tapi asumsiku itu berubah setelah bertemu banyak teman lama di jejaring sosial. Karena ada fotonya, aku terbantu untuk mengingat. Tapi jujur aja, memori 30 taon lalu (kira-kira aku SMP) atau waktu aku SD banyak yang hilang. Apalagi, kalo nama-namanya mirip-mirip-mirip, nah sel abu-abuku harus kerja ekstra keras.

Lebaran tahun ini aku nggak kemana-mana karena tiba-tiba aja aku malas bepergian. Tahun lalu, begitu antrian karcis KA dibuka, aku ikutan ngantri mau ke Jakarta lawan arus. Tapi tahun ini kepikir juga nggak untuk ke tempat-tempat jauh, yang deket-deket dan biasanya kami rencanakan kalau ada 2 hari libur berturut-turut, juga nggak masuk pikiran samsek. Nggak kepingin aja pergi ke Solo, seperti biasanya, atau ke Magelang, atau yang lainnya.

Kamis atau Jumat minggu lalu, teman se kost ku dulu tiba-tiba sms ngajak ketemuan. Dia mau ke Yogya. Aku menjemputnya di bandara Minggu pagi. Siangan dikit teman se kost ku yang dari Solo juga dateng, wah tambah seru, karena anak-anaknya seperti mimpiku dulu, empat! Karena mereka belum punya tempat menginap, aku telponin deh temanku yang punya guest house di belakang seminari Kentungan. Begitu kamar dinyatakan ada, aku langsung antar mereka ke sana. Ternyata .....is so sweet. Kita nggak cuman ngomongin "Inget nggak dulu..." tapi juga masa kini dan ke depannya.

Jumat minggu ini teman-teman dari masa kuliahku yang akan datang. Kalo yang ini aku gamang betul. Temen se kost sih relatif mudah mengikuti arah pembicaraan, kalo temen-temen kuliah itu aku yang agak susah ngikutin. Nyesel juga dulu aku kuliah hanya untuk kuliah. Ruang gaulku di tempat lain. Jadi, aku hanya berhandai-handai kalau ketemu di ruang kuliah. Kadang-kadang aku lupa samsek, ini orangnya yang mana ya? Waktu ada yang telpon aku bulan lalu, aku harus segera merecall memoriku karena nggak ada nama seperti itu di antara teman-temanku sekarang. Begitu dia bilang psikologi, baru deh aku nyantai. Ada sih yang aku langsung akrab, tapi sangat sedikit dibanding lainnya yang aku hanya tahu namanya aja.

Memang jejaring itu mengakrabkan kami, tapi apa bisa nanti aku langsung nyemplung ngobrol? Apa bisa aku nggak cuman diem sambil senyam-senyum, seperti yang biasa aku lakukan kalau bertemu orang baru? Apa bisa aku nimbrung di 'kerjaan perempuan' pada umunya yang bicara soal baju, mengurus anak, atau urusan dapur? Sementara duniaku sekarang ini agak maskulin, yang penuh dengan rapat, dll. Apa bisa nanti aku nggak canggung berakrab-akrab sementara sel abu-abuku tak mau diajak kompromi? Apa bisa...apa bisa...apa bisa....???

Target

Semalam, kami berdua disuguhi film The Sitter. Begitu ngeliat lakonnya, aku langsung berasa nggak enak, karena thriller ini mengaduk-aduk rumah tangga orang. Karena nggak nonton dari mula, aku nggak tahu kenapa si lakon menjadikan keluarga baik-baik ini sebagai targetnya.

Karena si istri bekerja, kedatangan baby sitter yang prigel, trampil dan gemati jadi sangat menolong. Pekerjaan maju, rumah beres, mau apa lagi? Sampe tetangganya melihat suatu keanehan pada diri si baby sitter ini. Tapi ketauan kalo dia mau cerita ke si istri, tetangga itu akhirnya mati. Setelah pemakaman tetangga naas itu, si istri pulang bersama temannya, dan suaminya pulang dengan anak-anak dan baby sitternya. Di rumah, baby sitter ini seolah-olah tak tahu kalau di kamar mandi ada orang. Hanya dengan kamisol terbuka dia membuka pintu kamar mandi, yang di dalamnya si suami sedang mandi. Kalau mandi ya nggak pake apa-apa lah. Si suami langsung jengah, tapi si baby sitter menutup pintu sambil matanya mengerling gimanaaa gitu.

Adegan demi adeganyang makin lama makin serem, dan keliatan kalo si baby sitter ini pengen ngerebut sang suami, walaupun untuk itu dia harus membunuh sang istri. Aku nonton sambil ngeri-ngeri sambil teringan Fatal Attraction bertahun-tahun lalu.

Jadi emang bener setan ada di mana-mana, terutama dia menggoda rumah tangga yang baik-baik, aman tentrem dan berbahagia. Rasa aman di keluarga bisa terkoyak karena teledor tak meneliti siapa yang berusaha mendekati keluarga, tak berdaya mengatasi kerepotan berbagai tugas yang harus diselesaikan relatif pada waktu yang bersamaan, kurangnya waktu berkualitas di antara anggota keluarga dan tuntutan ekonomi yang semakin tinggi. Kalo udah mikir sampe ke sini, bisanya cuma berdoa supaya Tuhan melindungi keluargaku dan keluarga-keluarga di dunia. Jangankan sebulan ke depan, semenit berikutnya aku juga tak kuasa mengetahuinya. Selain doa, suami istri ya harus alert dengan situasi zaman. Mengikuti zaman tanpa terhanyut, bukan perkara yang gampang. Makanya suami istri harus bergandeng tangan mengarahkan biduk keluarga ke tempat yang aman.

Jadi inget ucapan selamat dari pendeta kami saat kami menikah, "Khun, Ian, selamat menempuh hidup baru, dan selamat memperjuangkan hidup bersama."

Tahu Takwa

Beberapa hari lalu ada yang mengirim makanan. Begitu dibuka, ternyata itu masakan rumahan waktu misuaku masih kecil. Tergolong masakan orang totok, karena yang peranakan jarang memasak seperti ini.

Dia memasak tahu takwa dengan daging giling sapi. Waktu aku tanya bumbunya, karena misua seneng sekali dengan masakan ini, katanya gampang. Cuman bawang putih, bawang bombay, kecap manis, kecap asin dan saus tiram. Ternyata nggak jauh-jauh dari masakan totok lainnya, asal ada bawang putih, beres semua.

Rupanya tahu takwa atau tahu kuning itu digoreng dulu. Lalu bawang-bawangan itu ditumis semua dengan bumbu lainnya bersama dengan daging. Begitu dagingnya mateng, tahunya dimasukkan. Kecap baik-baik rasanya, jadi deh.

Koq tiba-tiba aku jadi kebayang tahu kuning sama sayur asin, bumbunya juga mirip-mirip itu, hanya ada yang menambahkan irisan cabe merah besar untuk memberi sedikit rasa pedas. Nah, tahu takwa dan sayur asin ini paling enak di warung Mriki, dekat Atma jaya. Tapi, itu sih zaman dulu banget deh. Pernah aku dengar warung itu pindah ke daerah Babarsari mendekati kampus baru Atmajaya. Tapi, dicari-cari gak pernah ketemu.

Kayaknya satu per satu makanan jadul muncul di sekitarku deh, ha...ha...ha...

Eksplorasi Selatan Yogya

Kalo Yogya bakal dipenuhin ama toko dan mall, suatu saat aku akan mencapai titik bosan seperti sekarang ini. Kayaknya kalo udah Jumat, puyen juga mikirin mau ke mana lagi. Perlu lah refreshing sedikit, tapi bosen ke mall atau ke toko buku. Sehari-hari maenannya buku, masak jalan-jalan ngeliat buku lagi, yiekkk....

Akhirnya aku coba explore ke selatan Yogya. Daerah selatan dan barat Yogya ini lambat perkembangannya, karena relatif lebih panas dibanding utara dan timur Yogya. Kali juga karena di selatan dan barat jarang ada uni yang gedhe kayak UGM di utara atau UPN dan Atma Jaya di timur. Padahal, kalo mau ditelisik, banyak juga daerah yang bagus, kerajinan yang imut atau makanan yang enak di selatan. Bagian barat baru dijalani sedikit waktu nyari kerajianan agel.

Di selatan ini ada pantai Parangtritis, tapi udah males ke sana karena nggak ada yang berubah sejak bertahun-tahun tinggal di sini. Terakhir ke sana dua tahun lalu waktu antar adik ipar jalan-jalan ke sini. Rumah makannya juga nggak match seleranya sama aku, padahal kata artikel di sebuah koran nasional, resto itu sangat kondang. Nggak matchnya ya masalah rasa dan kebersihan tempat, hiii...udah banyak nyamuk, gelap lagi!

Nah, cuma bulan-bulan ini aku sering ke rumah Tembi. Udah sering dengar dan baca nama itu, tapi baru match sekarang, sejak Jessie ikut workshop kolase di sana. Kira-kira akhir Agustus aku balik lagi ke sana, kali ini lengkap sama si Bapak. Berangkat siang-siang sekitar pk 14.00, sampai sana ngemil dan menikmati slendro pelog. Abis itu, Jessie berenang deh sepuasnya sampe pk 17.30. Lalu kami dinner di sana. Baru selesai pk 19.30-an.

Minggu lalu aku diajak pemilik bengkelku ke daerah Bantul, nyamperin pengrajin batik Bantul. Kalau dari ajakannya, kayaknya tuh tempat deket. Nggak tahunya, blusak-blusuk, belak-belok, jauh juga. Tempat batik itu kecil, kira-kira seperempatnya Mirbat. Tapi jangan salah, isinya ciamik. Aku senang banget ketemu batik motif truntum tapi warna merah. Langsung deh aku beli 3 meter, buat kemejaku dan Jessie.

Hari Minggu kemarin aku samperin lagi tuh Bantul. Soalnya, waktu pulang dari berburu batik itu aku liat ada plang restoran yang bunyinya es kopyor. Wah...jarang tuh di sini. Jadi, kemarin kami ke resto itu. Beneran deh, es kopyornya mak nyus gitu pas digigit. Seakan aku bisa denger bunyi kruis-krius waktu kelapa dikunyah. Seperti bias, aku mesen yang tawar, gak pake campuran sirup, susu coklat atau gula pasir. Wah, siang-siang minum es kopyor, bikin otak gak gampang kepyur, ha...ha...ha...! Sotonya juga enak, modelnya kayak soto kadipiro , banyakan sayurannya daripada babatnya, malah sehat dan seger.

Dari situ, aku masuk ek Kasongan. Bukan buat belanja, cuman mau nunjukin tempat makan lele yang disukai banyak orang. Wah, tuh bilik udah dibangun sekarang. Pohon-pohon bambunya banyak yang ditebang, dibangun rumah. Lelenya ini digireng kering, terus dimakan dengan kuah santan kental yang di dalemnya ada kubis. Kalo aku sih pernah makan yang kayak gini waktu KKN, ampir setiap hari malah. Tapi, berhubung udah 40-an, santan terpaksa aku kurangin. Jadi, cukup tau aja warung lele di Kasongan.

Daripada balik lagi ke depan gerbang Kasongan, aku terusin aja jalannya. Tau-tau sampe di pemakaman Gunung Sempu. Aku ngelewatin makamnya Mas Janni, suaminya kongsiku, tapi gak berhenti. Terus.....akhirnya ngelewatin rumahnya Pak Joko Pekik, yang pernah dimuat di Kompas itu.

Wah, mengeksplorasi daerah Selatan, kayaknya nggak ada habisnya deh. Kapan-kapan eksplorasi ke barat ah...

Kuburan Blog

Kemarin aku blog walking. Rasanya udah lama banget nggak blog walking, kayak masuk ke dunia yang jaduuul banget.

Sayang sekali, banyak teman-teman yang dulu blognya rame pengunjung, sekarang menjadi sepi. Tanggal terakhir upload tulisan ada yang enam bulan lalu, empat bulan lalu, hampir setahun, dll. Kali kalo di dunia beneran, rumah ini sudah kosong, di langit-langit rumah bersarang dengan nyaman si spider, jendela ada yang pecah, lantainya retak-retak, menguar bau apek dari dalam kamar mandi dan kulkas yang berisi sisa-sisa makanan. Belum lagi ilalang yang tumbuh di halaman begitu tingginya.

Aku memantau banyak kuburan blog sejak merambahnya situs jejaring fb yang digemari orang. Mungkin karena di sana sudah tersedia lengkap note, video, foto yang bisa digunakan semudah membalik telapak tangan. Lalu respon atas note juga lebih dinamis dibanding blog. Ketambahan note yang di fb itu dibaca oleh orang-orang yang adalah sahabat si pembuat note. Kalau di blog kan susah mendeteksi siapa yang membaca, karena tidak ada keharusan meninggalkan jejak dengan mengisi buku tamu. Hanya, di blog itu punya kelebihan yaitu, blog terbuka luas, siapa aja boleh liat, dibanding dengan jejaring yang hanya untuk teman-teman.

Aku pribadi tetap mempertahankan menulis blog, karena siapa tahu pengalaman hidupku bisa berguna bagi tamu-tamu di blogku. Mungkin mereka baru pertama kali mengenal internet, sehingga tahu pertama yaitu blog, belum kenal dengan fb atau yang lain. Mungkin juga mereka mau baca-baca lembar hidupku di tahun-tahun lalu dengan segala suka dukanya. Mungkin juga blogku ini mendorong tamu-tamuku berani mengungkapkan pikiran dengan bahasa tulisan. Kan banyak manfaat positif dengan menulis.

Kalo sekarang, malah aku memperluas pemakaian blog. Jadi bukan hanya untuk cerita sana cerita sini, tapi juga untuk membuka toko online. Mungkin karena sifatku yang cenderung menjaga kestabilan jadi dua-dua atau tiga tiga bisa jalan. Mungkin juga itu yang sulit dilakukan orang lain.

Ke depannya mungkin pengelola blog yang harus lebih inovatif supaya bikinannya nggak ditinggalin orang kali ya? Memang dunia yang berubah senantiasa menuntut inovasi kreatif.

Menata Hati

Hari berganti hari, begitu juga suasana hati. Ada seorang teman yang mengibaratkan hati itu harus dipelihara, kalau nggak banyak angin yang dapat memporak porandakannya. Bener juga sih, karena secepat perasaan senang datang, secepat itu pula rasa tertekan diam-diam menyelinap.

Kayak perasaanku hari ini. Hari ini aku baru terbebas dari tekanan darah rendah yang nyebabin kepala kliyengan dan membuat malas melakukan segala sesuatu. Aku memulai hari dengan hati gembira dan penuh harapan. Tapi, secepat itu juga berita sakitnya kawanku semasa mahasiswa menggayuti relung hati. Langsung cahaya hatiku meredup pelan-pelan. Aku sangat sadar akan hal itu dan berusaha sekuat tenaga melawannya, agar hatiku tetap ceria. Tapi perasaan tertekan itu terus mengikutiku ke mana-mana, padahal jalanku lumayan jauh hari ini, hampir 60 km putar-putar seantero Yogya, ujung ke ujung.

Akhirnya sore ini aku menerima perasaan itu dan menata ulang suasana hati. Kalo nggak gitu, bisa porak poranda beneran. Aku hanya bisa berdoa supaya Sumber Sukacitaku menjagai hatiku sehingga mendung itu tak merembet ke mana-mana.

Buah Siwalan

Tadi waktu lagi ngerundingin mau ke mana, tiba-tiba misua ngelihat buah siwalan di pinggir jalan Magelang, dekat Indo Grosir. Langsung deh kami bertekad membawanya pulang.

Buah ini jarang sekali ada di Yogya. Kalau penjualnya ditanya mesti dijawab bahwa datengnya dari Tuban. Aku sih taunya buah ini banyak bertebaran di Semarang, mungkin karena deket pantai ya?

Nah, awal aku senang dengan buah ini itu dari masa kecil di Kupang. Kami sering piknik ke pantai. Zaman 70-an ke mana lagi menghabiskan hari Minggu kalau bukan ke pantai? Di sana aku sering dibelikan buah itu sama papa. Kadang-kadang sama air tuaknya.

Semasa pulang ke Kediri pas mahasiswa dan kami jalan-jalan ke Surabaya, kalau ada siwalan ini, pasti deh berhenti dan minum juga tuaknya.

Di Yogya memang jarang, tapi sore tadi buah itu muncul segerobak. Langsung deh beli. Misua yang kupasin buat kami. Airnya dimasukkan ke kulkas dan diminum dingin-dingin. Kalo nggak salah sih buah ini masih kerabat dekat kelapa. Buahnya kecil, di dalamnya ada lembaga buah. Nah, lembaga ini yang harus dikupas pelan-pelan untuk dilepaskan dari kulitnya. Rupanya bening dan kenyal. Kalau digigit, keluarlah airnya yang terasa segar di mulut dan manis. Nggak pernah bosen aku kalo ketemu buah ini. Hmmm....

Attachment Person

Selama aku tergeletak karena flu dua hari lalu, aku tidur sendiri. Jessie dengan papinya. Ternyata Jessie nggak bisa tidur. Bangun-bangun terus, cerita papinya. Akhirnya dari golek sana golek sini, dia tertidur pk 22.00. Pk 04.00 nyamperin tempat tidurku lalu tidur lagi di arah kakiku, supaya nggak ketularan.

Pagi-pagi pk 05.30 aku bangunin, karena mau sekolah. Tiba-tiba Jessie bilang, "Mom, koq lantainya seperti menurun ya?" Langsung aku raba lehernya dan suhu badannya hangat. Aku selidiki semalam tidur jam berapa, dst.nya, dst.nya. Jadi, dari keterangannya aku menyimpulkan anak ini hangat karena kurang tidur. Pantes aja lantai agak menurun, lha wong gliyeng... Lalu aku buatkan bubur instan, minumin panadol, tidur lagi sampe pk 08.00. Bangun-bangun dia udah seger.

Jadi rencanaku kemarin berjalan cukup lancar, ambil bordiran dan urus surat izin praktek psikologi ke BNI UGM.

Sore-sore aku ngerumpi sama misua soal kondisi Jessie. Mungkin salah satu dampak buruk ketiadaan orang lain di rumah ya seperti itu. Pengaruh Mommynya terlalu kuat, sehingga kalau jauh sedikit bisa kelimpungan. Biasanya memang attachment person terasa di usia bayi umur 7/8 bulan - kira-kira 2 taonan. Tapi, kalo anak hanya tumbuh besar bersama dengan orangtuanya tanpa campur tangan baby sutter atau oma opa atau lainnya, kelekatannya pada ibu amat terasa. Aku sih pelan-pelan mendekatkan Jessie dengan bapaknya, misalnya aku tinggal rapat ke gereja atau tinggal ceramah. Aku berharap lama kelamaan dia terbiasa aku nggak hadir walau nanti akan selalu pulang. Di satu sisi hal ini mengharukan karena kelekatan anak pada ibunya sangat kuat. Tetapi di sisi lain agak mengkhawatirkan karena kemandiriannya akan datang terlambat.

Berarti aku harus pandai-pandai membuat keseimbangan supaya Jessie bisa mandiri tepat waktunya. Ikutan camp anak ke luar kota aja kali ya...

Selalu Tersisa Satu

Kalau kami sekeluarga berlibur, waterpark selalu jadi incaran kami. Maklum, waterpark di Yogya itu gede banget alias segara alias lautan...:).

Di Surabaya juga gitu. Setelah puas berhandai-handai dengan keponakan, besokannya kita semua ke Ciputra Waterpark. Kegembiraanku lipet dua, soalnya bisa maen aer dan bisa ketemuan sama temen SMP yang udah 20 taonan nggak pernah ketemu. Bener-bener tepat keputusan ke waterpark, karena rumah Linda deket dari situ. Dan...waterparknya sepiii sekali. Kayak punya pribadi aja.

Karena dua keponakanku jarang maen kayak gini, pertama-tama aku dan Jessie ajak mereka ngelilingin kolam arus, terus ke kolam gelombang. Abis dari kolam gelombang, aku ketemuan dulu sama Linda sambil ngawasin anak-anak bermain di kolam toddler. Ngobrol sana sini, makan ini itu, setelah melalui kemalasan nyebur lagi, akhirnya kita maen deh ke kolam sliding.

Aku jadi inget waktu Jessie umur 6 taon, pertama kali ke sini sama engkongnya, dia ngeri naek jembatan yang banyak curahan aernya. Tapi aku bilangin kalo ini kayak outbound sama kakak-kakak mahasiswa, cuman ini di aer. Kali ini juga sama, aku memperkenalkan sliding sama keponakan2ku. Cuma tugasku lebih ringan karena Jessie ahli membimbing adik-adiknya nyeberangin jembatan. Mulai dari sliding yang paling pendek, sampe ke yang paling tinggi.

Abis itu pindah ke kolam yang ada sliding dengan tunnelnya. Di sliding yang terbuka dan tinggi itu kami meluncur. Walaupun tinggi tapi kami nggak ngeri. Dari tempay itu keliatan deh Surabaya. Begitu mau maen yang ada tunnelnya, kami tidak diizinkan karena tingginya Jessie belum mencapai 150 cm. Ya udah deh, meluncur sekali lagi di sliding yang terbuka itu.

Selalu deh, ada yang tersisa satu. Waktu di Pandawa Waterpark Solo, ada satu sliding yang belon kami coba. Di sini juga. Berarti musti ke sini lagi deh kapan-kapan, ha...ha...ha..., kalo soal maen...hayo aja!

Wedang Tahu

Kira-kira enam bulan lalu, di Jalan Magelang, main road nya rumahku, ada yang membuka gerai wedang tahu. Bukanya mulai pk. 18.00, karena dia berjualan di emperan toko gantungan kunci karet.

Aku senang sekali ada wedang tahu. Penganan ini aku kenal sejak kecil, waktu aku sering bermain di rumah temanku di Mangga Besar VIa. Mulanya sih nggak doyan, tapi lama-lama doyan beneran. Herannya tukangnya nggak lewat di gang rumahku di Mangga Besar I. Sekiaaaaan tahun nggak makan, nah pas di rumah adikku ada yang lewat. Langsung aku beli deh, hmmm...yummy....!

Wedang tahu ini kayak bubur kembang tahu. Bentuknya seperti bubur sumsum. Diambilnya pelan-pelan dengan menyendoknya. Lalu, diletakkan di mangkuk kecil, dan diberi kuah dengan rasa jahe. Di Jakarta disebutnya kembang tahu. Di Surabaya namanya tao hwa (bacanya thaa hwa). Tao hwa ini bahasa Mandarin. Dari taohu = tofu= tahu. Hwa= kembang. Jadi sebenernya sih sama aja, kembang tahu...ha...ha...ha..., hanya di Surabaya lebih kental nuansa Tionghoanya.

Kemarin malam, sepulang rapat, aku tiba-tiba pengen makan kembang tahu ini. Lalu aku pesan dua untuk dibawa pulang. Sambil menunggu disiapkan, iseng-iseng aku tanya sama penjualnya, dia berasal dari Jakarta atau bukan, karena di Yogya baru dia yang jual kembang tahu. Ternyata dia asalnya dari Surabaya, katanya, "Kalo di Surabaya disebutnya tahwa." Nah, kan...betul, tapi penyebutannya udah beda lafalnya, sesuai dengan dialek si penjual. Lalu, dia punya kesadaran brand/ brand awareness. Di dasar mangkuk plastiknya di tempeli stikernya. Belum lagi di bandana seragamnya ditulisi websitenya: www.tahupongwedangtahu.com. Hebat juga nih Bapak, wedang tahu dimasukin internet. Pastinya bukan buat jualan di sana, tapi untuk membangun brand nya. Yang lebih hebat, dia nggak begitu aja menamakan jualannya dengan kebiasaan di Surabaya, tapi disesuaikan dengan alam pikir orang Jawa Tengah yang terbiasa dengan wedang ronde. jadilah nama jualannya wedang tahu.

Sekarang cabangnya udah dua, daaan...dia punya sepeda yang berkeliling jualan kembang tahu. Sayang belon lewat di gang rumahku. Padahal, yummy banget kalo menyantap itu sore-sore menjelang malam, sambil duduk di teras menatap senja...mak nyus!

Doa Ulang Tahun

Tadi pagi, anak kami bangun dengan wajah berseri-seri, karena dia ulang tahun hari ini. Selesai beres-beres buku dan alat-alat gambarnya, kami pun berdoa, gini bunyinya:

Tuhan Yesus terima kasih karena hari ini Jessie ulang tahun yang kesembilan,
Jadikanlah dia anak yang mencintai Engkau,
dan mampukan kami orangtuanya untuk membimbingnya menjadi anak yang baik.
Juga karuniakan kerajinan dan ketelitian....nggak kayak sekarang kalo belajar masih suka males dan kamarnya berantakan (Jessie mencubit kakiku, diaduin ke Tuhan).
Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa, amin.

Kayaknya ini doa yang paling ger-geran deh. Jessie cekikikan melulu didoain begitu, padahal maknanya lumayan berat buat kami, soalnya ini anak unting-unting (dalam budaya Jawa, anak perempuan satu-satunya disebut unting-unting). Apalagi, karena di rumah hanya ada keluarga inti, makin lama makin serupa sama aku jadinya. Bagi yang udah lama kenal aku, udah kebayang kan nanti gedenya dia seperti apa, ha...ha...ha...

Eniwei, kami bersyukur dikaruniai Jessie. Emang sih kalo dia di rumah kami sering keberisikan karena tak pernah habis hal yang dikatakannya, tapi kalo dia lagi sekolah, aku yang sering keilangan. Kayaknya rumah jadi sepi tanpa Jessie. Kalo dia lagi ngeyel juga kadang-kadang kami cape ati, tapi ngeyelnya itu yang bikin kami harus pandai-pandai memutar otak supaya bisa masuk dalam frame of referencenya.

Kami juga berharap supaya doa yang terkandung dalam namanya bisa terwujud dalam hidupnya: "Ya Tuhan yang Maha Pemurah, jadikanlah aku anak yang kuat dan bijaksana" (Jessica Joanne Mahardhika).

Pengalaman Baru

Sebulan yang lalu, aku, misua dan adik iparku berbincang-bincang soal pekerjaan sampingan, yang cocok untuk full time mom atau yang nggak mengganggu pekerjaan utama. Selama ketemuan keluarga itu, pembicaraan intensif dilakukan terus, di kolam renang, di lobby hotel, di mobil, di segala tempat deh. Maklum, ketemuan kayak gini bisa diitung pake jari, karena kerjaan misua repot sekali, jarang-jarang ada waktu senggang di Jakarta.

Pulang dari sana, yang termotivasi malah aku, tadinya sih aku cuman ngedengerin aja. Jadi, aku set up semuanya deh. Yang paling susah itu nentuin produk yang akan dipamerin di tokoku. Kalo kelengkapannya relatif mudah walau jalannya panjang.

Adalah suatu ketepatan. Pas ngumpul sama ibu-ibu waktu nungguin Jessie les tari, ada salah satu kawanku yang bercerita tentang usaha sampingannya di Yogya dan di Bondowoso. Barang Yogya dia jual ke Bondowoso dan sebaliknya. Tiba-tiba dia nyeletuk soal craft, bagaimana dia memaketkan berkarung-karung craft bolak-balik ke dua kota tersebut. Akhirnya, aku janjian deh sama dia ke suplier craft di desa pinggiran Yogya.

Selaen itu, aku teringat salah satu temanku yang memang punya sentuhan etnik di karya-karyanya. Aku ke rumahnya, ngomong sana sini, lalu dia mau jadi suplierku untuk home decor.

Aku merasa kedua jenis barang itu cukuplah untuk sementara, kecuali kalau ternyata bisa berkembang lebih jauh lagi, baru dicarikan suplier yang lainnya.

Kalo aku renung-renungkan kenapa mau mencoba hal baru ini, padahal kegiatan udah seabreg-abreg, ya karena curiousity itu. Nothing to loose kan kalo untuk mencoba. Semua kan made by order. Lagian, dari kegiatan ini aku juga bisa menabung untuk biaya kuliah semester depan. Semester ini aku hanya ambil satu mata kuliah karena untuk in reiyen setelah lama nggak masuk kampus. Kalo berhasil, semester depan bisa dua mata kuliah, dan itu berarti aku harus nyiapin sekitar tiga jutaan. Nah, jangan sampai asap dapur nggak ngebul karena ngeberatin biaya kuliah, jadi harus ada usaha lainnya.

Yang penting ada keseimbangan. Mudah-mudahan aku dimampukan Tuhan menyeimbangkan semua: keluarga, pelayanan, pekerjaan dan pengembangan diri.

24Tahun Lalu

Kalo diinget-inget 24 taon lalu, aku menginjakkan kaki di Yogya. Begitu turun langsung nginep di Hotel Merdeka, sekarang Phoenix Hotel.

Soal kota sih aku nggak terlalu kaget, karena biasa pindah kota, soal bahasa bikin aku mabok waktu itu.

Mabok pertama tuh waktu beli makan di warung ijo Jl. C. Simanjuntak. Penjualnya tanya, "Pake ikan nggak, Mbak?" Spontan aku mencari-cari mana ikannya, karena di situ adanya aym goreng dan empal. Aku geleng-geleng, jadilah pagi itu aku makan sayur kacang ijo pedessss banget. Lama-lama, dari percakapan sehari-hari aku baru tau kalo yang dimaksud 'ikan' itu segala macam lauk yang berjenis daging. Mau ayam, may sapi, mau kambing, mau ikan beneran, semua disebut ikan. Hebring euy...

Mabok kedua kalo diterangin jalan pake arah mata angin. Wah, kalo ini aku mabok beneran. Abis orang-orang di Yogya kalo disuruh ulangan mata angin gitu, nilainya A+++ kali. Dengan pengetahuan yang kiri dan kanan, sekarang harus belajar mencerna mana barat, mana utara, mana timur, mana selatan. Kalo aku cari penjelasan kenapa sih nunjukin jalan koq pake barat timur segala, kan jadi pusying. Aku selalu dapet jawaban, "Supaya nggak perlu tanya jalan itu dilihat dari arah mana. Barat ya barat, dst.nya." Aku menikmati petunjuk arah ini setelah tiga tahun berdomisili di sini. Aku juga belajarin tuh barat timur dkk dalam bahasa Jawa. Tapi tau nggak, kalo ditanya mau ke mana sama pak parkir kantor pos di dekat sekolah anakku, amannya aku tunjuk aja arahnya. Jadilah si Bapak tersenyum-senyum maklum sama pengunjung setianya ini.

Mabok ketiga, soal rasa makanan. Wah, kalo ini jasa sambel botol amatlah besar. Aku kan jarang, nggak pernah malah, makan yang manis-manis, terutama sayur. Di sini sayur bayam (nama kerennya sayur bening) itu manis, sayur asem ya juga manis. Terpaksa aku membubuhi sambel botol biar ketelen. Lama-lama bisa menikmati juga sih. Cuman...kenapa kuah soto selalu cair dan bening, itu yang aku belum bisa nikmati sampai sekarang. Aku heran kalo ada yang seneng banget makan soto. Penyuka soto juga heran kali ya liat aku gak suka soto, ha3.

Dua minggu lalu, ada kawanku datang ke Yogya. Dia datang dari Padang. Suatu kali beli jajan ke pasar Kranggan. "Bu, ini apa namanya?"

"Getuk, Mbak."

"Kalau yang ini?" (sambil menunjuk penganan di sebelahnya)

"Podho, Mbak." (maksud ibu penjual ya sama saja getuk, mungkin berbeda warnanya)

"Ya sudah, beli getuknya satu, podhonya satu." (si ibu terbengong-bengong sambil tetap melayani kawanku ini). Di kemudian hari baru kawanku tahu bahwa podo itu artinya sama, bukan jenis atau nama penganan. Malunyaaa....

Ini termasuk culture shock kali ya? Tapi, abis shock itu terus jatuh cinta sama ketenangan Yogya, hingga 24 tahun kemudian, aku masih aja betah di sini.

Heboh Pagi

Seharian kemarin sangat melelahkan. Secara fisik lelah, tapi benak juga lelah karena mikirin cari nama, Gara-gara itu dan diskusi intensif dengan adik iparku sampe lewat tengah malam, pagi ini aku kesiangan. Kalo Jessie nggak bangunin, mungkin aku bisa tidur sampe siang, kali.

Bangun-bangun udah pk. 05.20, padahal biasanya aku bangun paling laat pk. 05.00. Cepet-cepet aku siapin bagelen buat sarapan Jessie, masak air panas. Selintas aku denger Jessie belajar Mandarin. Dalam hati aku khawatir, "Piye, belajar cuma 20 menit, apa yang nyantol?" Tapi aku diem aja, karena kalo aku tanya nanti dia tambah panik. Lalu aku bantuin dia nyusun buku pelajaran hari ini, dan alat tulisnya. Lalu tanya-tanyaan Mandarin sama dia, mana pelafalanku kan nggak good, jadi susah juga. Akhirnya kami selesai pk 06.25. Cepet-cepet mandi, berpakaian, berangkat deh. Puji Tuhan, misuaku bisa dapetin rumah dekat sekolah, jadi 15 menit paling lama, udah nyampe sekolah. Sesampainya di sekolah, belum banyak mobil parkir, berarti banyak juga yang kesiangan, kirain cuma sendiri...

Pulang nganter, aku beli sarapan di Bu Joyo. Pulangnya dari situ yang rada ribet. Udah ada kali dua bulanan ini di Jl. Magelang itu lajur kiri buat motor. Berarti aku kan harus masuk jalur kanan, karena warung Bu Joyo di kiri jalan. Nungguin laju motor sepi itu yang lama, karena banyak orang menuju kota di pagi hari. Udah bisa masuk, problem muncul lagi waktu mau masuk ke gang rumahku yang juga di kiri jalan, karena nggak jauh sebelum gang ku itu ada polantas berdiri di atas podium kecil untuk mengarahkan agar motor berada di jalur kiri. Akhirnya aku nyalain sign agak jauh dari depan sambil melanin laju mobil. Pelaaaan...banget, sampe motor di belakangku masih agak jauh, barulah aku belokin si Mumun ke gang.

Bener-bener heboh pagi ini. Bangun kesiangan sih, ha...ha...ha...

Phon dan Buku Tulis Baru

Hari Minggu kemarin aku mengajak Jessie menyiapkan buku-buku tulisnya untuk kelas 4. Namanya menyiapkan berarti mengeluarkan buku tulis kelas 3 dan membersihkan rak meja tulisnya.

Sebelum ini Jessie memang sudah beli beberapa buku tulis, tapi bukan yang paketan, karena khawatir kertas isinya nggak sebagus sampulnya. Tahun lalu dia beli satu paket, ternyata depannya doang yang bagus, isinya tipis dan mudah robek. Jadi, ceritanya dia nggak mau mengulangi kesalahan tahun lalu.

Masalahnya, setelah buku tulis kelas 3 dikeluarkan, ada beberapa buku yang baru terpakai sedikit, nggak sampe setengahnya malah. Jadi, aku minta Jessie memakai buku lama itu dan menyampulnya ulang supaya menyenangkan dilihatnya. "Masak sih Mom, aku nggak boleh pake buku baru? Ini kan sampulnya udah robek?" Jessie mulai mengajuk. Aku liat sampul buku tulis itu memang sudah robek. Aku nggak bilang ya, juga nggak bilang tidak. Aku diam saja sambil menyiapkan buku tulis baru untuk mata pelajaran lainnya. Begitu udah mau selesai, kami kembali diperhadapkan dengan buku peer bahasa Indonesia dan bahasa Jawa yang masih banyak itu tadi. Entah ada angin apa, bisa-bisanya aku berujar begini, "Jess, pake ya buku yang lama ini? Sayang deh kalo nggak dipake lagi, kan masih banyak lembarannya? Kita cari sampul yang bagus yuk di kamar kerja? Lagian, kalo kertas-kertas ini nggak dipake, sayang kan pohon-pohon yang ditebang untuk membuatnya dulu?" Lalu dia berpikir cukup lama, akhirnya nurut.

Aku yang tercenung-cenung. Masak sih anakku harus selalu diberi pengertian yang agak jauh ke depan? Koq dia nggak mau ya terima penjelasan yang sederhana, yang sesuai dunia kanak-kanaknya? Ndilalah, aku juga kadang-kadang nggak bisa berpikir seperti dunia anak-anak, kali kebanyakan dicekokin slogan 'go green.'

Jadi, ada hubungannya tuh antara pohon dan buku tulis. Jawabannya A, ha...ha...ha...

Melewati Kelam Malam

Ada perbedaan yang cukup signifikan dalam diriku. Ini sangat terasa ketika memasuki usia 40 tahun, aku banyak berjumpa dengan kedukaan. Yang pertama adalah kepergian suaminya kongsi usahaku, hampir dua tahun lalu. Biasanya aku lega lilo kalau melayat, kali itu kebingungan dan kesedihan yang melandaku karena kepergian almarhum sangat mendadak. Sejak itu aku gamang kalau menginjakkan kaki di rumah kedukaan. Tapi, kehidupan kan harus berjalan terus, aku nggak bisa kan memanjakan diri dengan terus berkubang di momen-momen traumatis, maka aku memulihkan diri cukup cepat.

Dalam proses pemulihan itu aku memelajari kenapa orang merasa takut menghadapi kematian. Nggak usah kematian, tapi kondisi pingsan atau mulai tak sadarkan diri pun kadang-kadang menjadi sangat menakutkan. Mungkin kehilangan kontrol diri dan kegamangan akan apa yang ada di hadapannya, yang membuat ketakutan itu makin menjadi-jadi. Apalagi kalau tak seorang pun di sana yang mendampingi saat-saat maut itu menjelang. Mungkinkah ini yang dirasakan oleh sahabatku almarhumah, Martha?

Malam kemarin juga menjadi malam yang panjang dan menakutkan bagiku saat sms dan telepon dari adik iparku masuk, "Ya...Mama gimana, kasihan banget. Nggak bisa minum obat, minum teh aja netes-netes, susah banget nelennya. Waktu Aiai mau dipamitin ke omanya, ranjang Mama udah basah. Mama ngompol nggak berasa, Ya. Gimana nih, kasihan banget? Kita semua khawatir di sini." Dia cerita sambil nangis-nangis, soalnya sebelum dibawa ke rumah sakit kondisi Mama emang lemes karena muntah-muntah terus, tapi masih bisa jalan sendiri, masih aware terhadap kondisi dirinya. Setelah satu hari di rumah sakit koq malah drop. Nah itu..., mulailah ketakutan memompaku deras. Mana kemarin malam aku hanya berdua dengan Jessie, karena suami dinas luar kota. Akhirnya dengan tak berdaya aku menghampiri hadirat Ilahi bersama Jessie. Kami berdoa sambil menangis karena tak berdaya dan jauh dari Mama yang sedang sakit. Setelah itu aku mengirim sms ke pendeta-pendetaku untuk minta dukungan doa. Nggak lama kemudian Papa telepon, ngabarin kalo dia lagi siap-siap menuju Jakarta dari Purwakarta, dijemput sopirnya adikku. Aku memutuskan akan ke Jakarta Sabtu ini kalau sampai ada apa-apa, setelah rundingan dengan suami. HP ku juga nyala terus sepanjang malam. Aku yang biasanya tahan dingin, malam kemarin kedinginan sampai ke ujung-ujung jari kaki. Kira-kira pk 00.40 aku terbangun karena mendadak batuk hebat. Akhirnya aku bangun, minum obat batuk dan neuralgin, pakai kaos kaki dan mematikan HP. Aku terbangun pk 04.30 dengan badan yang remuk dan tanda tanya besar menggelayut dalam hatiku.

Kalau aku telusuri lagi, malam betul-betul panjang dan kelam, dan harapan melihat sinar mentari terasa jauuuh dan lamaaa banget. Saat pagi menjelang, aku sms adik iparku lagi dan puji Tuhan, kondisi Mama membaik. Sudah sadar dan sudah bisa nanyain kabar cucunya yang paling kecil. Aku betul-betul lega, Mama dalam perawatan tangan-tangan yang trampil. Cepat pulih ya Mom, kan kita mau ngerayain ultah Khun, Didi, Papa dan Andre bareng-bareng...

Happy Trip

Pk 03.30 aku membangunkan Jessie dan Kezia (anaknya temanku dan temannya Jessie yang menginap di sini) untuk sarapan sereal, lalu membersihkan diri. Aku pun melakukan hal yang sama.

Pk. 04.45 kami start menjemput temanku Betty yang akan bersama-sama aku mengunjungi mahasiswa yang sedang praktik kerja di Wonosobo dan Banjarnegara. Ini perjalanan yang baru samsek ke kedua kota ini. Karena itu kami berangkat pagi-pagi, supaya pulangnya nggak kemaleman di jalan.

Jalan pagi-pagi saat matahari belum terlihat ternyata sangat menyegarkan. Aku sempat khawatir nggak kuat jalan, soalnya baru bae dari flu berat. Yogya-Temanggung berjalan lancar. Temanggung Parakan jalanan banyak yang berlubang dan lubangnya dalem-dalem. Jadilah aku memelankan si Konde, biar nggak terbanting-banting. Parakan- Wonosobo ibarat perjalanan membelah gunung. Di kiri kanan jalan terlihat gunung Sumbing dan Sindoro. Pemandangan betul-betul indah. Terasering di mana-mana, rumah-rumah pedesaan tersebar dan kami melihat pepohonan teh dan tembakau.

Alhasil Wonosobo dapat dicapai dalam waktu 2,5 jam. Kotanya sangat menyenangkan. Serasa Bandung di awal tahun 1982, saat aku baru pindah dari Jakarta. Airnya pun dingin dan segar. Kalo nggak inget ini adalah kunjungan kerja, pasti aku langsung nyebur deh ke kolam renang, ha...ha...ha...! Oleh tuan rumah kami diajak makan soto ayam. Hmm....yummy, pagi-pagi makan yang anget-anget.

Setelah berbincang-bincang, kami melanjutkan perjalanan ke Banjarnegara. Ini juga gampang banget jalannya, hanya perlu berhati-hati di tikungan-tikungan yang berbahaya aja. Asal jalannya nggak ugal-ugalan dan mematuhi tanda garis di aspal, pasti selamat. Tiba di Banjarnegara kurang dari satu jam. Di sini ngobrolnya agak lama soalnya disambi makan ayam goreng presto Bandung yang muantaap. Apalagi, baksonya juga oke punya, legit dan rasanya enak.

Kami kembali ke Yogya sekitar pk 15.00. Jessie minta berhenti mau memotret sawah terasering. Terus anak-anak pipis dulu di pom bensin. Begitu selesai memotret terasering, hujan mulai turun. Gak lama setelah hujan turun, begitu mau masuk Wonosobo, panas mentari mulai muncul. Tapi begitu menuju Parakan, kabut turun. Seru banget deh jalan kayak begini. Ini juga karena pake si Konde. Kalo pake si Mumun, mmm....mejen! Ada tanjakan tinggi di daerah Parakan, sampai aku harus pindahkan gigi ke 2, supaya si Konde oke. Tadinya mau aku tekan tombol turbonya, tapi nggak jadi ah, nanti dia melesat lagi, padahal di depan ada truk-truk yang terpaksa merayap.

Lepas Parakan, masuk Temanggung. Dari situ lancar deh baliknya ke Yogya. Yang nggak ngira, kami terlalu cepat belok kiri menuju rumah Betty. Jadi nyasar, jauuuuh sekali. Mana cuma sendiri di jalan itu, dan guelaaap sekali. Anak-anak tadinya masih sempet bergurau di belakang. Tau-tau mereka sadar kalo kami tersesat. Udah pada mulai ketakutan, tapi aku dan Betty tenang-tenang aja. Tau-tau lewat dua motor dengan polisi berpasangan di atasnya. Aku lupa tuh sandi morse s o s, he...he...he..., jadi lewatlah polisi-polisi itu. Ya udah, pake ilmu pas pramuka aja. Akhirnya kami menemukan jalan besar. Nggak taunya itu nembus di Jl. Palagan atas deket rejodani, jauh banget yak! Ha....ha....ha....

Sesampainya di rumah anak-anak mandi air hangat terus nganterin misua deh ke stasiun, dia ada tugas kantor ke Jakarta. Hmm... a thriller at the end of my nice trip.

Liburan Singkat

Kalau musim liburan dan kita nggak libur sendirian, rasanya ternyata nggak enak. Tapi, kalau keadaan tidak memungkinkan untuk liburan, daripada ngresulo, medingan mikirin liburan yang kreatif deh. Kali bahasa di dunia kerja: on teh job training, ha...ha...ha...

Minggu pertama Jessie banyak ikut aku kerja, bahkan kalau diajak ke supplier kaos, senangnya bukan maen. Malah dia yang belanja, aku duduk-duduk aja di samping ownernya sambil nego jenis kaos dan harganya. Dari rumah udah dicatetin apa yang mau dibeli. Besokannya ke disainer bikin gambar di kaos. Dia juga yang merhatiin apakah semua huruf udah betul atau komposisi gambar udah cantik. Aku tinggal ngawasin dari belakang supaya tetap sesuai dengan kemauan si pemesan.

Nah, wiken kemaren akhirnya bisa juga liburan singkat. Begitu ditanya mau traveling ke kota mana. Tanpa ragu Jessie menjawab. "Solo. Aku pengen makan di Galabo lagi." Jadilah pagi-pagi, 27 Juni, kami berangkat menuju Pandawa Water World. Aku pernah denger water park yang ini bagus dan mahal. Kalau mahalnya iya, untung punya kartu debit BCA, jadi didiskon 50%. Kalo nggak, Rp 100.000 per orang untuk wahana yang cuman segitu kayaknya kemahalan deh. Soalnya di dalamnya cuma ada satu kolam arus kayak di Ancol, terus sliding balita 1, sliding kids 1, sliding dewasa 3 tingkat, dan sliding yang gelap tanpa sinar samsek 1 dan kolam ombak. Udah, nggak ada apa-apa lagi. Mungkin kalo ukuran Jawa Tengah, waterpark segitu udah canggih banget kali, abis biasanya amen di Ciputra Waterpark yang banyak banget wahananya.

Aku puas-puasin deh berenang sampe naek turun sliding berkali-kali sama Jessie. Nungguin kolam ombak sampe dua kali, biar Jesie bisa ngerasain maen ombak. Kayaknya sih udah nggak mungkin deh maen ombak beneran di pantai, he...he...he...! Ada satu sliding dewasa yang benar-benar curam. Begitu berhenti kakiku langsung lemes dan Jessie juga tercenung-cenung. Bener-bener kayak terjun. Itu salah satu yang bikin asyik di sini. Tapi, cukup sekali aja ah, ntar lemes beneran lagi.

Pulang dari Pandawa, langsung menuju Solo Grand Mall. Malah dapet sepatu sekolahnya Jessie, padahal tuh sepatu susah banget dicarinya kalo di Yogya. Abis makan siang, langsung ke Hotel Asia. Tidur sebentar terus tancep deh ke Galabo. Walaupun bukan tanggal muda tapi nih jalan penuh banget sama orang yang pada nyari makan malem sambil jajan sana sini. Sebenernya dapet meja untuk makan, malah Jessie minta duduk di tikar. "Kan kita mau nongkrong di sini. Kalo duduk di meja sih nggak seru," begitu komplennya.

Sesudah kenyang, jalan-jalan sebentar di bazar batik yang masih buka di sana. Pulang langsung tidur, kelelahan. Besok paginya abis sarapan, aku dan Jessie berenang lagi. Airnya dingin banget soalnya tuh kolam nggak keba sinar matahari. Untung juga aku prepare handuk dari kamar karena bagian kolam nggak nyediain handuk. Puas berenang kita check out, tancap ke Solo Square, mau liat pameran buku Gramedia yang diiklanin gede-gedean di koran Yogya. Tapi...isinya begitu-begitu aja deh, untungnya masih ada buku yang bisa aku beli untuk meningkatkan ketrampilan. Abis dari pameran aku naek ke Gramedianya langsung. Baru deh puas, banyak buku baru.

Pk 15.30 kami keluar dari Solo dan pulang ke Yogya. Enak banget kalo bawa mobil gedhe kayak si Konde. Sepanjang ruas Solo-Klaten dulu-duluan terus sama Innova. Kalo sopirnya kayak aku gini, Innova lewat deh. Nggak berasa dibawa lari 120 km. Setelah bolak-balik Yogya-Solo, aku jadi hafal mana ruas jalan yang berbahaya dan potensial menjadi ajang kecelakaan. Syukurlah perjalanan libur singkat kemaren berlangsung selamat dan tiba di Yogya dengan hati sukacita.

Besok dan lusa Jessie akan menikmati liburan di Perpustakaan Kota, ikutan bikin clay dan gerabah. Aktivitas begini yang aku harapkan bisa menumbuhkan minatnya di bidang kerajinan, secara ini ketrampilan yang paling mudah dilakukan di waktu senggang.

Kesempatan Terakhir

Aku senang sekali mendapat telpon dari sahabatku, Sr. Anna, PK. Ini sahabat by accident, karena aku mengantarkan buku pesanannya saat masih di Kediri. Lalu, suatu kali kami sekeluarga berlibur dan Jessie kami ajak mengunjungi Sr Anna di biara. Waktu itu Jessie masih kecil, umur 4 tahun. Kami mengajaknya supaya ada bandingan nyata dengan biara di fil Kakak Maria (maksudnya The Sound of Music).

Sejak itu persahabatan terus terjalin. Sr Anna juga menolongku menyampaikan bukuku ke tangan para remaja binaannya. Nggak nyangka aku kalau bahasa remaja di bukuku itu bisa diterima Sr dan bahka dibantu untuk menjualkannya. Wah, itu pertolongan besar buat penulis pemula. Kalau bukunya diserap pasar 1000 eks mendadak sontak, kebayang kan sukacitaku? Tapi bagiku bukan nilai komersialnya yang penting, tapi isi buku itu yang bisa memperkaya jiwa remaja, apalagi Sr Anna membantu menyampaikannya dengan cepat ke tangan yang tepat.

Kami masih bertemua dua atau tiga kali lagi, lalu setelah itu kami hanya kontak lewat email atau telepon. Lalu Juli ini Sr Anna akan meninggalkan Indonesia untuk menempati pelayanannya yang baru di Daughters of Charity di Irlandia.

Ketika kami bertemu kemarin, aku sempat bertanya tokoh wayang siapa yang dijadikan idolanya. Ternyata Parikesit, putranya Arjuna, karena Parikesit menjadi raja di usia yang terbilang sangat muda, 16 tahun. Hampir mirip dengan kondisi Sr saat menjabat Provinsial di usia 36,5 tahun. Saat pelantikan ditanggaplah wayang dengan lakon Parikesit menjadi raja. Wah, luar biasa pengalaman hidupnya. memimpin tarekat di usia sebelum 40 tahun adalah hal yang jarang terjadi.

Kemarin mencari oleh-oleh untuk sahabatnya di Irlandia. Senang juga karena kemarin aku berhasil mempertemukan Sr dengan sahabatku yang punya homestay di Jl. Kaliurang, jadi Sr bisa lihat tempatnya dan memperkirakan tempat itu untuk tempat berlibur para suster suatu saat kelak. Rupanya Sr senang karena tempat itu dekat dengan Seminari Kentungan.

Perjumpaan kami diakhiri dengan makan siang bersama di Warung Pak Parto. Di sinilah selama makan siang Sr Anna mengarahkan Jessie bagaimana harus mulai menunjukkan minat hidup sejak dini. Aku ngedengerin aja dialog mereka. Memang lain kalau pendidik yang berbicara.

Selamat jalan, Sr. Teruslah berkarya di ladang-Nya yang maha luas. Penyelenggaraan-Mu ya Bapa, menyelenggarakan segalanya.

Hasil Belajar

Tanggal 20 Juni tahun ajaran SD 2008/2009 berakhir sudah. Tahun ini prestasi belajar Jessie bagus sekali. Untuk anak seusia dia dengan karakter yang agak-agak sanguine, hasil yang dicapainya ini membuat aku bangga.

Ada beberapa hal yang membuat aku bangga kepadanya:
1. Semangat Jessie nggak pernah kendor. Kalau lihat gimana dia serius ngerjain peer yang 'cuma' prakarya, aku suka geleng-geleng. Dia selalu ingin menghasilkan yang terbaik. Selain itu semangat memperbaiki performancenya. Keliatan banget di olahraganya. Semester lalu olahraganya hanya 65, lalu dia belajar-belajar sendiri koprol dan kasti. Semester ini naik 7 poin. Lalu kalau ada peer pelajaran, dia langsung mengerjakan, terutama yang membutuhkan latihan.

2. Rupanya dia ingat pesanku supaya memerhatikan perkataan-perkataan gurunya. Maklum, anak segini biasanya suka cerita-cerita sendiri kalau di kelas. Pernah satu kali dia lupa kalau hari itu ulangan agama, dan hasilnya bagus. Aku aja sampe mengelus dada begitu diberitahu hari itu ulangan agama. Untung tahunya setelah pulang sekolah, kalau pagi hari sebelum berangkat sekolah, hmmm...pangkostrad bisa muncul sekalian mendadak apel pagi, hahaha...

3. Optimisme Jessie kuat sekali. Ada sih satu dua kali saat akan menempuh ulangan akhir dia menangis karena merasa tidak bisa menguasai pelajaran dan nilainya akan jelek. Kalau udah gitu, aku tau dia sudah sampai di puncak kecemasan. Aku memeluknya erat-erat dan menghiburnya supaya tenang. Setelah lega menumpahkan airmatanya, suddenly her brain become so brightly......, jadi kecemasan ada tuh hubungannya sama kecepatan menangkap materi pelajaran.

4. Selalu berharap yang baik. Nah kalau ini yang terasa menonjol tahun ini. Pengennya selalu mendapat yang baik.

Ada juga beberapa kelemahannya:
1. Angin-anginan. Kalau pelajarannya membosankan, susah sekali menggerakkan Jessie untuk belajar. Sampe harus mengupayakan cerita supaya bahan itu teringat dengan baik. Aku juga harus sedikit-sedikit menerapkan metode belajar ala Tony Buzan, yang ternyata sangat menolongnya mengingat.

2. Sering lupa belajar sore. Saking senengnya sama udara pagi, duplikasi abis maminya, dia jadi susah kalo suruh belajar sore hari. Kalaupun ingat, jawaban 'sudah mom' cepet sekali keluar, mungkin untuk mengakhiri rentetan nasihat kalau orang nggak mau belajar, hahaha...

3. Sering malas mengatur bukunya sebelum ke sekolah. Beberapa kali bukunya tertinggal, atau melupakan fotokopian dari gurunya. Pernah suatu sore ngotot nge-net, ditanya semua tentang pelajaran esok hari jawaban klasiknya selalu terucap: 'sudah." Besoknya baru tahu ada peer ini, ada peer itu. Aku tenang-tenang aja melihatnya kelimpungan cari sana sini. Benernya nggak tega, tapi kalau dibantu nanti anaknya nggak belajar-belajar bahwa persiapan itu penting.

Aku pribadi merasa lega melihat prestasi belajarnya. Aku menyembunyikan dalam-dalam keinginan untuk membanding-bandingkan Jessie dengan anak lain. Bagiku itu merusak pandangan baik tentang dirinya sendiri. Hasil belajarnya harus dilihat kembali pada kondisinya sendiri. Kayak aku gini agak susah di lingkungan sekolah yang bersaing ketat, tapi aku tetap bersikap begitu. Hasil akhirnya bukan saat tahu Jessie lebih atau Jessie kurang, tapi untuk masa depannya.

Belajar dari pengalaman dan teori, aku menerima saja hasil ulangannya. Aku nggak pernah nuntut dia selalu dapat 100, tapi aku selalu berpesan, "Hati-hati ya Jess kalau ngerjain ulangan." Itu aja anaknya akan selalu berujar seperti ini, "Mom, ulanganku dapet 82,5. Nggak apa-apa ya?" Gimana kalau aku nyecer supaya be the best? Bisa stres berat, kali. Yang penting aku selalu mendampinginya saat belajar, berusaha keras memperlihatkan keseriusanku dalam belajar (maksudku saat menyiapkan ceramah), supaya ada modelling. Anak kan memerhatikan bagaimana sikap ortunya. Kalo kata-kata ortunya sih biasanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Di atas semua itu aku bersyukur Tuhan mendukung dan menguatkan kami sekeluarga. Indah memang hasil yang dinikmati karena bersusah payah mendapatkannya. Praise the Lord Jesus.

Senandung Yogya

Kemaren malam waktunya Jessie hang out sama Papinya, sementara aku rapat di gereja. Pulang rapaty aku jemput mereka di McD Malioboro Mall. Karena waktu itu sudah pk 22.30,aku coba-coba aja menelusuri Malioboro untuk melihat apakah lesehan burung dara goreng langganan udah buka. Sekian tahun lalu kami berdua sering nongkrong malam-malam di depan toko Liman, karena burung dara gorengnya asyik punya. Ternyata udah buka, jadilah kami nongkrong. Ini kali pertamanya buat Jessie nge-lesehan. Dia menengok ke sana ke mari memerhatikan dinamikan di sekelilingnya. Buntut-buntutnya Jessie nggak jadi ngegado burung dara malah sibuk motretin makanan yang disajikan. Malam semakin larut, satu dua pelukis wajah menawarkan melukis wajah dan atau karikatur. Sementara itu ada sekelompok pengamen menyanyikan lagu-lagu Menado. Kalo ini sih pengamennya profesional, soalnya bisa suara dua dan tiga. Sayangnya, nggak disediain tempat buat naruh saweran.

Kemarin dulu kami bertiga juga nge-bajigur di Kadin. Udah lama banget nggak ke sana. Kayaknya di Yogya bajigur yang available tiap saat cuman di sana. Jadi sehabis makan malam, kami langsung nagbur ke Kadin. Sedap deh, bajigur pake es, tambah sedap lagi karena ada musik keroncongan lagu-lagu lama. Nggak berasa tau-tau udah pk 21.30.

Kemarennya lagi, ak sama Jessie siang-siang makan di Mirota Batik. Tadinya pengen makan sambil liat-liat jalan depan pasar Beringharjo. Sampe sana malah disuguhi piano klasik. Untuk aransemennya nggak ruwet, jadi tetap terasa nyaman walau siang bolong. Setelah menyantap makan siang, aku diam-diam mencandra semua bunyi di luar diriku. Ternyata samar-samar ada bunyi kayuhan becak, suara orang tawar menawar, suara sirene ambulance dan sura remaja bergerombol jalan-jalan. Belum lagi di kejauhan ada suara tekukur sahut-sahutan. Semua itu msih ditingkah dengan semilir angin segar. Siang panas jadi terasa syahdu, bikin mata mengantuk...

Itu yang bikin aku cinta Yogya. Di kala aku bosan dengan mal dan toko, ada tempat-tempat tertentu yang memadai untuk menyelaraskan jiwa. Kalau aku diam sedikit lebih lama, irama kota ini yang sarat seni akan muncul, juga irama pedesaan yang mencuat di tengah modernitas kota besar.

Jualan

Beberapa hari lalu datang teman yang sudah bertahun-tahun tak ketemu, sepuluh tahun aja sih lebih deh.

Temanku ini membawa dua orang temannya yang mau minta aku menjadi narasumber dalam acara mereka. Ngomong punya ngomong, sampailah ke pertanyaan, "Suami Bu Mariani masih menerbitkan buku?"

"Masih, Pak. "

"Buku jenis apa ya?"

"Buku yang cocok untuk pasar anak muda, manajemen dan permainan." (Aku langsung keluarin deh contoh buku-bukunya, soalnya lebih baik melihat contoh daripada keterangan bla bla bla).

Mulai deh misunderstending terjadi. Bapak yang satu memang benar-benar bapak yang baik, steady di dunia kebapakannya, nggak pernah ngintip dunia lainnya. Keningnya berkerut, lamaaa sekali. Aku udah tau pasti akan muncul pertanyaan, cuma pertanyaannya itu yang nggak aku sangka...

"Lho, ini anak kos jualan apa ya? Sebelumnya pernah jualan? Koq ini judulnya jualan lagi?"

"Jualan???" (sambil terus bertanya-tanya di dalam hati).

Lalu....AHA! Ini kan dunia yang bernuansa jawa, mestilah kata dodol diterjemahkannya sebagai jual, karena dalam bahasa Jawa, dodhol means jual!

"Oh, itu istilah anak sekarang Pak. Dodol itu artinya bloon-bloon gimanaaaa...gitu. Bukan jualan artinya."

"Wah, ketauan deh kalo saya ini jadul banget...! Jadi ini kisah-kisah tentang apa ya?"

"Tentang kehidupan di kost anak-anak mahasiswa itu, Pak."

Singkat cerita, mereka pun pulanglah dengan damai. Aku yang masih terkegut-kegut menemukan masih ada orang yang nggak ngeh artinya dodol. Memang, Yogya buka Jakarta sih. Nggak semua orang di Yogya harus paham dengan istilah-istilah anak muda, yang cepat menyebar layaknya api disiram bensin. Barangkali dunia memang berputar amat cepat, perubahan terjadi di mana-mana, pun di tatanan yang paling kecil dalam keluarga, yakni di dunia remaja. Barangkali juga Indonesia kelak menjadi Jakarta, artinya orang dengan dialek Jakarta yang lebih diajeni. Padahal, Indonesia bukan hanya Jakarta. Ada kekayaan dan keragaman budaya di tanah tercinta ini. Bukan sekali ini aja aku menemukan orang-orang yang murni terkungkung dalam budaya tanah Yogya, tapi bagiku itu bukan kesalahan atau kemunduran atau kejadulan, melainkan sebuah nuansa yang layak dijaga dan dipertahankan.

Apa jadinya kalau Indonesia menyiut jadi sebesar Jakarta saja???

Getting Old

Sabtu minggu lalu aku menghadiri kebaktian di gerejaku. Sebenernya aku pengen yang hari Minggu, suasana kebaktiannya lebih tenang, syahdu, waktuku juga lebih longgar dan lebih jenak mendengarkan khotbah. Namun karena aku harus mengajar di Sekolah Minggu setiap Minggu pagi, jadi aku harus cari alternatif kebaktian yang bukan hari Minggu.

Satu-satunya kesempatan hanya Sabtu sore. Kalau Minggu sore bawaannya udah capek melulu. Karena harus, ya aku yang menyesuaikan diri dengan suasana kebaktiannya. Modelnya seperti kebaktian anak muda deh, liturgi yang baku dimodifikasi semua. Setempo menyenangkan, apalagi kalau pilihan lagu-lagunya masih ada yang kukenal, walaupun berirama rancak.

Sabtu lalu aku sangat merasa tidak nyaman. Pranata acaranya pake baju kedodoran, lalu cara dia mikenya terlalu dekat dengan mulutnya, jadi kata-katanya nggak jelas. Udah gitu, bandnya keraaaas banget, sampe perkataan pranata acaranya nggak kedengeran. Tau-tau dia lari ke belakang dan muncul lagi pranata acara yang lain. Ini juga gawat, matanya kena tick, jadi kedap-kedip tak terkendali. Walaupun susah, aku masih berusaha menolerir, apalagi anakku senang dengan lagu-lagunya. Tapi, hatiku berontak waktu muncul tari-tarian sebelum khotbah. Pikirku, ini apa-apaan, apakah dengan tarian penghayatan terhadap lagu jadi lebih baik? Aku iseng aja mengitari ruangan dengan sudut mataku. Eee..., malah pada longak-longok mau melihat yang nari. Oalaah....

Aku jadi ngerasa tua banget kalo gini. Apa mungkin banyak pemahaman teologis yang bikin aku nggak bisa menerima hal-hal seperti itu ya? Kalo kemungkinan kedua sih kayaknya nggak deh, wong sekolah teologi aja nggak koq. Tapi lebih mendekati yang pertama....getting old!! Jadi, aku harus mawas diri supaya nggak jadul, masak kayak gini aja nggak bisa nerima? Jangan-jangan kalo Jessie beranjak besar, aku dan papinya semakin tertinggal di era jadul-jadulan.

Hai jiwaku, tetaplah muda sekalipun usia tak mungkin diputar menjadi muda kembali!

Makan Ikan

Mustahil deh kayaknya kalo aku masak setiap hari. Di samping repot, aku juga jadi nggak bisa ngapa-ngapain. Beberapa waktu lalu aku rutin beli makan siang dan malam di dua tempat yang menjual home cook. Walaupun Jessie dan bapaknya seringkali protes akan rasanya, aku tetap ke sana memilih menu yang kira-kira kami sukai. Tapi ada hari-hari yang memang nggak cocok menunya. Kalo udah gini, aku memilih masak sendiri.

Minggu lalu, Jumat juga, aku coba-coba goreng ikan tengiri. Bumbunya sederhana: asam garam. Begitu digoreng, wanginya merebak ke seluruh rumah dan Jessie ama bapaknya makan dengan lahap. Hari ini aku beli bawal putih. Bumbunya akau ganti dengan garam dan jeruk nipis. Rupanya, menggoreng ikan nggak seserem yang pernah aku lakukan sewaktu masih di Perwita Wisata. Waktu itu, tembokku sampe kena bercak-bercak minyak. Dasarnya juga aku males kalo pake api kecil dan harus nunggu agak lama. Di rumah sekarang, mau nggak mau harus pake api kecil. Kalo tuh minyak sampe muncrat kemana-mana, bisa berabe. Tutup dandang yang aku jadikan tameng.

Aku mencoba membiasakan Jessie menyenangi ikan. Biasanya kalo aku goreng ikan, aku tambahin rebusan sayur. Kebanyakan brokoli atau labu siam (jipang). Direbus biasa dengan sedikit garam. Jadi, dia makan ikan dan sayur. Soalnya pertumbuhan Jessie sedang pesat-pesatnya sekarang. Selain ayam, sapi, dll, menurutku ikan paling oke proteinnya. Kalau periode ini lewat, dan aku nggak bisa nangkep momennya, pertumbuhan tubuhnya akan biasa-biasa aja, padahal kegiatannya seabreg. Nggak apa-apa repot sedikit cuci-cuci sehabis menggoreng ikan, asalkan kebutuhan protein dan mineralnya tercukupi. Mungkin suatu kali aku bisa menemukan resep masak ikan yang nggak terlalu merepotkan tapi yummy?

Si Mumun Sakit

Sebenarnya sudah dari beberapa waktu lalu si Mumun dibawa ke 'dokter'nya. Kadang-kadang kedengeran seperti batuk-batuk. Kemarin ini malah minumnya banyak sekali, tapi masih tetap bisa berjalan walau kepayahan.

Sore kemarin mencapai puncaknya. Beberapa kali dia mogok jalan. Dipaksa pelan-pelan, akhirnya berhenti total di depan kantor pos besar. Mau tak mau si Mumun harus opname!

Sedih aku karena Mumunlah yang setia menemani aku bekerja, mengantar jemput anak, melayani, dan bersenang-senang. Waktu mulai terdengar batuk-batuk, harusnya aku berhenti sebentar dan check up. Namun karena kesibukan yang membutuhkan kehadirannya, check up itu tak pernah terlaksana. Beberapa hari ini temperaturnya agak tinggi, melebihi yang biasanya, walaupun tak pernah lupa aku memeriksa apakah Mumun cukup minum atau tidak.

Kemarin sore, saat aku dan Jessie berangkat ke kebaktian Sabtu, Mumun mulai rewel. Hidupnya bergantung pada pasokan gas ke mesin yang temperaturnya tinggi. Tak henti-henti ia berkipas supaya suhu tubuh agak sedikit turun. Kalau pasokan gas berkurang sedikit, langsung ia tak mau jalan. Beberapa kali itu terjadi: di dekat Samsat Jlagran, di lampu merah dekat stasiun Tugu, di putaran dekat Hotel Garuda, di depan Hotel Mutiara dan di perempatan Kantor Pos Besar. Akhirnya aku mengistirahatkan Mumun di parkiran Kantor Pos, sambil menunggu dokternya datang.

Istirahat yang banyak dan cepatlah sembuh. Tak berdaya aku tanpamu...

Anak Semata Wayang

Akhir-akhir ini aku bertemu dengan banyak keluarga yang anaknya cuma semata wayang alias sorangan wae. Ada yang anaknya laki-laki, ada juga yang perempuan seperti kami. Aku mendapat cerita bagaimana mereka tumbuh dan dibesarkan dengan pola-pola tertentu. Hasilnya tentu unik. Ada sebuah keluarga berkecukupan yang ketemu aku minggu lalu. Mereka sangat menyayangi anak satu-satunya ini dengan cara mencukupkan segalanya, melindunginya dari marabahaya dan mengarahkan hidup anaknya ini sedemikian rupa sehingga sang anak selalu berada di jalan yang aman.

Aku ngeri juga sebenarnya punya anak cuman satu, walaupun aku senantiasa mensyukurinya. Ngerinya, kami menjadi ortu yang over protektif sehingga anak kami ini nggak bisa mengembangkan dirinya secara maksimal. Pikiran kami kadang-kadang berbeda darinya, dan banyak kali kami deg-degan menuruti jalan pikirannya. Mungkin cerminan dari sikap kami yang over protektif itu adalah keluarnya banyak aturan yang harus dipatuhinya. Semua serba jangan, jangan ini, jangan itu. Atau semua serba seharusnya. Mungkin dia juga pusing kebanyakan aturan.

Aku bersyukur karena anak kami ini dikaruniai kecerdasan yang very very good. Selain faktor genetis, mungkin juga karena pola asuh kami yang senantiasa mengajaknya bercakap-cakap, kadang-kadang berunding bersama, atau bahkan berantem debat-debatan. Dia bisa diajak berdiskusi, nggak perlu nerangin hal yang rumit dengan bahasa anak-anak, bisa langsung mengerti dan merespon. Selain itu dia terbebas dari kecenderungan orangtua untuk membanding-bandingkan. Kami juga memacunya untuk membandingkan dirinya dengan dirinya sendiri. Kalau ini sih kebanyakan epps deh. Perbandingan yang bermakna itu kan kalau terjadi di dalam dirinya sendiri, bukan kalau dibandingkan dengan orang lain.

Gimana hasilnya? So far so nice. Aku mengurangi banyak larangan dan mencoba mengajaknya melihat dari sisi negatif atau positifnya. Khususnya aku, berusaha tidak menuntutnya terlalu tinggi dan banyak. Aku mencoba take it easy, biar dia enjoy sedikit dengan masa kanak-kanaknya. Kalo ulangan dapetnya 87, oke, nggak perlu selalu 100. Yang penting dia tahu sudah mengusahakan yang terbaik. Yang paling penting bagi kami, dia nggak jadi anak manja tetapi jadi orang yang mandiri.

Nggak ada sih sekolah buat orangtua dengan anak tunggal, hmm...

Last Minute

Seminggu terakhir ini, hidupku seolah dihitung dalam satuan detik, saking begitu banyaknya hal yang harus aku kerjakan dalam waktu yang singkat. Aku sangat bersyukur karena dalam kondisi demikian kondisi badan tidak terganggu, suasana hati selalu ceria dan tetap bersemangat.

Di awal bulan, aku memulai lagi tugasku setiap Juni dan Juli, mengunjungi mahasiswa teologi yang sedang praktik di jemaat-jemaat. Kalo dipikir-pikir, aku koq jadi mewarisi fungsi DPL nya mahasiswa KKN dulu di UGM. Kalo nggak salah ingat sih kami memanggilnya Pak Gatot, walaupun tak tahu nama lengkapnya. Dia kalau datang tiba-tiba di tempat KKN, anak yang sedang di luar lokasi pada waktu dia datang, langsung terkena kartu merah. Strick banget, tapi kalo nggak gitu ratusan mhsw yang KKN bisa hilang satu per satu. Kalau aku dkk modelnya memberitahu dulu kepada Majelis Jemaat yang ditempati mahasiswa praktik, sekaligus sowan karena sebelum ini hubungannya selalu lewat surat. Tahun ini jumlah mahasiswa KKN lumayan banyak, 19 orang. Syukurlah tim kami 10 orang, walaupun nggak semua bisa jadi visitor.

Minggu pertama Mei aku merampungkan penugasan sebagai editor buku sejarah GKI Ngupasan. Tugasku ini sangat mudah dibanding dengan penyusunnya. Kalau lagi cepet-cepet, ada aja hambatannya. Karena kompie sang penyusun kerap hang, lalu data yang dicari ternyata tidak ada, foto kurang lengkap, aku baru pegang naskahnya tanggal 6 Mei. Padahal 9 Mei libur dan 10-13 Mei aku ke Magelang. Wah.....mefet sekali waktunya. Jadi pas misua juga ada rapat di kantor sampai malam, ditemani secangkir kopi, aku begadang sampai Kamis dinihari. Draft kasar langsung aku print dan bawa ke Ketua Majelis supaya dibaca dan dibuatkan Kata Pengantar. Kamis aku bertemu dengan penyusunnya untuk memantapkan isi dan berembug soal cover. Jumat kemarin aku di percetakan dari pk 14.30-pk 20.00. Syukurlah selesai. Senin approval terakhir dari penyusun, lalu naik cetak deh...

Sabtu libur-libur seperti hari ini sih pengennya pijat, baca novel sambil nyeruput kopi, asyik kan kedengerannya. Mudah-mudahan kesampaian...