Pertama kali aku diperkenalkan dengan sate jenis ini oleh temannya temanku, lebaran tahun lalu. Waktu itu kami pergi siang-siang dan perjalanan terasa amat jauh. Karena yakin akan mappingku, aku tak bertanya-tanya ke arah mana, yang aku ingat adalah ringroad parangtritis belok kiri lalu perempatan belok kanan. Perjalanan pertama ke sana akhirnya pake nyasar-nyasar.
Setelah itu aku menghafalkan landmarknya. Kalau dari arah kota Yogya, ambil rute menuju Parangtritis, yaitu Jl. Parangtritis. Begitu sampai di perempatan ringroad, belok kiri ke arah Imogiri. Perempatan lagi, belok kanan. Nah, ini jalan desa, agak jauh baru ada perempatan lagi. Papan petunjuk nya: ke kanan itu ke Rumah Budaya Tembi, ke kiri itu ke Pleret. Ambil jalan menuju Pleret. Di kiri kanan itu sawah, jalan terus sampai di kanan jalan ada gedung olahraga. Maju lagi, kira-kira 100 meteran, di kiri jalan itulah sate klathak Pak Pong.
Istimewanya, warung sate ini menghadap sawah hijau nan luas membentang. Jadi serasa berada di manaaa gitu. Lalu, karena nir suara televisi atau tape, terdengarlah suara sepeda dikayuh di kejauhan, saat seorang bapak melintas di teritisan sawah dengan sepedanya. Nuansa itu yang membuat kami sekeluarga sering menghabiskan minggu siang di sini.
Sate klathak itu tusuk satenya adalah jeruji sepeda, disajikan apa adanya.
Konon bumbunya hanya bawang merah dan garam, jadi rasa satenya ini gurih dan polosan, soalnya tak ada bumbu lainnya dan warnanya gak coklat bakaran. Mungkin karena tusuk satenya itu jeruji sepeda, jadi panas yang masuk ke dagingnya merata. Dagingnya jadi empuk dan sekian persen prengus kambingnya juga hilang. Kalau pesan harus dikatakan bahwa maunya sate klathak. Soalnya, kalau bilang sate kambing aja, ya dibuatkan sate biasa dengan tusuk sate bambu itu. Kami pernah kecele suatu siang waktu bilang sate kambing, yang datang bukan sate klathak. Terpaksa disantap, tapi dagingnya tak seenak kalau diklathak. Seporsi sate klathak itu Rp 10.000.
Ciri khas lainnya itu teh hangatnya. Mantap, karena disajikan bersama dengan poci teh kaleng zadul, yang loreng-loreng hijau itu. Biasanya nasgitel, disajikan bersama dengan gula batu.
Lalu, kemarin malam, kami berdua mencoba sate klathak malam hari. Dari Pak Pong maju lagi, ada perempatan belok kanan. Persis di gang sebelah pasar ada papan petunjuk kecil: Sate klathak Pak Bari. Dia berjualan di dalam pasar. Bayangan kami dari rumah, pasarnya akan seheboh pasar Biru Maru di Donggala sana. Ternyata pasarnya bersih dan modern, udah dikeramik semua. Jadi, makan lesehan gitu terasa nyaman. Kalau di sini nasi putihnya diberi kuah gule. Tehnya juga sama enaknya. Kami makan 2 porsi sate klathak, 2 nasi putih dan 2 gelas teh habisnya Rp 16.000. Asyik kan?
Jadi, sate klathak siang, sate klathak malam, sama enaknya!
Sate Klathak
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment