Kayak ada aturan tidak tertulis di lingkungan gerejaku. Kalau udah lama nggak ada kematian, begitu ada satu kematian, lalu rantainya jadi panjang.
Dua hari lalu aku diajak seorang kawanku menghadiri kebaktian pelepasan jenazah, sebelum diberangkatkan ke G. Sempu. Upacaranya sesuai tata cara GKI, jadi aku tenang-tenang saja. Hari ini aku juga menghadiri kebaktian pemberangkatan jenazah. Aku hanya mengenal sepintas yang berduka, salah satu aktivis KUK. Yang seru upacaranya itu secara Khatolik. Rupanya, anaknya ini memeluk agama Khatolik, walaupun mamanya Kristen.
Langsung deh teringat semua misa yang rutin aku hadiri sejak TK – SMA. Caranya membalas nyanyian Romo, sesudah bacaan pertama, waktu komuni dan nyanyian-nyanyiannya. Ada juga yang aku kurang paham seperti pemberkatan jenazah, pemberkatan bunga dan tanah. Bagiku, semua itu tata cara untuk melapangkan jalan si jenazah aja.
Khotbahnya juga singkat dan sangat praktis berkaitan dengan bagaimana orang takut menghadapi kematian, tetapi Tuhan Yesus dapat memahami ketakutan ini hingga memberitahu murid-murid-Nya bahwa di rumah Bapa-Nya banyak tempat.
Aku nggak tau apakah setelah ini ada lagi yang mau ikut (hiii...), karena aturan tak tertulis itu biasanya kematian itu baru berhenti setelah tujuh kali. Lalu lamaaa….tak ada kematian, lalu mulai lagi.
Memang, lahir dan mati tak bisa dipilih harinya, tak bisa direncanakan datangnya dan tak bisa diduga kapan akan terjadi. Seperti kelahiran, kematian juga peristiwa ajaib. Karena itu bukan panjang pendeknya umur yang patut direnungkan saat kematian menjemput, tetapi seberapa dalam makna hidup yang telah dijalani.
Dari abu kembali kepada abu…, ada nggak ya bahasa Latinnya, kayaknya itu lebih nyesss…
0 komentar:
Post a Comment