Anak Semata Wayang

Akhir-akhir ini aku bertemu dengan banyak keluarga yang anaknya cuma semata wayang alias sorangan wae. Ada yang anaknya laki-laki, ada juga yang perempuan seperti kami. Aku mendapat cerita bagaimana mereka tumbuh dan dibesarkan dengan pola-pola tertentu. Hasilnya tentu unik. Ada sebuah keluarga berkecukupan yang ketemu aku minggu lalu. Mereka sangat menyayangi anak satu-satunya ini dengan cara mencukupkan segalanya, melindunginya dari marabahaya dan mengarahkan hidup anaknya ini sedemikian rupa sehingga sang anak selalu berada di jalan yang aman.

Aku ngeri juga sebenarnya punya anak cuman satu, walaupun aku senantiasa mensyukurinya. Ngerinya, kami menjadi ortu yang over protektif sehingga anak kami ini nggak bisa mengembangkan dirinya secara maksimal. Pikiran kami kadang-kadang berbeda darinya, dan banyak kali kami deg-degan menuruti jalan pikirannya. Mungkin cerminan dari sikap kami yang over protektif itu adalah keluarnya banyak aturan yang harus dipatuhinya. Semua serba jangan, jangan ini, jangan itu. Atau semua serba seharusnya. Mungkin dia juga pusing kebanyakan aturan.

Aku bersyukur karena anak kami ini dikaruniai kecerdasan yang very very good. Selain faktor genetis, mungkin juga karena pola asuh kami yang senantiasa mengajaknya bercakap-cakap, kadang-kadang berunding bersama, atau bahkan berantem debat-debatan. Dia bisa diajak berdiskusi, nggak perlu nerangin hal yang rumit dengan bahasa anak-anak, bisa langsung mengerti dan merespon. Selain itu dia terbebas dari kecenderungan orangtua untuk membanding-bandingkan. Kami juga memacunya untuk membandingkan dirinya dengan dirinya sendiri. Kalau ini sih kebanyakan epps deh. Perbandingan yang bermakna itu kan kalau terjadi di dalam dirinya sendiri, bukan kalau dibandingkan dengan orang lain.

Gimana hasilnya? So far so nice. Aku mengurangi banyak larangan dan mencoba mengajaknya melihat dari sisi negatif atau positifnya. Khususnya aku, berusaha tidak menuntutnya terlalu tinggi dan banyak. Aku mencoba take it easy, biar dia enjoy sedikit dengan masa kanak-kanaknya. Kalo ulangan dapetnya 87, oke, nggak perlu selalu 100. Yang penting dia tahu sudah mengusahakan yang terbaik. Yang paling penting bagi kami, dia nggak jadi anak manja tetapi jadi orang yang mandiri.

Nggak ada sih sekolah buat orangtua dengan anak tunggal, hmm...

2 komentar:

Anonymous said...

hai Ian aku salah satu ortu dgn anak tunggal yg memberikan kebebasan kepd Odi asal dia bertanggung-jawab dgn hidupnya,wah kalau ada skoll bt ortu dgn anak tunggal aku ikutan dah maklum gagal satu engga ada lagi he3.

Mariani Sutanto said...

Ius, kamu aja yang bikin based on your own experiment. Apalagi, di Aussie orang sudah alert dengan pendidikan anak di rumah. Kalo di sini, orang masih berusaha cari uang sebanyak-banyaknya dan anak diserahkan ke pembokat...:(