Wisata Desa

Suatu kali kami pernah menghabiskan setengah hari di Rumah Budaya Tembi. Rupanya anakku sangat terkesan dengan renangnya, alamnya, makanannya. Lalu dia pernah renang lagi di sana dengan temannya saat aku reunian dengan angkatan 85. Dan seperti Jessie, temannya ini juga senang sekali renang di sana.

Jadilah, kemarin, pagi-pagi kami berangkat ke sana. Kali ini aku mengajak seorang teman juga. Jadi girl party berempat ke Tembi. Sebenarnya udah agak siang, tapi cuaca mendung, jadi anak-anak langsung nyebur. Sementara aku dan temanku ngobs panjang lebar, ke topik yang kami ingat untuk dibicarakan. Kira-kira jam 11 perut mulai keroncongan, karena anak-anak hanya sarapan cereal paginya. Kami ke restonya. Anak-anak makan nasi goreng burung emprit, aku dan temanku nyemil tahu susur. Minumannya tetap minuman slendro pelog yang segar, bikin udara panas tak menyengat kami. Lalu anak-anak kembali renang, kami tetap di resto sambil nyoba koneksi internetnya. Aku sih mindah-mindahin catatan ke buku alamat yang baru, biar ringkas dan lengkap.

Kira-kira pk 12.30 kami makan siang. Mesennya nasi emprit goreng sama goreng banyak (sejenis angsa). Wah, sedap, apalagi sambalnya sambal mentah yang lumayan pedes. Terus, air putih disediakan dengan berlimpah, jadi nggak haus. Mustinya sih mungkin beli sebotol aqua ya, orang di gerobak minumnya disediakan aqua botol, tapi kami memilih air minum biasa yang agak dingin.

Pk 14.30 ana-anak selesai renang, mandi lalu ontheling menjelajah desa. Masalah timbul waktu anak-anak nggak bisa menaiki sepedanya karena terlalu tinggi. Jadilah kami memboncengkan mereka dipandu seorang guide dari rumah Tembi. Pertamanya sih ngeri banget karena udah lama nggak naik sepeda jadi oglak-oglek, menggak-menggok, kiri kanan. Tapi, sesudah 10 kayuhan, oke lah.

Pertama kami diajak melihat kerbau dan anaknya. Sekalian refresh pengetahuan bahasa Jawanya. Kan di sekolah diajarin nama anak-anak hewan. Mumpung ada contohnya langsung kerbau dan sapi beserta anaknya masing-masing, aku ingatkan lagi aja. Ternyata yang paling Jessie ingat itu anaknya gajah, namanya bledug, ha3.

Setelah melihat kerbau, kami diajak melihat kerajinan membuat bingkai cermin dari pelepah daun pisang. Menarik, karena jadi tahu campuran lem yang dipakai lalu cara membuat tutup vinil belakangnya itu. Dari sana kami beranjak ke kerajinan pre order dan batik Tembi. Pemiliknya sangat ramah dalam menjelaskan karya-karyanya. Dalam hati, aku naksir nih menjalin kerja sama dengan beliau, siapa tau bisa ngeramein toko onlineku. Bapak ini juga punya guest house seperti Rumah Tembi, tapi hanya dua rumah. Ada yang pake AC per malamnya 400 rb, yang trad 350 rb. Cuman nggak tau apakah dapat makan 3x sehari seperti di Tembi.

Di jalan pulang kami menjumpai workshop kerajinan yang tertutup untuk umum, kepunyaan seorang pengusaha australia yang tinggal di desa Tembi. Mungkin untuk ekspor, jadi khawatir disainnya muncul duluan di toko online sebelum pesanan sampe di tujuan, bisa kena denda cidera janji tuh, hiks.

Perjalanan menjelajah desa ini mengingatkanku akan desa KKN, yang rumah-rumahnya masih berlantaikan tanah. Ada teras tempat duduk-duduk sambil dengerin kicau burung perkutut. Juga bau rokok lintingan, yang umumnya dikonsumsi para pria dewasa sambil nunggu magriban. Juga tatapan penduduk akan hadirnya orang asing di tengah-tengah miliu mereka. Beberapa tertawa geli melihat aku naek sepedanya masih nggak lurus. Aku sih sama sekali nggak tersinggung karena di sana aku menatap keceriaan alami yang sama sekali nggak dipoles jaim-jaiman.

Menghabiskan hari di Tembi terasa cepat berlalu, liburan menyenangkan di selatan Yogya.

0 komentar: