Gempa

Sekitar pk 06.00, aku dan Jessie udah sia-siap mandi, mau sekolah. Pas abis matiin heater, koq listrik malah padam. Seharusnya kan waktu nyalain heater,kalau memang listrik mau padam. Kami keluar, buat menyalakan kembali aliran listrik.

Baru aja selesai mengunci pintu kembali dan berjalan ke sofa yang jaraknya kurang lebih 2 m, tiba-tiba terdengar suara dari atas genteng. Aku pikir ada kucing atau tetangga yang pagi-pagi udah ribut (dinding kami memang menyatu). Lama-lama, suara itu makin keras dan lantai rumah goyang keras.

Aku langsung jerit-jerit manggil misua, “Papi... Papi..., gempa!” Lalu aku langsung lari ke pintu, mencoba buka pintu dan teralisnya. Jessie yang sedang duduk di sofa langsung menangis. Misua keluar kamar, langsung gendong Jessie.

Kami berlarian keluar rumah, dan di dalam terdengar suara benda-benda berjatuhan. Itulah saat aku merasa ketakutan luar biasa, kaki sampai gemetar. Kami lari sampai keluar halaman rumah, karena dari atas terdengar genteng-genteng berjatuhan. Tiang listrik goyang keras dan kabel-kabel listrik yang menyambung dari satu rumah ke rumah lainnya seperti berayun-ayun.Belum pernah aku mengalami gempa sehebat itu.

Setelah gempa itu hilang, listrik langsung padam. Dari mesjid di dekat rumah, pak lurah mengingatkan warga agar waspada dan menyalakan radio agar bisa mengetahui berita terakhir. Lalu tak lama kemudian berita radio disiarkan melalui mesjid.

Memang, rumah kami kehilangan 7 buah genteng, lis gipsum di atas dapur rontok 2,5 m, termos jatuh dari atas meja, terpelanting 2 m, patung dari atas kulkas terpelanting hingga kamar kerja, kira-kira 5 m jauhnya, tapi semua kerusakan itu tak ada artinya dibanding dengan cuil kejiwaan pada anak kami Jessie. Dia mengalami trauma yang luar biasa.

0 komentar: