Trauma Pasca Gempa

“Takut... takut..., ayo kita keluar aja,” seru Jessie di sela-sela tangisnya. Waktu di duduk-duduk di depan setelah gempa (karena kami semua nggak ada yang berani masuk rumah), tetangga belakang rumah kami berlari-lari sambil berteriak, “Air...air..., ada tsunami.” Dia berlari sambil mengajak kami mengungsi.

Anak kami yang masih bingung dan takut, kembali histeris. “Papi... tiupin ban renangku. Aku nggak mau tenggelam...., tiupin Pap...,” rengeknya sambil kembali menangis. Suara tangisnya bukan lagi seperti suara tangis anak-anak yang merajuk atau minta dibelikan sesuatu, tapi tangis ketakutan yang terasa sepi. Seolah-olah tak ada yang bisa menolongnya, atau dia akan tertinggal, lepas dari orangtuanya. Hati kami sangat teriris dengan kejadian ini.

Ketika kami keluar rumah sore hari untuk membeli makan, Jessie juga menangis terus di restoran. Tak henti-hentinya dia berkata, “Takut....takut...takut...” Sampe orang-orang di restoran melihat semua ke arah kami. Aku cuek bebek aja waktu itu, yang penting Jessie bisa makan dan merasa aman.

Kami menjadi buta berita karena setiap mendengar berita gempa, napasnya langsung memburu. Akhirnya kami nggak tahu terjadi apa di luar sana.

Malam hari menjadi suasana yang menakutkan. Biasanya Jessie tidur jam 8, tapi kali ini dia menolak untuk tidur. Kalo ditanya kenapa, jawabnya, “Aku takut ada gempa lagi, ada air, nanti gimana?” Akhirnya setelah menyediakan benda-benda yang membuatnya merasa aman, antara lain ban renangnya di sekelilingnya, Jessie mau juga tidur. Susunya hanya diminum seperempat gelas. Dia tidur sambil memegangi tangan Papinya. Malam hari sesudah gempa sekitar 21.30 memang ada gempa susulan lagi yang cukup terasa, tapi kami pura-pura nggak tahu dan terus tidur, supaya Jessie tidak terbangun. Papinya mengangkut springbed besar kami dan tidur di ruang tamu.

Keesokan harinya dia Jessie sedikit demi sedikit pulih karena bertemu temannya di gereja yang juga ketakutan akibat gempa dan nggak bisa tidur seperti dirinya. Sejak itulah dia mulai gembira. Dia mau diajak bernyanyi untuk ulang tahun gerejanya.

Satu hal yang terus kami doakan adalah agar Jessie segera pulih dari traumanya. Saat ini kami sedang mencari referensi untuk mengatasi trauma pasca gempa.

6 komentar:

Anonymous said...

Ci Ian, aku ikut sedih nih bacanya. hiks... Kacian Jessie.

Kadang, kita as a mother harus punya kekuatan extra, saat anak kita dalam masalah. Padahal dalem hati udah cemas, panik deg degan, but kita harus tetep tenang dan smile utk memberi kenyamanan pd anak. he eh spt yg ci Ian dah lakukan, cuek bebex aja, pura2 gak ngeh. Biar Jessie nyaman, sambil diam2 cari cara trus, gmana mengatasinya. Ntar aku bantu cari referencenya yah.

Semoga Jessie bisa cepet lupa dan cheer up lagi. -hugzz-

Ririn said...

seandainya anakku kelak besar seperti jessie dan mengalami trauma seperti itu, aku juga bakalan bingung untuk mengambil langkah apa...
semoga jessie bisa melupakan dan gak takut lagi...jessie pasti bisa!

Mariani Sutanto said...

Thanks ya mbak. Udah mulai normal lagi sih hari ini, makanya topiknya lain..:) Tapi mau saya terapi sederhana supaya nggak kagetan dan gumunan..:)

Mariani Sutanto said...

Dew, aku balas emailmu tapi accountku error, pake accountnya Khun aja ya, tapi kamu jangan binun.

Anonymous said...

Hallo Ian...

Pa kabar? Miris baca cerita gimana takutnya Jessie. Titip salam buat Jessie ya...bilang ke Jessie, selama ada Mami Papi, nggak ada yg perlu dia takutin :).

Mariani Sutanto said...

Buat Devita,
Thanks ya. Dia udah mulai pulih, cuman aku mau berhati-hati supaya jangan permanen. Salam juga buat ananda.