Adrenalin

Buat orang seumuran aku, ternyata menari itu needs a lot of energy. Sejak aku memasukkan Jessie ke sanggar tari Natya Lakshita dan dia mulai diajak pentas sana sini, aku melakoninya dengan kesadaran penuh. Namanya kesenian, pastilah tak bisa sepasti yang kuinginkan, misalnya riasnya lama atau kostumnya banyak pernak-perniknya.

Keadaannya jadi lain waktu aku sendiri yang menjalani proses periasan dan memakai kostum. Belum juga berangkat ke sanggar, leherku udah gatel-gatel. Ini sih aku langsung tahu kalo gejala-gejala kestabilan psikis terusik. Yang susah itu memompa adrenalin supaya mengalir deras. Salah satu yang berhasil aku bayang-bayangkan dan bisa meningkatkan semangatku adalah irama gendang saat kami menarikan ragam 1-6. Koreografernya emang ciamik banget, dan kebetulan aku suka dengan irama yang menghentak-hentak. Dengan semangat itu aku berangkat ke sanggar untuk dirias.

Celaka 12, rambutku terlalu pendek untuk dicepol (disanggul sederhana). Sang penata rambut akhirnya memasang harnet di sekeliling kepalaku, terus duhair spray beberapa kali. Untungnya aku pake topi aladin, jadi cepol nggak cepol, tertutuplah itu. Soal kostum juga masalah. Teman-teman lain ukuran tubuhnya mungil-mungil. Penata kosum sempat kecele, sampe beberapa kali ditukar tetap nggak muat. Akhirnya diamilkan kostum yang suangaat besar. Kalo dari labelnya itu kostum untuk permaisuri, tapi waktu aku pake koq gak persis permaisuri ya? Ha...ha...ha..., kayak mbok emban malahan.

Saat pawai itu, sampe depan Malioboro Mall, aku masih kuat lah goyang en megal-megol kiri kanan. Tapi, waktu mendekati perempatan Dagen, staminaku mulai abis. Kalo udah gini, senjataku cuman satu, senyum aja kiri dan kanan, tapi geraknya hanya seadanya. Akhirnya, sampailah kami di benteng Vredeburg, tempat pentas hut sanggar dilaksanakan. Aku lega banget, soalnya kalo ambruk di tengah pawai kan malu-maluin...

Berhubung tuh tarian banyak banget dan tarian kelompokku urutan ke tujuh, pegel-pegelnya mulai terasa. Kayaknya nih kaki nggak mau dibengkokin deh, maunya lempeng-lempeng aja. Terus pinggul juga ngilu-ngilu. Untung salah satu temenku bawa pharmaton formula, yang bisa mempertahankan kondisiku supaya tetep fit.

Walaupun lelah, aku senang sekali ikut pawai kayak gini. Siapa tau ini kesempatanku satu-satunya ikut dalam geliat budaya Yogya, bareng sang maestro tari transgender, lagi. Memang, kairos berbanding terbalik dengan kronos. Untuk menangkap kairos itu yang butuh kepekaan hati.

4 komentar:

Unknown said...

ha ha ha... what a great day !
keep dancin Mom...

Mariani Sutanto said...

Thank you, Rien. Dancing makes me so colorful...lhoh, koq jadi kayak lagunya Daniel Sahuleka ya?

Anonymous said...

Hai Ian fotonya bgs ,colourfull sekali yah jadi meriah dan ramai.

Mariani Sutanto said...

Kalo ikut pawai lebih meriah, irama gendangnya itu lho Ius yang bikin mana tahan nggak joged...!