Ada perbedaan yang cukup signifikan dalam diriku. Ini sangat terasa ketika memasuki usia 40 tahun, aku banyak berjumpa dengan kedukaan. Yang pertama adalah kepergian suaminya kongsi usahaku, hampir dua tahun lalu. Biasanya aku lega lilo kalau melayat, kali itu kebingungan dan kesedihan yang melandaku karena kepergian almarhum sangat mendadak. Sejak itu aku gamang kalau menginjakkan kaki di rumah kedukaan. Tapi, kehidupan kan harus berjalan terus, aku nggak bisa kan memanjakan diri dengan terus berkubang di momen-momen traumatis, maka aku memulihkan diri cukup cepat.
Dalam proses pemulihan itu aku memelajari kenapa orang merasa takut menghadapi kematian. Nggak usah kematian, tapi kondisi pingsan atau mulai tak sadarkan diri pun kadang-kadang menjadi sangat menakutkan. Mungkin kehilangan kontrol diri dan kegamangan akan apa yang ada di hadapannya, yang membuat ketakutan itu makin menjadi-jadi. Apalagi kalau tak seorang pun di sana yang mendampingi saat-saat maut itu menjelang. Mungkinkah ini yang dirasakan oleh sahabatku almarhumah, Martha?
Malam kemarin juga menjadi malam yang panjang dan menakutkan bagiku saat sms dan telepon dari adik iparku masuk, "Ya...Mama gimana, kasihan banget. Nggak bisa minum obat, minum teh aja netes-netes, susah banget nelennya. Waktu Aiai mau dipamitin ke omanya, ranjang Mama udah basah. Mama ngompol nggak berasa, Ya. Gimana nih, kasihan banget? Kita semua khawatir di sini." Dia cerita sambil nangis-nangis, soalnya sebelum dibawa ke rumah sakit kondisi Mama emang lemes karena muntah-muntah terus, tapi masih bisa jalan sendiri, masih aware terhadap kondisi dirinya. Setelah satu hari di rumah sakit koq malah drop. Nah itu..., mulailah ketakutan memompaku deras. Mana kemarin malam aku hanya berdua dengan Jessie, karena suami dinas luar kota. Akhirnya dengan tak berdaya aku menghampiri hadirat Ilahi bersama Jessie. Kami berdoa sambil menangis karena tak berdaya dan jauh dari Mama yang sedang sakit. Setelah itu aku mengirim sms ke pendeta-pendetaku untuk minta dukungan doa. Nggak lama kemudian Papa telepon, ngabarin kalo dia lagi siap-siap menuju Jakarta dari Purwakarta, dijemput sopirnya adikku. Aku memutuskan akan ke Jakarta Sabtu ini kalau sampai ada apa-apa, setelah rundingan dengan suami. HP ku juga nyala terus sepanjang malam. Aku yang biasanya tahan dingin, malam kemarin kedinginan sampai ke ujung-ujung jari kaki. Kira-kira pk 00.40 aku terbangun karena mendadak batuk hebat. Akhirnya aku bangun, minum obat batuk dan neuralgin, pakai kaos kaki dan mematikan HP. Aku terbangun pk 04.30 dengan badan yang remuk dan tanda tanya besar menggelayut dalam hatiku.
Kalau aku telusuri lagi, malam betul-betul panjang dan kelam, dan harapan melihat sinar mentari terasa jauuuh dan lamaaa banget. Saat pagi menjelang, aku sms adik iparku lagi dan puji Tuhan, kondisi Mama membaik. Sudah sadar dan sudah bisa nanyain kabar cucunya yang paling kecil. Aku betul-betul lega, Mama dalam perawatan tangan-tangan yang trampil. Cepat pulih ya Mom, kan kita mau ngerayain ultah Khun, Didi, Papa dan Andre bareng-bareng...
Melewati Kelam Malam
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment