He's Gone

Di kebaktian Minggu pagi aku mendengar pengkhotbahnya mengatakan kalau hidup ini harus dijalani dengan sebaik-baiknya, karena hari ini masih beraktivitas besok tiada. Aku nggak nyana kalau hari itu juga aku mengalami kehilangan. Tak disangka-sangka, tak diduga, tanpa pemberitahuan dan tanpa tanda-tanda.


Suami kongsiku dalam usaha kami meninggal dunia karena terkena serangan jantung. Begitu mendadak dan prosesnya sangat cepat. Sesudah jenazah di ruang mayat PUKY, aku mengobati kehilangan dengan berduaan saja bersama beliau. Istrinya pulang ambil baju untuk dipakaikan sesudah dimandikan, pelayat yang lain sibuk dengan kursi dan tetek bengeknya. Aku di sanalah dengan almarhum. Herannya aku nggak takut atau gemetar, bahkan aku melihat saat ia dimandikan dan dipakaikan baju.


Hari-hari perkabungan terasa sarat awan duka, karena sebenarnya 3 December aku janjian akan merundingkan disain kaos, tetapi ia berpulang sehari sebelumnya. Istri dan anak-anaknya kerap menangis sesenggukan, seolah-olah ingin mengatakan ini Cuma mimpi. Malam itu aku pulang dari rumah duka pk 02.30, beriring-iringan mobilku diantar saudaranya. Dari perbincangan sekecap-sekecap dengan temanku itu, aku sedih melihat betapa tidak siapnya keluarga yang ditinggalkan. Tapi kenyataan harus terus dijalani, peti harus ditutup dan akhirnya kami tak bisa lagi menatap Mas Janni.


Setelah empat hari disemayamkan, hari ini beliau dimakamkan. Aduh, rasanya gimanaaa… gitu, semua menjadi tidak pasti. Berkali-kali temanku berkata dalam pelukanku, “I don’t know Mar, I don’t know. Seems like a dream.” Belum pernah aku merasa kehilangan seperti ini, rasanya ada yang semplah.

Betullah yang dikatakan C.S. Lewis, kedukaan ini tak dapat diatasi, tapi proses kedukaan harus dijalani. Entah sampai kapan aku akan terus mengingat Mas Janni yang duduk di meja tulisnya menerima pra design kaos yang diorderkan kepadaku. Entah sampai kapan aku akan terus terkenang caranya mengisap rokok ketika kami merundingkan design. Entah sampai kapan juga aku kehilangan ketelitiannya yang luar biasa terhadap mutu jahitan dan potongan kaos. Belum lagi suaranya ketika meminta tukang potong dan tukang jahit kami membetulkan jahitan yang merot-merot. Tapi setidaknya aku memiliki kenangan karena kaos ultah Jessie adalah hasil rancangan Mas Janni. Lighting dan pilihan lantai rumah kami adalah karena arahannya. Hanya saja hadiah kepindahan ke rumah baru yang sudah disiapkan Mas Janni tak akan pernah sampai ke tangan kami karena beliau sangat repot sampai tertunda-tunda disampaikan kepada kami lalu hadiah itu dipecahkan pembantunya.


Selamat jalan, Mas. Kami percaya dirimu sudah bersama dengan Tuhan Yesus. Aku berjanji bersama istrimu akan meneruskan usaha ini dengan standar seperti yang Mas Janni idamkan.

1 komentar:

Patty said...

Turut berduka cita Ian.
Tidak ada org yg siap kehilangan org yg kita sayangin. Aku dah mengalaminya sendiri ketika si papi meninggal 6 tahun yg lalu. Serasa semuanya mimpi buruk saja. Padahal baru sehari seblumnya kita jalan2 & si papi bantu milihin TV yg mau aku & hubby beli. Even dah 6 tahun mpe saat ini aku masih merindukan kehadirannya. Gosh..miss him a lot !!