Kemaren malam, akhirnya jadi juda nonton Laskar Pelangi. Perjuangan untuk nonton ini seminggu lebih karena menyesuaikan dengan jadwal sahabat keluarga yang cukup padat.
Film ini bagus di dalam kesederhanaannya. Sebenernya aku tertarik kepada bukunya setelah kawanku berulang kali ngomong kalo cara penulisan Andrea Hirata itu lain dari yang lain. Halaman-halaman awal aku sempat bosan dan nggak bisa terima dengan istilah-istilah dari keyakinan yang lain. Tapi, begitu mata hatiku terbuka akan misi pendidikan di dalamnya, lanjuuut sampai halaman terakhir.
Film emang nggak akan pernah sebagus bukunya, hanya film ini sekuelnya terputus-putus. Nggak ada alur yang kontinu. Ketolong aja dengan konten yang berbobot.
Pikiran nih film nggak akan deh nguras air mata seperti film Denias, eh… waktu suasana film mulai muram, waktu tokoh sekolah itu meninggal di atas meja kerjanya dan waktu guru satu-satunya di sana tak berdaya mengajar lagi, perlahan namun pasti airmata menitik juga. Lebih-lebih waktu Lintang terpaksa berhenti sekolah karena ayahnya meninggal, sementara di rumah ia hanya sendiri dengan ketiga adiknya yang masih kecil, waa…nangis bombay deh.
Waktu keluar bioskop aku dengar ada penonton yang bilang begini sama temennya, “Wah, aku jadi semangat lagi, aku mau kuliah lagi ah!” Nah begini baru namanya sadar, tinggal ngelakoni aja tekadnya itu.
Pertanyaan kritis yang sempat aku dan misua bahas adalah ke mana sekolah Muhammadiyah yang lain?
0 komentar:
Post a Comment