The Last Samurai

Malam minggu kemarin kami habiskan dengan menonton film lama di tv. Kebetulan Jessie tidur agak sore karena besoknya mau kunjungan ke desa Jodhog, Bantul.

Bagiku film ini mengenaskan, karena orang bertarung dengan budayanya, hanya karena iming-iming disebut modern dan jagoan. Adalah Sang Kaisar yang kemasukan paham modernitas dan bertentangan dengan jiwanya. Dia tak bisa berbuat apa-apa ketika Katsumoto, Sang Samurai, diminta melepaskan pedangnya saat akan ikut rapat. Kaisar hanya duduk terdiam, padahal dia yang meminta Katsumoto ikut duduk di dalam dewan. Film ini diakhir dengan peperangan besar-besaran antara samurai melawan modernisme yang berbekalkan meriam dan senjata.

Aku nggak sampe abis nonton filmnya, kasihan dan ngeri. Kalo idealisme dan keluhuran ditandingkan dengan modernitas dan demoralisasi, hasilnya pasti kesedihan. Efek nontonnya masih terasa sampai saat ketika aku menuliskan hal ini. Mungkin karena waktu sma aku pernah juga membaca kisah shogun, walau tak setragis kisah samurai. Itu sebabnya aku rada-rada miris kalau mau baca hasil karya penulis Jepang, padahal penasaran juga sama novel yang baru-baru ini terbit karya Shusako Endo.

Kayaknya terlalu dalam deh suspensiku, padahal nggak perlu segitu-gitu amat. Itu kan cuma cerita...

2 komentar:

Anonymous said...

Ingat samurai ingat Musashi itu bacaan aku SMP,sayang buku2 itu tergeletak didus2 yg belum sempat tersentuh hingga detik ini,kpn bk2 itu dpt tersusun rapi lagi.hny waktu yg menjawab,krn siperantau belum lagi pulang he3.

Mariani Sutanto said...

Wah, aku sih nggak tahan baca musashi, panjang banget. Waktu itu kan hampir samaan terbitnya sama shogun,jadi aku pilih shogunnya. Musashi itu kesayangan adeku yang paling kecil. Ada lho kisah samurai yang belum lama ini dihebohkan, 4 jilid. Kalo gak salah sih namanya klan otori.