Bukan Tempatnya

Beberapa waktu lalu kami mendapat voucher potongan Rp 5.000 di Carefour Amplaz. Jadi, sore itu kami berangkat ke sana, sekalian liat-liat buku, sekalian jalan-jalan. Sampe di sana sih masih aman-aman, horor mulai waktu masuk ke jalur parkir.

Di depanku ada Katana. Setelah pemeriksaan satpam di gerbang masuk area parkir, mobil itu mesinnya mati, dua kali, terus melorot lagi. Aku kan nggak nyangka kalo orang itu belum bisa, jadi jaraknya hanya 50cm dari mobil yang aku setirin. Akhirnya satpamnya nahan di belakang supaya mobil itu nggak kena ke mobilku.

Begitu masuk jalan naik turun, beberapa kali katana itu melorot. Aku jadi deg-degan. Mana parkiran bawah penuh, jadi harus ikut naik di belakang katana itu. Aku bilangin petugas parkir supaya melarang mobil itu naik, kan bisa celaka semua yang di bawah kalo dia nggak bisa berhentikan melorotnya mobil. Tepatnya sih, aku yang khawatir kalo terkena tubrukan. Syukurlah, naik satu kali rupanya dia dapet tempat parkir, tapi atretnya masih ngguk-nggukan, begitu agak lowong, langsung deh si Mumun aku pacu supaya mendahului katana itu.

Hhh...lega rasanya bisa parkir, erus nggak terjadi sesuatu yang menyebalkan. Cuman aku dan misua jadi berpikir, kualitas les-les setir mobil yah kayak begitu. Boleh dibilang asal bisa masuk gigi satu, ganti ke gigi yang lebih tinggi atau sebaliknya, parkir paralel, dan berjalan di tempat macet. Lulus deh, apalagi kalo ada uangnya buat beli brevet udah pernah les setir mobil.

Lebih ketat di Singapura, yang amat ketat dalam mengeluarkan SIM. Udah dapet SIM, mobilnya masih diberi tanda. Tandanya berwarna-warna, ditempel di kaca depan dan kaca belakang dan berlangsung periodik. Jadi, kalau di jalan tol ada pengendara mobil dengan lingkaran hijau --whatever the color--, pengendara lain harus berhati-hati karena orang ini baru saja mendapat SIM. Nanti beberapa bulan kemudian, orang ini diuji lagi, lalu lingkarannya berubah warna. Terus begitu sampai di mobilnya nggak ada stiker yang berarti orang itu sudah bisa nyetir dengan aman. Paling nggak sih 3 kali ujian.

Coba, gimana kalo sistem kayak gitu diberlakukan di Indonesia.... paling kita cuman bisa nyanyi, "Itulah Indonesia..."

2 komentar:

Anonymous said...

Hai Ian nyanyian dipostingan mu itu yg kadang membuat malas pulkam ke indo.

Mariani Sutanto said...

Iya, kalo udah di LN emang gitu. Tantangan buat yg di dalem gimana menciptakan Indonesia Baru, nanti lagunya bisa berubah kali ya?