Prit....! Goceng, Bu.

Jarang sekali aku berada di Yogya di saat liburan. Biasanya aku pulng ke Kediri atau bermain ke Surabaya, atau ke Jakarta. Hanya karena orangtuaku sudah hengkang dari Kediri, lalu berita rawannya kemacetan di arus menghilir atau pun memudik, kami sekeluarga berketetapan menikmati libur panjang tahun ini di kota tercinta. Kebetulan juga ada teman yang dulu se-kost waktu mahasiswa datang dan pra-reuni perak psi 85. Jadi, kami mantap betul stay in Yogya.

Kalo orang tinggal di kota tujuan wisata, musti lega lilo a.k.a. berlapang dada melihat kemacetan di mana-mana. Ya iyalah macet. Kota dengan kapasitas 3 juta penduduk ketublekan orang segitu banyaknya, ya pasti mbludag, terutama di pusat-pusat keramaian seperti Jl. Malioboro atau Amplaz (Ambarukmo Plaza).

Suatu kali kami terpaksa mendatangi Jl. Malioboro karena teman ingin makan Chinese Food. Nah, resto Chinese Food yang paling oke buat aku sih ada di Danurejan, dan jalan itu hanya bisa dicapai melalui Malioboro. Bener aja, mendekati hotel Inna Garuda, kemacetan sudah terlihat. Mobil berjalan perlahan di sepanjang Malioboro. Lalu kami parkir di dekat resto itu.

Begitu turun, aku didekati tukang parkir, "Bu, parkirnya sekalian, siapa tahu Ibu mau berjalan-jalan di sinii." Spontan aku mengeluarkan uang Rp 1.000, tetapi dengan cengangas-cengenges tukang parkir berlengan buntung itu berkata, "Goceng, Bu." Dengan mangkel aku menyerahkan uang Rp 5.000 sambil berujar, "Pripun tho Mas, saya kan penduduk sini." Si tukang parkir hanya menjawab, "Ehm...ehm...ehm," sementara teman-temannya di belakang ketawa-ketiwi mengejek temannya yang kena batunya itu.

Aku tak memperpanjang soal goceng ini karena nggak mau selera makanku rusak. Mangkelku bertahan berhari-hari, karena yang mendapatkan uang parkir berlebih ini bukan tukang parkir yang biasanya bertugas di sana, tetapi tukang parkir liar. Ngono ya ngono, ning ojo ngono, wuaahhh!

Sekali lagi aku alami waktu nganter ke Mirbat. Kali ini aku sudah merelakan seandainya harus bayar parkir Rp 5.000, karena di mana-mana parkir penuh dan aku diberi tempat parkir cukup elit, di halaman kantor dekat GPiB. Waktu pulang aku bergurau dengan pak parkir, "Wah, jenengan untung kathah nggih, Pak." Dengan senyum lebar ia menjawab, "Nggih, Bu. Setahun pisan."

Senin lalu, muncul keluhan soal parkir ini di Kompas Jogja. Ternyata bukan hanya aku tho yang mengeluhkan hal ini. Pikirku harusnya aku terima saja diperlakukan sewenang-wenang oleh tukang parkir karena itu event besar di Yogya. Kan nggak setiap waktu penduduk Yogya yang mendadak beralih jadi tukang parkir mendapatkan uang tambahan? Nah, menurut Lembaga Konsumen, harusnya hal itu diadukan. Tapi, aku kembali ke sikap praktisku, gituan koq dilaporin buang-buang waktu aja. Kalo mau ditertibkan, ya sejak awal diberi penyuluhan lalu patroli dijalankan.

Susah emang ngurus negara eh kota, ha...ha...ha...

0 komentar: