Terapi Anak Trauma

Jiwa anak masih lembut, karena itu goncangan yang cukup kuat akan menyebabkan trauma. Pengalamanku pribadi dengan anakku membuktikannya. Dari analisa sementara, ternyata trauma pada anak sedikit banyak dipicu oleh sikap orangtuanya ketika menghadapi krisis. Pada Jessie, dia melihat aku menjerit-jerit dan gemetar membuka pintu waktu terjadi gempa.

Ciri-ciri anak trauma sangat mudah dikenali:
Tiba-tiba menangis tanpa sebab.

Tidak bisa tidur, tidur tidak nyenyak, sebentar-sebentar bangun.

Tidak mau ditinggal barang sekejap. Kemana-mana minta ditemani, kalau perlu pup pun harus ditemani (padahal kan b-a-u ya?).

Cenderung menjauhi ruang atau daerah yang menyebabkan trauma. Dalam kasus Jessie, dia nggak mau di dalam rumah, maunya ngendon di bangku teras, tidur pun maunya di ruang tamu, nggak mau di kamar.

Perasaan tercekam mendekati saat-saat terjadinya penyebab trauma.

Mengingat-ingat hari di mana pemicu trauma muncul, dan minggu berikutnya memperkirakan apakah akan terjadi hal serupa.

Over sensitif terhadap suara keras, misalnya benda jatuh, benda bergesekan, suara pintu dibanting, bunyi berdebam, dll.

Ketakutan datang mencekam kalau hujan, karena ada suara guruh dan cuaca mendung yang membuat hari menjadi gelap.

Tidak mau ditinggal oleh significant person. Yang memberi rasa aman ketika trauma terjadi, itulah significant personnya.

Tidak mau mendengar dan atau melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan penyebab trauma. Jessie sama sekali nggak mau lihat, dengar atau nonton berita tentang gempa. Makanya ortunya buta berita...

Langsung menangis kalau dengar cerita yang menyedihkan atau menyeramkan.

Cara sederhana mengatasi trauma pada anak:
Beri dia waktu yang luang untuk bermain bersama, permainan favorit atau yang cukup menguras tenaga, misalnya olahraga sederhana yang bisa memancing tawanya.

Jangan menyangkali perkataannya atau pernyataan perasaannya. Terimalah dengan lapang dada, walaupun mungkin kita bosan mendengarnya mengucapkannya berulang-ulang.

Ajaklah dia keluar melihat sesuatu yang berbeda. Misalnya keadaan yang mulai membaik atau ketertarikan pada hal-hal yang jarang nampak kalau tidak ada krisis. Misalnya menerangkan kepadanya kenapa antrian di toko menjadi panjang dan dibagikan aqua+ permen sambil menunggu antrian di kasir (Indogrosir Yogya melakukannya ketika buka pada hari pertama sesudah gempa). Atau menerangkan kenapa ada ambulance meraung-raung di jalan. Atau kenapa ada mobil yang bertuliskan relawan parkir di mana-mana.

Kira-kira 5 hari atau 6 hari sesudah terjadi trauma, ajaklah anak menghadapi penyebab trauma. Ini cara paling baik, supaya anak belajar menghadapi
persoalannya dan tidak menghindari persoalan. Pada Jessie, aku ajak dia lihat posko kemanusiaan di gereja. Begitu masuk, genggamannya semakin erat, lalu 10 menit kemudian keluar keluhan, “Aku pusing, Mom” Aku langsung ajak dia pulang. Ini perlu dicoba berulang-ulang, sampai anak dapat menerima bahkan berpartisipasi dalam kegiatan di sekelilingnya.

Perlahan-lahan terangkan padanya apa yang sedang terjadi dan bagaimana menyikapinya. Sore tadi ada tamu yang nyerocos tentang kejadian-kejadian seputar gempa, dengan keterangan yang amat detil. Langsung Jessie menangis. Sepulangnya tamu itu, aku jelaskan padanya bahwa topik gempa memang sedang jadi pembicaraan, jadi kalau orang ketemu mesti yang diomongin itu ya gempa.

Pasrahkanlah anak kita ini kepada Tuhan Yang Mahakuasa, karena sebagai manusia kita nggak tahu seberapa dalamnya dampak trauma pada jiwanya. Hanya Tuhan yang dapat memulihkan jiwanya.

Mudah-mudahan bermanfaat. Salam!

6 komentar:

Anonymous said...

Ciecie, makasih sharingnya. Maju trus yah, semoga semakin hari Jessie makin membaik.

Btw, bener cie, kalimat ciecie di alinea petama. Aku perhatikan jg gitu. Klo Angina jatuh aku cuekin, dia malah cengar cengir. Tapi klo jatuh depan omanya, omanya langsung jerit karena kaget dan takut Angina kenapa2. Olalah, kontan aja Angina langsung nangis. Makanya aku bilang sama oma Angina, jangan suka panik dan jerit klo Angina jatuh. :)

Amey said...

yupp.. bener kata dewi..tapi kadang kita refleks lho teriaknya hehehe

Mariani Sutanto said...

Hai Amey, salam kenal juga ya. Sekarang sih aku nggak teriak-teriak lagi, pura-pura nggak tau aja..:))

Anonymous said...

Bu amay, anak sy (4 thn) trauma terhadap kancing baju, dia sgt tidak mau bahkan menangis klo akan dipakaikan baju yg ada kancing bajunya, pd hal saat ini ananda sdh msk masa sekolah, shgg ke sekolah selalu pakai baju olah raga. sy sdh bawa ke psikolog dan meyakinkan ke ananda bahwa kancing baju aman. Mungkin bu amey bisa membantu masalah saya. terimakasih

Anonymous said...

ini kedua kali anak saya menangis kencang sekali sambil mulutnya ternganga lebar sampai suara tangisnya tidak terdengar......dengan wajah yg membiru tiba2 lemas seprti pingsan tapi wajahnya membiru....
beruntung omanya tanggap dengan memberi bantuan pernapasan lewat mulut.....
mohon share ....trimaksih

ratna said...

bagus bgt nih.., anakku jg lagi trauma badut di tv, 2hri minta gendong ga mau lepas, bobonya juga sering bangun dan nagis bilang takut. kasihan juga