Pamit

Kalau liburan sekolah begini, aku pasti meninggalkan Yogya. Bisa ke Jakarta, bisa ke Kediri. Kali ini ke Kediri karena mama kangen ama cucunya. Pengen minta ditemenin ke pesta pernikahan anak temannya, pengen minta ditemenin ke Surabaya, dll acara yang menurutnya lebih rame kalo Jessie ada di sana.

Yang repot itu kalo aku juga musti ninggalin Yogya, karena jujur aja, aku lebih senang di Yogya. Apalagi liburan begini, bisa beres-beres rumah, bisa merenung-renung buat draft buku baru, dll. Tapi, aku juga mikirin mama papa yang sehari-hari tinggal berdua di rumah dan sepi. Akhirnya, aku memutuskan berangkat. Lego lilo dengan semua kesibukanku. Aku bertekad menjalani hari-hari di sana dengan santai, itung-itung tabung tenaga buat nanti bimbing Jessie menjalani hari-harinya di SD.

Jadi, begitulah. Aku baru aktif nulis lagi kira-kira 7 Juli-an. Padahal, kalo nggak nulis lama, bisa keterusan macetnya.

Daag...

Heart to Heart

Wah, ini sih bukan judul film seri jadul, tapi emang bicara dari hati ke hati di antara suami isteri. Kalo udah menikah 10 taonan kayak kami begini, kadang-kadang bicaranya cuma rutinitas aja. Misalnya nanyain kerjaan, ngomongin perkembangan anak, atau ngebahas urusan rumah, atau cerita ngantri bayar telpon-listrik-air. Seputar yang begitu-begitu aja sih.

Ajaib benar, indah benar, ha...ha...ha..., kayak judul lagu aja. Malem minggu lalu kami bisa punya waktu berduaan. Jujur aja, aku udah kecapean abis nganter Jessie ngamen budaya dengan sanggarnya di trotoar depan Gedung Agung Malioboro. Pengen istirahat dan tidur sepuasnya. Biasanya nemenin Jessie bobo, terus kalo capek keterusan tidurnya ampe subuh. Kali ini Jessienya yang tidur begitu nyentuh tempat duduk di mobil. Capek kali ya. Dia tidur terus waktu dipindahin papinya ke dalam kamar.

Dalam hati ada suara supaya aku nahan kantuk. Mata udah berat, tapi aku tahan-tahanin. Sambil duduk nonton tv, aku nyari-nyari artikel di kliping “Muda” ku. Lalu, tiba-tiba aja kami udah ngobrol ngalor ngidul, nggak sadar tau-tau udah pk 01.30. Padahal ngobrol dari pk 08.30. Tuh kan....

Konon, penyebab utama perceraian bukannya nggak ada cinta lagi, tapi nggak ada komunikasi lagi di antara suami isteri. Macet, karena terbelenggu rutinitas. Pikir-pikir susah juga emang ngomongin diri kita an sich, nggak pake embel-embel lainnya. Dan aku happy dengan pembicaraan kemarin itu. Kayak nelusurin pematang sawah sambil bergandengan tangan, kira-kira begitu tuh uraian perasaannya. Aku bisa tau perasaannya, aku bisa ngerasain senangnya dia punya ambisi untuk masa depan keluarga, aku bisa tau cita-citanya apa, dan aku bisa tanya hal-hal sensitif yang lalu dibahas bersama.

Untung nurutin suara hati....

Inspiring Book

Aku kehabisan buku nih, ceritanya. Abis, toko buku pada tutp sih. Gramedia kan runtuh canopinya, jadi kira-kira akhir bulan baru buka. Plaza Ambarukmo, satu-satunya mall di Yogya yang punya toko buku (juga Gramedia), juga direnovasi sampai akhir bulan ini. Satu-satunya harapan tinggal Toga Mas, toko buku diskon itu, eee... aku lewat sana ... tutup juga. Bukan karena kena gempa, tapi karena stock opname. Jadi deh aku ngutak-ngutik buku yang ada di rak misuaku.

Ternyata ada satu buku yang tergeletak di nakas kami. Buku itu tampilannya nggak menarik. Cuma karena sampulnya berwarna merah, lalu ukurannya agak nggak lazim untuk ukuran buku zaman sekarang, aku ambil dan coba-coba baca. Pertamanya sih Cuma untuk pengantar tidur, nggak taunya malah nggak bisa tidur, karena tangan ini pengen langsung bikin outline buku! Ups, judulnya Creative Wisdom for Writers dari Roland Fishman. Judul Indonesianya “Menulis itu jenius.” Jangan ngebayangin bab yang panjang-panjang atau uraian yang cespleng, karena buku terbitan Tera ini cuma berisi kata-kata yang membangkitkan inspirasi. Salah satu misalnya, Ide yang melintas pertama kali dalam pikiranmu adalah sesuatu yang paling kuat (Bob Dylan), hal 57. Terlepas dari terjemahan yang agak amburadul dan kadang-kadang out of context, buku ini bener-bener membangkitkan inspirasi.

Alhasil, udah ada nih outlinenya, cuma masih belum pas. Semoga aja liburan ini bisa jadi sebuah tulisan yang membangun. O iya, thanks to Anita, di mana aja kamu berada. Anita ini salah satu pembaca bukuku yang selalu nanyain kapan buku keduaku terbit. Thanks ya Nit.

Yok ah, cuci piring.... cuci piring...:))

Bakmi dan Bajigur

Begitu baca tulisan itu di sebuah mobil bak terbuka, langsung mataku mencari-cari. “Mana nih yang jual bajigur? Udah lama banget nggak pernah minum, bahkan dengar kata bajigur diucapkan,” kataku dalam hati.

Bajigur itu bukan makian, tapi minuman. Rasanya manis, terbuat dari santan dan gula jawa, lalu ada potongan kelapa kecil-kecil di dalamnya. Di Bandung, itu makanan yang dijual keliling ke komplek-komplek perumahan. Biasanya hangat-hangat dan hanya pada sore hari. Di rumah makan atau di warung sih ada juga, tapi nggak senikmat kalo dibeli dari abang-abang yang keliling dengan gerobaknya. Soalnya, bisa minum bajigur sambil duduk-duduk di teras menikmati sore. Paling nggak, itu yang biasa aku lakukan dulu waktu tinggal di Pasirluyu, Bandung Selatan.

Jadi, bisa dong ngebayangin, kayak apa senangnya aku melihat ada yang jual bajigur di Yogya? Udah kebayang aja minuman favoritku itu. Nggak apa-apa deh, kalau aku harus beli ini begini hari. Maksudku, bukan sore-sore tapi sekitar jam 10-an. Yang penting, kangen terobati.

Pelan-pelan aku menelusuri Bintaran Kulon. Ternyata....., warungnya babk belur cukup parah akibat gempa. Sampe tutup dan banyak orang yang sedang memperbaikinya. Papan namanya masih tertempel jelas, “Bakmi dan Bajigur Pak Rochyadi”, begitu tulisannya. Gagal deh harapan memupus kangenku. Moga-moga cepat buka lagi ah...

Maaf ya Mam, aku masih kecil...

Lucu deh waktu denger Jessie ngomong begitu. Lha, kok kekecilannya dijadikan obstacle?

Ceritanya kemarin sore, tiba-tiba aja nih group hompimpus rame-rame nyerbu taman. Kali tuh tanaman pada bersorak-sorak, “Horeee! Akhirnya kami diurus juga!” Maklum, kan banyak item nih yang harus diberesin di seantero rumah. Yang paling kasihan ya dua item itu: taman dan attic. Kalo taman hanya disiram setiap sore, disiangi dikit-dikit. Paling rimbun tuh Pasiflora di samping kamar tidur. Bunganya cantik, merah segar, dan pas mekar semua. Tapi, nih taneman udah merambat sampe genteng, makanya sore kemarin diratain. Banyak juga yang digunting, mungkin kayak rambut gondrong digunting jadi rambut cepak ya?

Bekas guntingannya itu yang dibuang sama Jessie, lalu dia nggak bisa melakukannya. Abis daunnya panjang-panjang tangkainya, kan merembet di teralis samping kamar tidur. Tiba-tiba aja dia nyeletuk, “Maaf ya Mam, aku masih kecil...” Ha...ha...ha..., aku geli melihat dia mengulurkan sulur pasiflora menyebrangi tembok pembatas tanah kosong di depan rumah kami.

Memang sih....anakku ini masi kecil, tapi semangat dan daya juang nya kadang-kadang ngelebihin orang gedhe!

Pertanyaan Tentang Kematian

Kemarin siang, sesudah pulang sekolah, tiba-tiba Jessie menubruk dan memlukku erat-erat. Dia nangis sesenggukan. Tentu aja aku kaget, karena sebelumnya kami tertawa-tawa dalam perjalanan pulang. Mungkin karena di sekolahnya heboh, banyak orangtua murid yang merasakan gempa susulan, sementara aku lagi berkendaraan, jadi sama sekali tak terasa gempa itu.

“Mam, kalo Mami sama Papi mati, nanti aku sama siapa?” tanyanya sambil menunduk.

Kaget juga aku dapet pertanyaan sulitmendadak begitu, kayak mahasiswa nggak siap ada quiz dari dosen. Spontan aku mengusap-usap punggungnya, supaya tangisnya tak menjadi-jadi.

“Wah, kan ada tante sama oom. Mami aja punya tiga orang adik, Papi juga adenya tiga. Kan mereka bisa nemenin Jessie?”

“Tapi nanti aku sendirian?”

“Ya nggak, kan ditemenin sama Oom dan Tante? Lagian Jessie kan bisa berdoa, supaya Tuhan mengizinkan Mami Papi menemani Jessie sampai besar. Kayak Mami gini, kan ditungguin Ema waktu ngelahirin Jessie. Iya kan?”

“Ema bisa mati nggak Mam?”

“Ya bisa. Semua orang suatu waktu pasti mati. Kalo nggak mati-mati, nanti udah tua kan udah nggak bisa apa-apa. Bayangin aja kalo orang gede pipis sama pup di ranjang, kan geli? Jessie aja udah nggak bisa kan pipis di celana lagi?”

Lalu tangisnya mereda dan kembali ceria. Waktu dia tidur, aku sms papinya. Ini pertama kali Jessie menanyakan tentang kematian, dan itu baik untuk jiwanya. Ini juga kesempatan yang baik bagi kami untuk menjelaskan dengan sederhana tentang peristiwa kehidupan yang sudah beberapa kali ditemuinya tapi belum pernah mendapatkan kejelasan, khususnya yang berkaitan dengan dirinya. Waktu ayah mertuaku meninggal, Jessie masih terlalu kecil untuk mempertanyakan kematian. Waktu beberapa kali diajak melayat, dia malah bermain dengan anak-anak yang juga ikut melayat. Nah, kali ini dia melihat begitu banyak gambar dan foto orang meninggal akibat gempa, jadi pertanyaan seputar kematian itu mengusik benaknya yang masih polos itu.

Bener-bener deh, musti siap sedia memberikan jawaban buat anakku ini!

Terapi Anak Trauma

Jiwa anak masih lembut, karena itu goncangan yang cukup kuat akan menyebabkan trauma. Pengalamanku pribadi dengan anakku membuktikannya. Dari analisa sementara, ternyata trauma pada anak sedikit banyak dipicu oleh sikap orangtuanya ketika menghadapi krisis. Pada Jessie, dia melihat aku menjerit-jerit dan gemetar membuka pintu waktu terjadi gempa.

Ciri-ciri anak trauma sangat mudah dikenali:
Tiba-tiba menangis tanpa sebab.

Tidak bisa tidur, tidur tidak nyenyak, sebentar-sebentar bangun.

Tidak mau ditinggal barang sekejap. Kemana-mana minta ditemani, kalau perlu pup pun harus ditemani (padahal kan b-a-u ya?).

Cenderung menjauhi ruang atau daerah yang menyebabkan trauma. Dalam kasus Jessie, dia nggak mau di dalam rumah, maunya ngendon di bangku teras, tidur pun maunya di ruang tamu, nggak mau di kamar.

Perasaan tercekam mendekati saat-saat terjadinya penyebab trauma.

Mengingat-ingat hari di mana pemicu trauma muncul, dan minggu berikutnya memperkirakan apakah akan terjadi hal serupa.

Over sensitif terhadap suara keras, misalnya benda jatuh, benda bergesekan, suara pintu dibanting, bunyi berdebam, dll.

Ketakutan datang mencekam kalau hujan, karena ada suara guruh dan cuaca mendung yang membuat hari menjadi gelap.

Tidak mau ditinggal oleh significant person. Yang memberi rasa aman ketika trauma terjadi, itulah significant personnya.

Tidak mau mendengar dan atau melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan penyebab trauma. Jessie sama sekali nggak mau lihat, dengar atau nonton berita tentang gempa. Makanya ortunya buta berita...

Langsung menangis kalau dengar cerita yang menyedihkan atau menyeramkan.

Cara sederhana mengatasi trauma pada anak:
Beri dia waktu yang luang untuk bermain bersama, permainan favorit atau yang cukup menguras tenaga, misalnya olahraga sederhana yang bisa memancing tawanya.

Jangan menyangkali perkataannya atau pernyataan perasaannya. Terimalah dengan lapang dada, walaupun mungkin kita bosan mendengarnya mengucapkannya berulang-ulang.

Ajaklah dia keluar melihat sesuatu yang berbeda. Misalnya keadaan yang mulai membaik atau ketertarikan pada hal-hal yang jarang nampak kalau tidak ada krisis. Misalnya menerangkan kepadanya kenapa antrian di toko menjadi panjang dan dibagikan aqua+ permen sambil menunggu antrian di kasir (Indogrosir Yogya melakukannya ketika buka pada hari pertama sesudah gempa). Atau menerangkan kenapa ada ambulance meraung-raung di jalan. Atau kenapa ada mobil yang bertuliskan relawan parkir di mana-mana.

Kira-kira 5 hari atau 6 hari sesudah terjadi trauma, ajaklah anak menghadapi penyebab trauma. Ini cara paling baik, supaya anak belajar menghadapi
persoalannya dan tidak menghindari persoalan. Pada Jessie, aku ajak dia lihat posko kemanusiaan di gereja. Begitu masuk, genggamannya semakin erat, lalu 10 menit kemudian keluar keluhan, “Aku pusing, Mom” Aku langsung ajak dia pulang. Ini perlu dicoba berulang-ulang, sampai anak dapat menerima bahkan berpartisipasi dalam kegiatan di sekelilingnya.

Perlahan-lahan terangkan padanya apa yang sedang terjadi dan bagaimana menyikapinya. Sore tadi ada tamu yang nyerocos tentang kejadian-kejadian seputar gempa, dengan keterangan yang amat detil. Langsung Jessie menangis. Sepulangnya tamu itu, aku jelaskan padanya bahwa topik gempa memang sedang jadi pembicaraan, jadi kalau orang ketemu mesti yang diomongin itu ya gempa.

Pasrahkanlah anak kita ini kepada Tuhan Yang Mahakuasa, karena sebagai manusia kita nggak tahu seberapa dalamnya dampak trauma pada jiwanya. Hanya Tuhan yang dapat memulihkan jiwanya.

Mudah-mudahan bermanfaat. Salam!

Kehabisan Waktu

Kalau dipikir-pikir, ngapain aja sih ibu rumah tangga itu kerjanya? Kadang-kadang ada ibu rumah tangga yang udah nerima aja kesehariannya, kayak orang udah nggak mau berkembang. Pasrah. Apa adanya.

Hari ini baru terasa. Ceritanya aku bersih-bersih rumah sambil momong anak. Akhirnya aku ngajak anakku juga mengerjakan semuanya. Mulai start pk 5.30, memilah-milah baju yang akan dicuci. Lalu merendamnya. Kebayang kan kalo biasa pake jasa laundry, terus laundrynya tutup akibat gempa, nah segunung deh tuh cucian. Tapi hari ini sih aku pilih yang urgent aja, misalnya baju-baju misua, soalnya bajunya dikit, paling males disuruh beli baju dan tiap hari sekarang harus ganti karena dari dapur umum.

Abis ngerendam baju, aku bikin sarapan bagi buat bertiga. Yang gampang aja kayak kentang goreng ama sosis, ternyata it takes time juga.

Akhirnya pk. 7.00 baru mulai cuci baju. Wah..., nggak kebayang kalo musti manual. Ini udah dibantu mesin aja masih kepayahan. Lupa, nona kecilku juga bantuin, walau dikit-dikit. Waktu mesinnya muterin baju-baju itu, aku nyuci sepatu si nona dan lap meja dan box plastik. Abis itu ngeluarin jemuran. Total waktu buat selesaikan itu semua adalah 2 jam.

Udah beres, aku masuk ke dalam, cuci piring dan masak beras. Abis itu cuci kamar mandi dan cuci bak mandi. Waduh, basah kuyup semua. Sekalian aja mandi pagi. Ups! Bukan deh, mandi siang tepatnya!

Makan siang baru pk 12.30, untunglah udah ada yang buat dimakan. Kalo nggak? Bisa gempor. Pk 13.00 tidur siang, menghimpun tenaga buat kegiatan sore. Bangun pk 14.30, langsung cuci piring bekas makan siang. He...he...he...he...., makan waktu dan rasanya kehabisan waktu buat ngerjain yang lain-lain.

Jadi nggak heran kalo akhirnya ibu rumah tangga pada doyan jalan, atau doyan ngerumpi buat ngilangin kejenuhan. Baru sekali ini nekunin pekerjaan ibu rumah tangga. Salah satu dosenku pernah bilang begini, “Ibu rumah tangga itu kalau seharian di rumah, mondar mandir ke sana ke mari, ternyata berjalan kurang lebih 30 km, kira-kira jarak Yogya Klaten.” Nah lho..., mau nyoba ngitung? Ngitung sendiri apa diitungin misua?