Akibat Marah

Dua hari ini otakku panas, hati mendidih. Gawat, karena biasanya aku bukan tipe orang yang pikir panjang sebelum marah. Jadul apalagi, kalo marah seenaknya aja, yang penting lega. Perkara orang lain mau tersinggung, mau nggak doyan makan, mau nggak bisa tidur atau nggak mau ketemu aku lagi, aku nggak peduli.

Tapi kebiasaanku berubah perlahan-lahan sejak aku dilahirkan baru. Nggak 100% sih, tapi paling nggak kalo mau marah aku masih sempet ngitung sampe 10, masih mempertimbangkan akibat kemarahan, masih nyari-nyari kata yang paling tepat digunakan. Pokoknya ada remnya.

Dua hari lalu pembantu pocokanku nggak dateng, padahal pagi harinya aku lihat dia nganterin temennya ke tetanggaku yang juga cari pembantu pocokan. Sebeee….l banget rasanya. Seharian itu rasanya mau marah terus. Untung aku masih terkendali, kali kalo nggak orang-orang yang kukasihi bisa jadi korban. Gawat kan? Kalo aku melihat ke dua hari lalu, akibat memendam marah itu, banyak barang jadi korban. Pertama, pas bikin sirop, gelasnya jatuh dan pecah. Aku udah ngegrundel aja tuh, bukan pada siapa-siapa tapi pada diriku sendiri. Besok paginya aku nyenggol botol Scott Emulsion, langsung jatuh dan pecah. Siangnya aku nyenggol jam dinding, jatuh ke meja makan dan hancur juga. Tuh kan, gawat sekali.

Begitu dateng, pembantu ngasih alasan pundaknya sakit sekali sampai nggak bisa ngapa-ngapain. Cuma aku tanya aja, “Lho, kalo sakit koq bisa nganter orang ke depan? Saya kan lihat!” Lalu dia minta maaf. Keselnya sampe ke ujung rambut. Aku baru bener-bener lega waktu bisa menganalisa dengan jernih sesudah jam dindingku jatuh dan rusak. Nggak apa-apa deh yang rusak itu barang, dan bukan hati orang.

Maka benarlah kata-kata yang ditulis kawanku Sr Anna, PK: Setiap menit kita marah,
kita kehilangan 60 detik kebahagiaan.

0 komentar: