A Tribute to Polres Sleman

Minggu lalu aku memberanikan diri nuntasin urusan SIM misua. Rasanya ngeganjel ati banget urusan begini gak beres- beres. Dan aku paling susah kalo liat ada orang nyetir tanpa SIM.

Begitulah, aku maju ke Poltabes, lalu ketemu guru sekolah minggunya Jessie yang rupanya bertugas di sana. Aku diarahkan untuk mencabut berkas dari Sleman. Dari sana aku ke Sleman yang bujubune…..jauhnya! Tenang- tenang aja aku ke tempat fotokopi. Di instansi begini, tempat fotokopi bisa jadi tempat informasi gretongan, daripada nanya calo ato pak polisi yang lewat?

Jalan menuju loket yang dimaksud crowded banget. Di mana-mana ada tulisan besar yang intinya HINDARI CALO. Waah…, aku sedikit berbesar hati karena maju sendiri. Di loket yang ditunjukin tukang fotokopi aku diminta menuju bagian arsip. Di sini aku bergurau sama Pak Polisinya. Untungnya semua arsip lengkap, sampe- sampe C1 aja aku bawa, ha…ha…ha…, padahal gak perlu deh begitu-begituan. Aku jaga-jaga aja kalo ditanya hubunganku sama yang punya SIM. Salah-salah aku dikira calo elite lagi, ciee…

“Pak, aslinya diminta, nanti nggak jelas,” begitu aku dengar salah seorang klerk mengarahkan pak polisi yang nerima berkasku.

“Nggak usah. Ini udah jelas koq fotokopinya. Bapak Ang Tek Khun kan bu?”

Tunggu punya tunggu, jarum jam mendekati pk 11.00. Begitu 10.45 aku maju lagi ke bapak tadi menanyakan sudah sampai mana berkasnya. “Wah, masih antri di belakang, Bu,” begitu jawabnya.

“Ya udah Pak, nggak apa-apa. Saya tinggal dulu, mau jemput anak saya”

“O boleh, tapi sampai di sini lagi jangan lebih dari pk 14.00 ya.”

Tadinya aku mau ngasih tip ama tuh bapak, biar dicepetin. Entah kenapa nuraniku melarangnya. Lebih baik jalur biasa, kecuali kalo diminta lebih ya aku kasih.

Siang hari setelah aku dan Jessie makan siang, dan dia udah makan obat, aku ke Sleman lagi. Udah sepi, ampir- ampir nggak ada orang. Langsung masuk ke bagian arsip.

“Lhoh, ibu tunggu dari tadi?”

“Nggak pak, saya pulang dulu urus anak, baru ke sini lagi.”

Berkas udah jadi, “Pinten pak, biayanya?”


“Rp **.***,” kata si bapak (rahasia dong ya. Yang penasaran bisa Tanya langsung ke aku, pokoknya terjangkau deh, ha…ha…ha…)

Langsung aku bayar. Ternyataaa…., bukan jumlah yang diminta yang aku berikan, malah kelebihan banyak. Karena pak polisi mengembalikan lembaran Rp 100.000 yang aku kira Rp 10.000!

“Wah, terma kasih lho Pak. Rupanya hampir sama sih Pak,” kataku tersipu- sipu. Kebayang nggak Mariani tersipu-sipu? Ha…ha…ha…

“Jangan- jangan Ibu ngetes kami, jujur apa nggak..,” kata pak polisi satunya lagi.

“Wah ya nggak lah pak, kan polisi pasti jujurnya. Nggih sampun pak, matur nuwun, pareng…pareng…”


Begitulah pengalaman di Polres Sleman. Bener-bener pengalaman yang menyenangkan, bukan saja karena duit terselamatkan tapi karena semua lancer sesuai prosedur, sip!

1 komentar:

Anonymous said...

sebenarnya banyak yang jujur juga kok birokrat kita. saya beberapa kali urus dokumen juga tidak banyak kendala. tidak ada tambahan biaya. mungkin karena kepemimpinan diatasnya yang bersih dan baik, sehingga menurun ke anak buahnya. tapi pernah juga alami urus ini itu dengan berbagai hambatan dan ujung-ujungnya duit. he-he-he. kita perlu apresiasi untuk mereka yang dedicated seperti itu.