Kunjungan ke tiga hari Sabtu, 28 Juni, ke Purwodadi Grobogan. Mestinya rekan pria kami yang lain yang nyetir, karena kabarnya medannya berat. Berhubung tugas pendampingannya di Yogya nggak bisa ditukar, batallah ia bersama kami pembimbingan mahasiswa.
Sebenernya sih gojag-gajeg mau berangkat, abis aku samsek nggak tau medannya. Langsung aku minta ancer-ancer jalannya. Aku telepon bengkel untuk ngecek karimun, karena feelingku koq jalanan kali ini bakalan jauh. Bayangin kalo dua ibu dan dua anak kecil sampe mengalami hambatan di tengah jalan, kan gazwat?
Betul aja, paginya waktu siap-siap ngeluarin karimun, eh dia mogok! Nggak mau distart, bunyinya ngek…ngek…ngek! Ini sih pertanda akinya abis. Akhirnya aku memberanikan diri minjem mobilnya misua. Lha, semua udah pada nunggu di sana. Akhirnya setelah suami-suami olahraga buat ngedorong karimun, kami berangkat pk 06.30. Jalanan sampe ke Klaten lancar sekali. Pk 07.10 kami nyampe di rumah rekan pendeta kami, ambil oleh-oleh langsung tancap ke Purwodadi. Waktu sampe di simpang lima yang ada rel keretanya, sempet bingung mau menempuh jalan yang mana. Abis ditunjukin sama bapak yang punya warung di pengkolan, kami langsung ambil jalan yang langsung menuju Purwodadi.
Mula-mula jalanan mulus, hanya padat dengan bus besar-besar. Lama-lama mulai mengerikan karena perbaikan jalan di mana-mana, nunggunya lama karena harus antri. Tapi, memang rencana Tuhan itu selalu membawa kebaikan. Kalau kami memakai karimun, bisa-bisa goyang dombret orang yang nggak nyetir. Jalanan patah dan lubang di jalanan nggak terlihat jelas. Tau-tau mobil bisa kejeblos begitu aja di lubang jalan, yang ternyata udah ada potongan betonnya. Kedengeran bunyi keras di bawah mobil. Untung nggak kena mesin picanto. Kedatangan kami terlambat satu jam setengah dari jadwal, karena medan jalan yang begitu berat. Dengan kemampuan stirku, pertolongan Tuhan sungguh terasa.
Pulangnya sih mulus. Atas petunjuk tuan rumah, kami lewat jalan di Kedung Ombo dan G. Kemukus. Naik turun juga sih, hanya nggak berlobang-lobang. Mulanya anak-anak kecewa karena nggak lewat jalan berlobang-lobang tadi, karena menurut mereka itu bagaikan naik arung jeram. Akhirnya anak-anak malah seneng karena mobil seolah maen sliding, syuut….syuut…, sip deh pokoknya.
Mahasiswa yang kami kunjungi ternyata punya sikap positif dalam menerima keterbatasannya. Kami mendorongnya agar memberi perhatian lebih pada daerah pedesaan, karena kondisi daerah yang lumayan jauh dan berat, walaupun cabang tetapi seperti megelola tiga gereja.
Kalau sudah begini, walaupun badan lelah bahkan pinggang gempor, tapi hati senang melihat mahasiswa enjoy di lapangan.
Baru deh ngerasain gimana jadi DPL, ‘dosen’ pembimbing lapangan. Kalo orangnya demen jalan-jalan sih ayo aja, tapi kalo orangnya biasa di belakang meja, bisa tekapok-kapok. Untung juga aku punya anak yang juga doyan jalan-jalan dan eksplor daerah baru. Kalo iseng-iseng ditanyain mau nggak ke Purwodadi Grobogan lagi, dengan mantap Jessie mengangguk-angguk sambil berujar, “Kita naek arung jeram lagi apa maen sliding, Mom?”
0 komentar:
Post a Comment