Pergumulan

Nggak tahu kenapa, akhir-akhir ini pergumulan panggilan kembali melanda aku. Sebenernya keinginan untuk masuk ke sekolah teologi itu muncul pertama kali tahun 1984. Waktu itu Pdt. Rudy Budiman membagikan tentang pentingnya pendidikan teologi dan kebutuhan teolog di masa depan. Dengan pemahaman sederhana seorang anak SMA, aku menerimanya dengan sepenuh hati. Aku ingat papaku langsung bilang jangan coba-coba pikirkan apa yang dikatakan pendeta itu. Kejadiannya di GKI Taman Cibunut Bandung. Tapi, namanya ane, anak nekad, aku tetep aja bilang ke dia kalo mau masuk sekolah teologi abis SMA. Kalo nggak boleh teologi, ya filsafat UI. Wah, papa langsung nggak bisa tidur, mikirin aku mau kuliah apa. Semua bidang disodorin ke aku, mulai dari kedokteran gigi sampe teknik sipil.

Aku teteup aja kekeuh, mau teologi atau filsafat. Akhirnya diambil jalan tengah: psikologi. Tapi aku juga musti tes kedokteran gigi.

Waktu aku akhirnya diterima di Psikologi UGM, kayaknya keinginan masuk teologi hilang begitu aja, tapi demennya luar biasa sama kegiatan rohani. Aku termasuk yang betah belajar segala macem penyelidikan Alkitab, seolah-olah sekolah di dua tempat. Ortuku sih taunya aku belajar psikologi, soalnya IPku tinggi, selalu di atas 3,0.

Dorongan yang kuat untuk sekolah teologi kembali berkumandang tahun 1998. Anehnya waktu itu aku justru terkena pukulan hebat dari orang-orang yang mengaku mencintai-Nya. Tapi aku meredamnya, aku takut sekolah teologi itu hanya sebagai pelarian dari kekecewaanku. Lalu muncul lagi tahun 2003, ketika seorang temenku bilang supaya aku ambil aja MTh, jadi gak perlu lima tahun. Lulus MTh baru mikirin untuk punya anak lagi. Waktu itu lumayan bingung karena nggak rela ninggalin Jessie sama pengasuh.

Masa-masa menyenangkan bersama para ibu lainnya menyurutkan minatku. Apalagi kembali aku diterpa badai oleh karena perbuatan orang-orang yang mengaku mencintai-Nya. Secara jujur aku gatel pengen melayangkan tinju psikis. Udah pernah sih sekali, sampe orangnya huekk...huek...huekkk..., sukurin! Orang kedua luput karena kesempatan itu lewat.

Herannya, di tengah dendam kesumat kayak gitu, panggilan itu justru semakin jelas, sampe aku berani menuliskannya di sini sebagai resolusi 07. Datengnya kayak angin pagi hari yang menyejukkan. Pelan-pelan Dia memulihkan luka hatiku dan memperlihatkan cahaya yang lembut seperti sinar matahari pagi. Aku tahu ada banyak rintangan di tahun ini, jadi aku terus bersabar kalau Tuhan jelas menuntunku masuk ke sana.

1 komentar:

Patty said...

Ian, emang apa salahnya ikut sekolah teologi ?? Kan yg jadi pendeta wanita jg banyak.